pita deadline

pita deadline

Selasa, 20 Maret 2018

Prof. I Wayan Wita SpJP, Profesor Kardiologi yang Multi Talenta

Profesor kardiologi yang serius menekuni hobi melukis dan fotografi. Melukis bersama anak dan cucu.

Prof. I Wayan Wita di depan salah satu karyanya.

JUDUL lukisan itu cukup seram: rangda jantung. Wajah sang rangda muncul memenuhi bilik jantung yang juga dilukiskan dengan gaya surealis. “Itu dilukis di Jakarta pada 1980. Kemudian dipajang di salah satu ruangan RS Jantung Harapan Kita, Jakarta,” tutur sang pelukis, Prof.Dr.dr. I Wayan Wita, SpJP kepada Inaheartnews.
Prof. Wita, demikian pria kelahiran Desa Sibanggede, Badung, Bali ini disapa, pernah memfoto lukisan tersebut saat menghadiri rapat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) di Jakarta. “Lukisan itu berusaha menggambarkan bahaya penyakit jantung,” katanya. Hasilnya kemudian diterbitkan dalam bukunya Jepret Sana Jepret Sini: Kesempatan Memotret dalam Kesempitan (2013) bersama koleksi foto dan lukisannya yang lain.
Sosok Prof. Wita, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, memang tak asing. Tidak hanya di kalangan masyarakat Bali, tetapi juga tingkat nasional, khususnya di bidang pendidikan dan kedokteran kardiologi. Bahkan lebih dari itu, Prof. Wita juga banyak berkiprah di bidang seni lukis, fotografi, organisasi massa bahkan politik.
Namun dari sekian banyak aktivitas mantan rektor Universitas Udayana (2001-2005) ini, yang paling unik tentu hobi melukis dan fotografi yang digelutinya. “Dari kecil saya sebenarnya sudah suka menggambar. Saya dulu cita-citanya jadi arsitek,” katanya.
Tapi pada 1970-an, belum ada perguruan tinggi di Bali yang membuka fakultas arsitektur, jadi harus ke Jakarta atau Yogyakarta.
Sebagai anak bungsu dari keluarga petani sederhana, Prof. Wita juga harus mempertimbangkan biaya yang harus ditanggung orang tua. Apalagi kakak-kakaknya sudah kuliah di Bogor dan Yogyakarta dengan bantuan beasiswa. “Saya pokoknya apa yang ada di Denpasar sajalah. Yang ada pada waktu itu hanya fakultas kedokteran. Jadi saya masuk ke sana sesuai keinginan orang tua juga,” katanya. 
Namun, hobi menggambar tak ditinggalkannya bahkan berkembang pesat. Berbagai media lukis sudah pernah dicoba, baik di dalam maupun di luar ruangan. “Dulu sering melukis outdoor, ukuran lukisannya bisa semester sampai dua meter. Kalau melukis di luar itu harus tahan banting. Banyak orang yang menonton kemudian apa-apa dikomentari. Jadi telinganya harus pakai headset biar ndak denger ini itu,” kata Prof. Wita tertawa. Kini Prof. Wita lebih banyak melukis di rumah. “Saya melukis dengan 5 cucu, masing-masing melukis sesuai keinginan dirinya sendiri!” katanya bersemangat. 

Lukisan Rangda Jantung

Walaupun belum pernah pameran tunggal, lukisan Prof. Wita bertebaran di sana sini, khususnya di lokasi dimana dia beraktivitas. Contohnya, seperti lukisan randa jantung tadi. “Di rumah Sakit Sanglah ada dipajang 8 lukisan. Ada juga yang di ruang rektorat Universitas Udayana. Saya lukis tentang Tari Kebesaran Udayana, tarian kehormatan saat acara penting seperti wisuda dan sebagainya. Kebetulan koreografernya adalah istri saya,” kata Prof. Wita.
Pria kelahiran tanggal 7 Desember 1948 ini tersenyum saja ketika ditanya apakah gaya lukisannya mengikuti aliran tertentu. “Alirannya semau-maunya saja. Ya mula-mula naturalis, kemudian colek-colek. Ya… semaunya. Sekarang tidak naturalis, abstrak saja,” katanya.
Prof. Wita juga tidak punya target tertentu untuk melukis. “Jika lukisannya besar-besar bisa sampai sekitar 2 hari baru selesai. Ya… ini kan hobi. Saya juga harus praktek dan periksa pasien,” katanya. Karena jadwal yang padat, selain melukis, Prof. Wita juga menekuni hobi fotografi. “Melukis paling cuma seminggu sekali, yang utamanya sekarang sebenarnya fotografi,” katanya. Pernah mengikuti dan menjadi juara dalam beberapa kejuaraan fotografi di Bali. “Tapi tahun ini ndak boleh ikut lagi. Jadi saya diminta jadi juri saja,” katanya. 
Kalau lagi asyik melukis atau berburu objek foto, tiba-tiba ada pasien gawat bagaimana Prof? “Ya… kita hentikan kegiatannya. Cuma kalau lagi melukis terus ada pasien tangan saya masih berlepotan cat minyak. Jadi harus benar-benar bersih,” kata Prof. Wita. 
Walau bagaimanapun, tentu saja kepentingan pasien harus didahulukan. Prof. Wita memiliki kenangan tersendiri terkait pasien dan hobinya ini. “Pelukis yang saya kagumi dari pasien saya sendiri, namanya Gunarsa,” katanya. Ketika itu, ia baru saja mulai menekuni hobi melukis. Dia kasih tahu cat dan teknisnya melukis, begini begitu. Saya belum sempat beli catnya beliau sudah meninggal,” katanya lagi.

[Tim InaHeartnews]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar