pita deadline

pita deadline

Rabu, 08 November 2017

Kardiologi Kuantum no.39; Kardiologi Kuantum: Menembus Kedalaman Hati

(Quantum Cardiology: Heart and Beyond)

“Getaran ekstase perasaan yang terjadi karena pergumulan antara ilmu-ilmu kardiologi-fisika kuantum-Candra Jiwa Indonesia (Soenarto), telah melahirkan tulisan-tulisan kardiologi kuantum yang bersifat semi ilmiah, filsafat terapan dan humaniora. Harapannya terjadi perubahan perilaku dan kelak dapat dibuktikan dengan penelitian-penelitian ilmiah berdasarkan metodologi dan induksi statistik tertentu, semoga dunia kita-semua tersenyum.” 
[Quantum Cardiology (Heart and Beyond); Ekst. BSP #39: 2012-2017]


TULISAN pertama kali tentang kardiologi kuantum berupa kolom berkelanjutan terbitnya Tabloid Profesi Kardiovaskuler (ISSN: 0853-8344) pada bulan Januari 2012 di halaman ke-2. Terbitan ini merupakan volume ke XVII dan bernomor 179. Kolom kuantum selalu dimulai dengan Salam Kardio dan diakhiri dengan Salam Kuantum, begitulah kebiasaan penulisnya.
Albert Einstein yang mengaku sudah memikirkan ratusan kali tentang masalah kuantum masih tetap bersikukuh bahwa teori kuantum dimasukkan dalam teori relativitas umum, bukan teori relativitas khusus. Pernyataannya: “I cannot seriously believe in [quantum theory] because.. physics should represent a reality in time and space, free from spooky actions at a distance.”
Nah, ingatkah kita pada tarian pencak Minangkabau yang nan dinamis, diiringi musik pentatonik dengan cerita legenda yang bertutur bahasa yang tinggi seperti pada cerita Sabai nan Aluih. Kesenian Randai dalam adat Minang dalam filsafatnya sebenarnya juga membenturkan “budi dengan ilmu” (budi manimpo ilmu). Seperti karakter “Ming” dalam bahasa Mandarin, gabungan karakter matahari dan bulan (empat coretan), dapat diartikan sebagai pencerahan.
Seorang peneliti seyogyanya melakukan lompatan kuantum ke depan seperti yang telah dilakukan Albert Einstein. Teori relativitasnya E=MC2 diperkirakan melompat 100 tahun ke depan dari zamannya. Einstein menjelaskan makna relativitas itu bagaikan sudah duduk 2 jam di dekat wanita cantik tetapi terasa baru 2 menit, sementara duduk di perapian panas selama 2 menit, sudah terasa 2 jam.
Menurut teori pemikiran Erwin Schrödinger keseluruhan sistem mekanika kuantum dapat dideskripsikan dengan fungsi gelombang dan ini membuka dasar kesatuan dari alam semesta.
Niels Bohr penyandang hadiah Nobel pun puyeng tentang fisika kuantum, katanya: “If anybody says he can think about quantum physics without getting giddy, that only shows he has not understood the first thing about them.” Alih-alih puyeng, Erwin Schrödinger (1887-1961), juga penyandang hadiah nobel, misteri dunia kuantum ia gambarkan dalam kisah ”Kucing Schrödinger” (1935) yang legendaris itu.

Kucing Schrödinger dengan peralatan untuk membuat teka-teki superposisi elemen kuantum.

Erwin salah satu Bapak Fisika Kuantum, pertama kali mengisahkan soal kucing itu sebagai upaya ‘eksperimen khayalan’ untuk menjelaskan dunia kuantum yang absurd. Dalam ‘eksperimen’ itu, seekor kucing diletakkan di sebuah kotak tertutup bersama sebuah botol berisi racun sianida. Racun sianida itu akan terlepas dan membunuh kucing tersebut apabila terkena tembakan partikel dari sebuah unsur radioaktif yang sedang meluruh. Peluruhan radioaktif itu diatur oleh hukum fisika kuantum yang hanya berisi probabilitas antara meluruh dan tidak meluruh atau disebut dengan kondisi ”superposisi”. Dengan sendirinya, kucing itu pun dalam kondisi superposisi, yakni mengalami keadaan hidup dan mati dalam waktu bersamaan.
Masalahnya, kondisi superposisi ini sangat sensitif terhadap lingkungan luar sehingga setiap usaha mengamati atau mengukur dengan pasti kondisi kucing tersebut akan merusak keadaan kuantumnya. Dengan demikian, saat ada orang yang membuka paksa kotak itu, dia hanya akan menemukan salah satu dari dua kemungkinan kondisi kucing: hidup atau mati. Itulah kesulitan yang dihadapi para penggelut fisika kuantum.
Selama puluhan tahun sejak ilmu ini ditemukan, teori-teori fisika kuantum telah terbukti benar dalam memprediksi berbagai gejala yang ditimbulkan dan bisa diamati di tingkat makro. Namun, mengamati partikel kuantum tunggal, apalagi kemudian mengendalikan perilakunya, adalah sesuatu yang selama ini dianggap mustahil.
Beruntung, masih di tahun 2012 masyarakat telah membaca berita bahwa ahli kuantum Serge Haroche dari Perancis dan David Wineland dari Amerika Serikat secara terpisah menemukan metode untuk mengisolasi partikel-partikel itu, yang memungkinkan seseorang mengamati, menghitung dan bahkan memanipulasi partikel-partikel tersebut.
Mereka telah berhasil ”menangkap” Kucing Schrödinger tanpa merusak kondisi kuantumnya! kotak logam yang berisi kucing Schrödinger telah dibuka dengan dua metode yang berbeda. Wineland menggunakan tembakan foton sinar laser untuk memperlambat dan mengendalikan atom-atom bermuatan listrik atau ion atom Berrylium.
Sementara Haroche sebaliknya, ia mengendalikan dan mengukur foton-foton alias partikel cahaya yang dijebak di antara dua cermin khusus dengan menembakkan atom-atom Rydberg. Penemuan mereka diyakini akan memungkinkan pembuatan sebuah komputer kuantum, yakni komputer berkecepatan sangat tinggi yang bekerja berdasarkan mekanisme fisika kuantum.

Kardiomiopati Reversibel Takotsubo
Dr. Arief Fadhilah Jumat pagi, 30 Maret 2012 mempresentasikan kasus sindroma Takotsubo untuk pertama kalinya di depan Konferensi Dep. Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Sangat mungkin juga baru pertama kali kasus ini diungkapkan di Indonesia. Takotsubo adalah jebakan gurita (octopus) yang sampai kini masih dipakai oleh nelayan Jepang. Pertamakali dilaporkan dari Jepang oleh Satoh dan Dote pada tahun 1900 yang mengemukakan bentuk ventrikel kiri pada fase sistolik tersebut mirip dengan bentuk jebakan oktopus.

Gambar A, adalah left-ventriculography pasien dengan sindroma takotsubo, suatu kumpulan gejala akibat stres-neurogenik; Gambar B adalah takotsubo, semacam guci yang dipakai nelayan Jepang untuk menangkap gurita.

Kardiomiopati yang reversibel akibat stres dikenal juga sebagai Takotsubo. “Stres berat bagaikan ‘gelombang-badai simpatis’ meskipun bersifat sementara, dapat mengakibatkan kardiomiopati Takotsubo suatu kelainan anatomik apeks jantung pada fase sistolik yang menyerupai balon” —adalah perkiraan Kardiologi Kuantum, pemerhati masalah filsafat terapan dalam bidang kardiovaskular.
Presentasi kasus Arief Fadhilah menjadi lebih seru ketika LV apical balooning tersebut ternyata membentuk elevasi segmen ST yang menyerupai infark miokard akut. Inipun telah dilaporkan oleh Bybeka KA, dkk dalam jurnal Annals of Internal Medicine 2004. Kardiomiopati Takotsubo disebut juga apical ballooning syndrome, kardiomiopati terinduksi stress, sindroma patah hati adalah suatu sindrom yang umumnya ditandai dengan disfungsi sistolik dari segmen apikal miokard dan atau mid ventrikel kiri, yang bersifat sementara, yang menyerupai infark miokard, tetapi tanpa adanya penyakit jantung koroner yang signifikan.1-8 Kardiomiopati Takotsubo pertama kali dikemukakan di Jepang. Kardiomiopati tipe ini kemudian dilaporkan pada populasi non-Asia, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.2, 4, 5, 9
Istilah patah-hati lebih lazim dipakai sebagai terjemahan dari broken-heart dari pada patah-jantung. Patah hati yang menyebabkan ‘badai simpatis’ tentu saja meningkatkan debaran jantung dalam waktu yang lama cukup untuk membentuk kelainan bilik kiri yang terdiri dari outflow track yang menyempit ditemani apeks yang menggelembung, seperti tempayan kecil.

Kardiologi kuantum & Chandra Jiwa
Awalnya, ada 3 peneliti di bidang ilmu jiwa di dunia Freud, Adler dan Jung. Sebelumnya orang lebih tertarik dengan ilmu perbintangan (astronomi), matematika, fisika, kimia, kedokteran fisik, terakhir barulah orang tertarik dengan ilmu jiwa, psikologi, psikiatri. Freud yang memang tidak percaya kepada Tuhan, candra jiwanya sederhana: Ego, Superego dan Nafsu: Seks (eros) dan Mati (tanos). Karena sederhana dan berorientasi di dalam diri manusia inilah justru yang diajarkan di fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia.
Ketiga peneliti jiwa tahap awal tersebut berikutnya, belum diajarkan di fakultas kedokteran. Adler orientasinya adalah masyarakat, jadi mau tidak mau orang harus mengikuti aturan-aturan, nilai-nilai di masyarakat agar sehat jiwanya. Nilai-nilai tersebut tidak menjadi masalah ketika diberikan oleh para Nabi kepada masyarakat, walaupun beliau juga belum percaya kepada Tuhan. Daya dorong motivasi manusia diletakkan pada "rasa rendah diri" dalam pandangannya orang bisa lebih tertarik ilmu kemasyarakatan seperti politik dibanding seks.
Jung justru percaya kepada Tuhan (Das Selbst) pertemuannya dengan ego manusia menjadi intuisi, dan leburnya ego manusia ke Das Selbst disebut sebagai Individuation sebagai akhir dari evolusi jiwa manusia. Nabi adalah manusia juga yang dapat mengeksiskan Das Selbstnya. Tentu saja tidak harus demikian, ini disebut sebagai hipotesis saja karena Jung belum pernah bertemu dengan seorang Nabipun.
Prof Soemantri mengikuti hipotesis Jung, hanya beliau bertemu dengan R. Soenarto Mertowardojo, bukan Nabi dan tidak menyebarkan agama baru. R. Soenarto Mertowardojo dan dua sahabatnya menulis pustaka intuisi Sasangka Jati. Tulisan tersebut berdasarkan sabda Sang Guru Sejati dari pusat hatinya dan dicatat oleh dua orang sahabatnya: R.T. Hardjoprakosa dan R. Trihardono Soemodihardjo. Sabda tersebut melebihi dari intuisi yang diperkirakan oleh Jung karena mengalir menjadi sebuah pustaka yang terdiri dari tujuh buku. Terjadinya Alam Semesta adalah salah satu dari buku tersebut yang dipakai sebagai intisari dari disertasi Dr. Soemantri di Universitas Leiden Negeri Belanda, dipromotori oleh Prof. Dr. E.A.D.E. Carp pada tanggal 20 Juni 1956.
Judul disertasinya adalah Indonesisch Mensbeeld als basis ener psicho-therapie (Candra Jiwa Indonesia sebagai Dasar Psikoterapi). Kembalinya Roh Suci (TheSelf) ke Suksma Sejati (TheForce) atas nama Suksma Kawekas (TheSource) adalah akhir dari evolusi jiwa-idealnya manusia disebut sebagai peristiwa Pamudaran/Panunggal.


Perbandingan 4-Candra Jiwa yang Semuanya Dilahirkan di Eropa.
Posisi sang-Aku (Ego) sebagai sentra pembanding utamanya. Menjadi jelas bahwa Candra Jiwa Indonesia berdiri sejajar dengan lainnya dan tampak lebih lengkap strukturnya. Das ES di dalam Candra Jiwa Freud disebut juga sebagai ID. Freud tidak percaya adanya Tuhan, Adler tidak membicarakan Tuhan maupun struktur jiwa, jadi keduanya tidak memiliki “Yang di Atas”, suprastruktur. Suprastruktur adalah bagian transendennya (kalbu-hati) manusia.

Kardiologi kuantum meminjam istilah yang sudah dikenal masyarakat melalui film-film legendaris tersebut untuk memperkenalkan Candra Jiwa Indonesia terutama bagian Tripurusa (TriAspect), bagian tertinggi, atau bagian terdalam dari jati dirinya seorang manusia. Suksma Kawekas (TheSource) adalah hierarkhi tertinggi, ia adalah sadar kolektif statis, asal mula dan sumber serta tujuan hidupnya manusia (ego). Ialah yang menguasai alam semesta dan seisinya. Semua kekuasaan adalah kekuasaan-Nya didelegasikan sepenuhnya kepada utusan-Nya Yang Abadi ialah Suksma Sejati (TheForce). TheForce adalah istilah lain dari Suksma Sejati yang menjadi pemimpin, penuntun dan gurunya manusia (TheSelf).
Dalam perjalanan sang waktu, Aku (Ego) yang materi yang berada di dalam mental (jiwa)-nya/jasmani halusnya manusia akan menjalankan evolusi sepanjang perjalanan hidupnya. Modalnya adalah menyerahkan kedaulatannya kepada Tripurusa, untuk ini diperlukan upaya introversi: sadar, percaya, taat dalam arti seluas-luasnya. Tentu saja hanya sampai pada TheGate (Rahsa Jati) karena ia masih bersifat materi, eksistensinya diganti oleh Roh Suci, Egonya yang imateri.
Manusia tidak mungkin memiliki Trisila sebagai “kunci dalam” secara sempurna sekiranya dalam penampilannya di dalam masyarakat tidak menjalankan tatacara hidupnya dengan Pancasila: sabar, rila, narima, jujur, budi luhur, diyakini sebagai “kunci luar” kehidupan. Dengan menguasai ilmu dan menjalankan Hastasila (hasta= delapan) tersebut bila diizinkan Suksma Sejatinya, terbuka kesempatan untuk mendapatkan intuisi (ilham) yaitu suatu pencerahan, suatu keajaiban yang dapat mengubah peradaban diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.
Pengendalian diri yang diarahkan kepada fungsinya yang tertinggi dari motivator-motivator ini adalah taat (obidience, takwa) kepada-Nya. Saling pengaruh-memengaruhi antara angan-angan dan nafsu-nafsu tersebut timbulah fungsi-perasaan, sebagai sentra-vitalitas yang baru, nonekstrinsik ialah ekstase suasana rasa-perasaan manusia yang berfungsi sebagai indikator. Ego-jasmani merupakan kristalisasi dari fungsi angan-angan manusia sedangkan strukturnya berasal dari ciptanya manusia. Ego-jasmani merupakan bayangan, refleksi dari Ego-rohani (Roh Suci) manusia ialah jatidirinya yang hakiki. Roh Suci (TheSelf) inilah yang dihidupi dan dituntun oleh Suksma Sejati (TheForce) atas nama sumber, asalmula, dan tujuan hidup manusia ialah Suksma Kawekas (TheSource).
Akhir dari perjalanan evolusi Egonya manusia adalah peristiwa Pamudaran dan Panunggal yang sesungguhnya adalah satu peristiwa yang sama. Pudarnya “bungkus” Roh Suci yaitu jiwanya manusia yaitu angan-angan perasaan dan nafsunya, dan ditariknya Sinar Roh Suci tersebut kembali ke Suksma Sejati atas nama Suksma Kawekas. Dalam jiwa manusia sudah tidak ada polaritas, sudah tidak ada gerakan dan tidak eksis lagi. Tugasnya sebagai manusia telah selesai, bagaikan mati di dalam hidup, dapat dibayangkan sebagai suatu peristiwa metamorfosis; Ia masih bisa melakukan kegiatan rutin, hanya saja semua dalam eksistensi Suksma Sejati. Manusia telah selesai melaksanakan tugas evolusi jiwanya dengan sempurna.8

Kesimpulan. Salam Kardio. Getaran ekstase perasaan yang terjadi karena pergumulan intensif antara ilmu-ilmu kardiologi, fisika kuantum dan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) seperti yang telah disampaikan dalam artikel tersebut di atas, telah melahirkan tulisan-tulisan tentang kardiologi kuantum yang bersifat semi ilmiah, filsafat terapan dan humaniora (2012-2017). Harapannya terjadi perubahan perilaku di dalam diri sendiri serta masyarakat sekelilingnya, dan kelak dapat dibuktikan dengan penelitian-penelitian ilmiah berdasarkan metodologi dan induksi statistik tertentu. Semoga dunia kita menjadi semakin tersenyum gembira, gairah dan bersemangat kebersamaan. “May TheForce be with us.”

*) Artikel Kardiologi Kuantum (Menembus Kedalaman Hati) ini disiapkan untuk 29th WECOC bringing forth “Contemporary Heart Failure Management: from Dream to Reality”, 6 Oktober 2017.


Daftar Pustaka

1. Bybee KA, Kara T, Prasad A, Lerman A, Barsness GW, Wright RS, et al. Systematic review: transient left ventricular apical ballooning: a syndrome that mimics ST-segment elevation myocardial infarction. Ann Intern Med. 2004 Dec 7; 141 (11): 858-65.
2. Tsuchihashi K, Ueshima K, Uchida T, Oh-mura N, Kimura K, Owa M, et al. Transient left ventricular apical ballooning without coronary artery stenosis: a novel heart syndrome mimicking acute myocardial infarction. Angina Pectoris-Myocardial Infarction Investigations in Japan. J Am Coll Cardiol. 2001 Jul; 38 (1): 11-8.
3. Abe Y, Kondo M, Matsuoka R, Araki M, Dohyama K, Tanio H. Assessment of clinical features in transient left ventricular apical ballooning. J Am Coll Cardiol. 2003 Mar 5; 41 (5): 737-42.
4. Desmet WJ, Adriaenssens BF, Dens JA. Apical ballooning of the left ventricle: first series in white patients. Heart. 2003 Sep; 89 (9): 1027-31.
5. Sharkey SW, Lesser JR, Zenovich AG, Maron MS, Lindberg J, Longe TF, et al. Acute and reversible cardiomyopathy provoked by stress in women from the United States. Circulation. 2005 Feb 1; 111 (4): 472-9.
6. Dec GW. Recognition of the apical ballooning syndrome in the United States. Circulation. 2005 Feb 1; 111 (4): 388-90.
7. Bybee KA, Prasad A, Barsness GW, Lerman A, Jaffe AS, Murphy JG, et al. Clinical characteristics and thrombolysis in myocardial infarction frame counts in with transient left ventricular apical ballooning syndrome. Am J Cardiol. 2004 Aug 1; 94 (3): 343-6.
8. Budhi S. Purwowiyoto. Kardiologi Kuantum (18): TheForce. Tabloid Profesi Kardiovaskuler (ISSN: 0853-8344). 2013 Mei; 195 (XIX): 3, 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar