pita deadline

pita deadline

Selasa, 25 April 2017

Satu Hal yang Tidak Boleh Ditinggalkan:


Sumpah Dokter Indonesia

Selain hasus mematuhi dan menaati kode etik, seorang dokter jantung hendaknya juga menganut prinsip bermanfaat dan amanah. Sumpah Dokter menjadi pedoman dan penyelamat dari kejadian malpraktek.

BENAR Baik -­ Bermanfaat -­ Amanah. Begitulah setidaknya empat hal yang menjadi motto yang ditekankan Prof Dr dr Dede Kusmana, salah satu tokoh, pendiri dan pelopor Yayasan Jantung Indonesia, bagaimana sebaiknya seorang dokter jantung melaksanakan etika dan etos kerjanya.
BENAR adalah seorang dokter jantung telah diakui secara keilmuan dan profesional. “Anda benar seorang dokter, oleh karena telah mengikuti pendidikan akademis dan profesionalisme di suatu institusi pendidikan dan rumah sakit yang terakreditasi,” kata Dede. Hal ini dibuktikan dengan ijazah dan sertifikat kompetensi, untuk dokter spesialis jantung serta dari Kolegium Ilmu Penyakit Jantung.
BAIK adalah, “Anda baik oleh karena memiliki Kompetensi yang sudah dilatihkan dan mendapat penilaian dari pakar di bidangnya,” kata Dede.
BERMANFAAT adalah “Anda bermanfaat karena selama menjalankan profesi dilandasi dengan Sumpah Dokter yang telah Anda ikrarkan,” tutur Dede.
AMANAH, terakhir, “Anda akan memegang teguh semua rahasia pasien dan tekad suci sebagai janji yang harus ditunaikan,” kata Dede lagi.
Dengan demikian maka apapun tantangan, kesulitan yang dihadapi akan dapat diatasi selama berpegang teguh pada sumpah dan kemampuan kompetensi. “Kondisi ini harus terus dipelihara dan ditingkatkan sesuai dengan perkembangan Ilmu dan Teknologi di bidang Kardiovaskular,” katanya.
Maklum saja, menempuh pendidikan dan menjadi seorang dokter tentu membutuhkan ketabahan, keuletan bahkan bagi orang tertentu, membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Setelah dinyatakan lulus maka dokter mengangkat Sumpah atau Janji Dokter sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
“Berarti sumpah atau janji tersebut mengikat seluruh aspek kehidupan profesionalisme selama menjalankan kewajibannya dalam ikatan dengan Allah SWT, sang pencipta alam semesta dan dirinya serta pasien yang akan dilayaninya,” kata Dede sambil kembali mengingatkan tentang Sumpah Dokter Indonesia (lihat Sumpah Dokter).
“Saat itu, seseorang diberi gelar dokter setelah menempuh pendidikan akademik, memperoleh gelar drs med (doktorandus medicus/sarjana kedokteran) dari suatu institusi pendidikan kedokteran (fakultas kedokteran dari suatu universitas) yang telah diakui negara,” kata Dede.
Setelah itu, sang dokter harus melampaui penilaian yang baku (akreditasi) oleh Lembaga Akreditasi Nasional. “Kemudian menjalankan kemampuan (kompetensi keahlian/profesi) di pelayanan kesehatan yang juga sudah terakreditasi dari suatu rumah sakit sesuai dengan standar yang dianut di Negara Republik Indonesia yang bersifat nasional, misalnya KARS (komite Akreditasi Rumah Sakit), malahan ada yang meraih akreditasi internasional.
Setelah semuanya dapat diraih, Dede kembali menekankan satu hal yang tidak boleh ditinggalkan: Sumpah Dokter. “Sumpah Dokter yang dilafalkan pertama kali dan satu-satunya seumur hidup di fakultas/sekolah kedokteran. Setelah memperoleh ijazah merupakan sumpah promisoris karena berisi janji publik dokter untuk mengawali praktik kedokteran sebagai pengabdian profesinya,” kata Dede.
 Maka, lanjut Dede, “Jelas sekali bahwa Sumpah Dokter hanya dilakukan satu kali seumur hidup sehingga tidak mustahil sudah lupa,” katanya. Sebab itu, Dede menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) dalam setiap kesempatan menerima para anggota baru mewajibkan untuk mengucapkan Sumpah Dokter tersebut, disamping Janji Profesi sebagai dokter spesialis jantung. “Akan bermanfaat juga bagi yang sudah menyandang gelar dokter spesialis jantung yang sudah lama tetapi masih aktif  memberikan pelayanan, pendidikan dan penelitian,” katanya.
Nah, selain sisi keahlian dan profesionalitas, kode etik dan etos kerja yang terkandung dalam Sumpah Dokter itulah yang menjadi bekal menjalankan profesi. “Masalah yang paling banyak dihadapi dokter spesialis jantung adalah adanya tuntutan dari pasien manakala diduga melakukan kelalaian (malpraktek),” kata Dede.
Malpraktek itu, sedikit banyak ditimbulkan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Misalnya perkembangan teknologi kedokteran yang baru dan lebih cepat, tingkat pendidikan masyarakat yang makin tinggi, tuntutan memperoleh sistem layanan yang lebih baik serta peran media massa yang semakin kuat dan berpengaruh, “Termasuk budaya materialisme yang melebihi profesionalisme,” kata Dede.
Sebab itulah, untuk mencegah hal­hal yang tidak diinginkan tersebut, setidaknya ada dua hal yang dapat dilaksanakan. Pertama, lanjut Dede, adalah tak lain mengingat dan menjalankan Sumpah Dokter dengan sebaik-­baiknya. “Seorang dokter apapun tingkatannya, jika mengingat Sumpah dan Kode Etik masing-­masing profesi, Insya Allah akan terhindar dari kelalain profesionalisme,” kata Dede.
Jika diartikan dalam sistem nilai, maka Sumpah Dokter adalah nilai-­nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, a) dalam arti sebagai kumpulan atau nilai moral, yaitu kode etik; b) dalam arti ilmu tentang baik dan buruk atau disebut sebagai filsafat moral (Bertens).
Kedua, jangan lupa juga, perbaikan yang terus menerus juga harus ada dari sisi profesionalitas. Misalnya saja, terjadinya kesenjangan profesi antara Pusat dan Daerah sebenarnya tidak perlu terjadi. Perki dan Kolegium, Fakultas Kedokteran, serta Rumah Sakit dapat menyusun secara bersama Program Peningkatan Kompetensi dan Keilmuan, yang saat ini terus digencarkan dalam bentuk lokakarya atau pelatihan saat berlangsung acara ASMIHA (pertemuan ilmiah tahunan) dan sejenisnya.
Sebagai manusia yang tentu mempunyai keterbatasan, maka menurut Dede, jika menghadapi masalah dan belum memiliki kompetensi yang baik, sikap bijaksana dengan merujuk kepada sejawat yang memang pakar di bidangnya.
“Insya Allah, jalan kemudahan akan senantiasa ditunjukan kepada hamba-Nya yang senantiasa taat pada Sumpah Dokter yang telah diikrarkan, dan terhindar dari malpraktek,” katanya lagi. Amin!

[Tim InaHeartnews]


*****


Sumpah Dokter Indonesia & Penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) 2012


Pasal 1: Sumpah Dokter

Demi Allah saya bersumpah, bahwa:
  1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
  2. Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
  3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
  4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
  5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
  6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
  7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
  8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
  9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
  10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
  11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
  12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Penjelasan: Untuk yang beragama Islam di bagian awal mengucapkan: “Demi Allah saya bersumpah”. Untuk penganut agama selain Islam mengucapkannya sesuai yang ditentukan oleh agama masing-masing. Sesudah itu lafal sumpah diucapkan oleh setiap dokter secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama sesuai bunyi lafal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar