pita deadline

pita deadline

Rabu, 26 April 2017

InaSH 2017: Indonesia Perlu Waspada Terhadap Hipertensi

Kewaspadaan Indonesia terhadap hipertensi perlu ditingkatkan. Penderita hipertensi wanita cenderung naik. Hipertensi cenderung membuat biaya sosial, ekonomi dan kesehatan makin tinggi.


Indonesian Society of  Hypertension (InaSH) atau Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia kembali mengadakan pertemuan ilmiah. Dalam pertemuan ke­-11 tahun ini, setidaknya hadir 1500­an pakar dan dokter hipertensi dari dalam dan luar negeri yang diselenggarakan di Sheraton Jakarta Gandaria City Hotel pada 24-­26 Februari 2017. 
“Kami cukup berbahagia karena terjadi peningkatan jumlah peserta dibandingkan dengan tahun lalu. Selain itu juga terjadi peningkatan kualitas. Misalnya kami menerima setidaknya 80­an hasil penelitian dari berbagai kalangan dokter. Bahkan juga dari kawasan terpencil di Indonesia. Inilah yang harus terus kita bina,” kata Dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Ketua Panitia 11th InaSH. Hasil penelitian ilmiah akan ditampilkan dalam bentuk seminar, workshop, presentasi jurnal ilmiah serta beberapa penghargaan yang bertaraf nasional maupun internasional.
InaSH ke­11 mengambil tema Hypertension 2017: The Science for Today’s and Tomorrow’s Practice. Sejumlah anggota organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), juga turut andil dalam acara ini.
Dalam kesempatan itu, Ketua InaSH, Dr. dr. Yuda Turana, SpS, berharap InaSH tak hanya bermanfaat bagi para anggota, tetapi juga masyarakat luas, termasuk di antaranya para pejabat negara yang mengurusi bidang kesehatan. “Biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan untuk pengobatan makin terlihat. Sebagian besar penyakit yang ditangani lewat BPJS Kesehatan saat ini, sebagian besar berawal dari hipertensi,” tutur Yuda.
Sebab itulah, beberapa pakar dan anggota InaSH 2017 sepakat memfokuskan pada hipertensi wanita. “Hipertensi pada wanita sering dianggap kurang penting dan tidak terdiagnosa dengan baik. Pada kenyataannya hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya gangguan jantung, gangguan ginjal, stroke, demensia bahkan kematian,” tutur dr Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA, FAsCC pakar senior hipertensi yang juga salah satu pendiri InaSH, di Sekretariat InaSH, Jalan Danau Diatas, Jakarta.
 Maklum saja, hingga saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Padahal, boleh dibilang, hipertensi merupakan awal dari beragam penyakit yang lebih berat, karena merusak berbagai organ vital. Namun sayangnya, pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan di seluruh Indonesia tentang hipertensi tercatat masih rendah dengan jumlah kasus yang tidak terdiagnosa dan jumlah pasien yang tidak mendapat terapi yang memadai masih tinggi.
 Ann kemudian memaparkan data, pada usia 65 tahun ke atas, prevalensi hipertensi pada wanita adalah 28.8, lebih tinggi dibandingkan laki­-laki dengan prevalensi 22.8 (Riskesdas 2013). Walaupun data lainnya menyebutkan, selain faktor hormonal, didapati bahwa angka perkiraan hidup (life expectancy) wanita lebih tinggi dari pria.
 “Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting dalam penyebab terjadinya penyakit Kardio­-Cerebro-­Vascular (KCV). Kematian di dunia sebagian besar disebabkan oleh penyakit KCV, baik pada pria maupun wanita. Dalam kurun waktu antara tahun 2000­-2025 diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi sebanyak 9% pada pria dan 13% pada wanita,” kata Ann.
Para pembicara lainnya wanti-­wanti agar masyarakat lebih memperhatikan gejala hipertensi. Betapa tidak, dampak yang di timbulkannya dapat merembet pada organ lain. Misalnya terjadi gangguan jantung, serangan stroke, ginjal dan demensia.
Menurut Yuda, masyarakat perlu mewaspadai hipertensi karena merupakan hulu dari timbulnya penyakit-­penyakit yang lebih berat. Serangan stroke, misalnya, memang sering disebut sebagai silent killer. “Tapi penyakit itu merupakan ujungnya saja. Awalnya adalah gejala hipertensi yang tidak dirawat,” kata Dr dr Yuda Turana, SpS, Ketua InaSH.
Tak hanya itu, hipertensi ujung-­ujungnya juga berdampak pada penurunan fungsi otak seperti demensia. Lagi-­lagi, menurut penelitian yang ada, resiko wanita terkena demensia lebih tinggi dibanding pria.
“Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada Desember 2015­ - Januari 2016 menunjukkan bahwa wanita yang terkena stroke kemungkinan mengalami demensia sebanyak 7 kali lipat, dibandingkan dengan pria yang hanya 4 kali lipat,” kata Yuda.
Hipertensi juga dapat merambat ke organ ginjal. “Kerusakan ginjal akibat hipertensi, misalnya, sangat ditentukan oleh tingginya angka tekanan darah sehingga dinding pembuluh darah di ginjal menebal dan kaku yang disebut nephrosclerosis,” tutur ahli ginjal hipertensi dr Tunggul D Situmorang, SpPD­ KGH, yang juga menjadi Wakil Ketua InaSH.
Karena itu, lanjut Tunggul, pengendalian tekanan darah yang baik harus dilakukan hingga mencapai target yang ditentukan. Kerusakan ginjal akibat hipertensi setidaknya dapat diperlambat sehingga terhindar dari gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan dialisis (cuci darah).

 [Tim InaHeartnews]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar