pita deadline

pita deadline

Jumat, 28 April 2017

Leadless Pacemaker: Langkah Maju Teknologi Kardiovaskular

Para ahli menciptakan alat pacu jantung tanpa kabel. Lebih kecil, sangat praktis dan beresiko rendah. Sejumlah pasien jantung Indonesia telah menikmati teknologi ini. Namun sayang, harganya masih tinggi. Apa yang harus dilakukan?


WUJUDNYA sekilas tampak seperti peluru panjang, dengan kait besi seperti jangkar pada salah satu ujungnya. Besarnya hampir sama dengan uang logam Rp 500. Itulah alat leadless pacemaker atau pacu jantung tanpa kabel, teknologi terbaru yang dikembangkan sebuah perusahaan yang bermarkas di Mounds View, Minnesota, Amerika Serikat.
Alat leadless pacemaker ini memiliki ukuran hanya sepersepuluh pacu jantung konvensional dengan panjang 25,9 mm dan berat 2 gram saja. “Pacu jantung ini menggunakan teknologi tanpa kabel sehingga dapat dipasang ke dalam jantung tanpa harus melalui kompleksitas penanaman kabel di dalam pembuluh darah,” tutur Dr Dicky A Hanafy SpJP(K), FIHA, kardiologis dari RS Harapan Kita.


Saat ini, lanjut Dicky, teknologi mampu membuat segala sesuatunya menjadi lebih kecil, lebih tahan lama dan lebih efektif. Para ilmuwan teknologi kedokteran juga membuat alat-alat kedokteran menjadi lebih efektif, termasuk pada alat pacu jantung. “Mereka kini mampu membuat alat yang lebih kecil, chip yang tidak membutuhkan banyak tenaga, baterai yang tahan lama, dan sebagainya,” kata Dicky.
Sejumlah perusahaan memang berlomba-lomba menciptakan pacemaker yang lebih canggih. Namun, sejauh ini, baru satu perusahaan yang mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA), badan pengawasan obat dan makanan Amerika Serikat, pertengahan tahun lalu.


Banyak yang berharap, teknologi baru ini dapat lebih banyak membantu penderita jantung. Maklum saja, hingga saat ini, pemasangan alat pacu jantung konvensional memang masih menyisakan sejumlah masalah dengan resiko kesehatan yang tinggi bagi pasien. Misalnya, mulai dari kerusakan lead pacu jantung, ancaman infeksi, pneumotoraks hingga regurgitasi trikuspid.
Apakah leadless kemudian dapat mengatasi berbagai persoalan itu? Yang pasti, karena tanpa kabel, banyak juga keuntungan yang dapat diraih. Di dalam tubuh alat ini sudah terdapat semacam baterai dan generator listrik yang bekerja sebagaimana laiknya alat konvensional untuk memacu jantung agar bekerja dengan baik. Leadless pacemaker diperkirakan dapat bekerja menjaga jantung pasien hingga 10 tahun lamanya.
“Kelebihan dari leadless ini karena tanpa operasi. Jadi jauh lebih simpel dengan tingkat keberhasilan mencapai 99% dibandingkan yang konvensional sebesar 85%,” kata Dicky. Jika dibandingkan soal malfunction alat ini, Dicky mengatakan leadless di bawah 4% sedangkan yang konvensional dapat mencapai 17%. “Jadi dilihat dari sisi ini, leadless memang lebih menjanjikan,” katanya.
Penelitian yang diadakan FDA memang menunjukkan hal itu. Leadless pacemaker telah diterapkan pada setidaknya 719 pasien jantung. “Sebanyak 98% pasien mengalami denyut jantung yang memadai setelah menggunakan alat ini selama 6 bulan” demikian laporan tersebut. Komplikasi pada pasien memang terjadi, seperti kejadian rawat inap berkepanjangan, gumpalan darah di kaki (deep vein thrombosis), masalah paru-paru (pulmonary embolism), cedera jantung, dislokasi perangkat dan serangan jantung. Namun jumlah pasien yang mengalaminya hanya di bawah 7%.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sejauh mana dapat diterapkan pada pasien jantung di sini? Ternyata pihak RS Harapan Kita telah menerapkannya pada 11 pasien jantung. “Kami telah memilih sejumlah pasien itu yang rata-rata memang berusia lanjut dan kira-kira memiliki faktor risiko yang tinggi,” kata Dicky. Setelah berlangsung selama enam bulan, menurut Dicky, kondisi mereka baik-baik saja. “Kami terus memantau kondisi mereka,” katanya.
Pada dasarnya, semua pasien jantung dapat segera memakai alat ini. Kontraindikasi yang terjadi pada dasarnya hampir sama dengan yang konvensional. “Tetapi kalau dibandingkan, jelas itu lebih kecil dibandingkan dengan yang biasa. Kontraindikasi memang relatif tetapi jika itu hampir absolut pada yang konvensional, maka pada leadless dia menjadi lebih kecil,” katanya.
Satu-satunya yang bisa disebut kelemahan, menurut Dicky, adalah harga leadless pacemaker yang masih tergolong sangat mahal menurut ukuran kantong pasien jantung Indonesia. Untuk saat ini, untuk harga per unitnya saja, mencapai Rp 170 juta. Itu belum termasuk biaya pasang di dalam jantung. Jika dihitung dengan pajak alat kesehatan, ppn 10% dan sebagainya, “Biaya keseluruhan yang harus ditanggung pasien dapat menjadi sekitar Rp 180 juta,” kata Dicky. Saat ini harga pacu jantung konvensional memang jauh lebih murah, hanya sekitar Rp 15-20 juta per unit.
Padahal, penyakit jantung masih merajai Indonesia. Angka kematian akibat gagal jantung masih cukup tinggi. Di sebuah rumah sakit saja ada 1.239 pasien gagal jantung selama tahun 2013. “Dari pasien itu setengahnya lemah jantung, fungsi jantung sudah menurun,” ujar Dicky.
Sebab itulah, Dicky menyatakan sebaiknya sejumlah pihak yang berkepentingan dapat bersama-sama urun rembuk mengatasi masalah ini. Mulai dari Kementerian kesehatan, para pakar jantung, komunitas jantung hingga lembaga swasta. “Misalnya kita dapat saja mengadakan subsidi khusus bagi pasien-pasien yang benar-benar memerlukan teknologi ini, yang memiliki resiko tinggi dan sebagainya,” tutur Dicky lagi.

[Tim InaHeartnews]

Sejarah Pendidikan Kardiologi: Memperjuangkan Amanat Founding Fathers

“Lapangan kardiologi sebegitu luasnya, hingga bagi para Internis Umum tak mungkin lagi dapat tetap mengikuti dan menguasai kemajuan­-kemajuan dalam lapangan ini” (Gan Tjong Bing, 1957)


BEGITULAH salah satu pernyataan pendiri dan ketua Perki pertama, dr Gan Tjong Bing pada tanggal 16 Nopember 1957. Pada saat itu, masih dalam suasana mempertahankan kemerdekaan dan gejolak revolusi, dunia kedokteran Indonesia juga menggeliat. Dr Gan yang baru kembali dari luar negeri saat itu memaparkan bahwa “Per kembangan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI tidak dapat dipisahkan dari Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Indonesia yang mulai berkembang pada tahun lima puluhan”.
“Pada saat itu, secara kelembagaan Perki menjadi lebih kuat dan berkembang. Itu karena ilmu jantung yang berkembang terus menerus, yang tidak mungkin lagi jika hanya ditampung oleh lingkup penyakit dalam saja,” kata Prof  Dr dr Rachmat Romdoni, tokoh ahli jantung dari RS Universitas Airlangga, Surabaya.
Para founding fathers dan sejumlah tokoh kedokteran Indonesia kemudian merintis dan meletakkan dasar-­dasar keilmuan kardiologi. Sejarah perkembangan ilmu kardiologi terbagi dalam 4 periode. Yaitu periode Perintis, periode Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS), periode Bagian Kardiologi di RSCM dan periode Bagian/Departemen Kardiologi di RS Jantung Harapan Kita (Buku Jejak Kardiologi 1957-­2005, Prof  Dr dr Dede Kusmana --ed)

Periode Perintis, 1957 - 1964
Pada periode ini, penyelenggaraan pendidikan kardiologi berlangsung di RSCM. Pada awalnya, dalam satu angkatan hanya terdapat 1 sampai 2 orang peserta atau asisten ahli. Ketika itu belum terdapat program, kurikulum dan tahapan pendidikan yang jelas. Pendidikan pada tahap ini bersifat magang dimana seorang peserta atau asisten ahli biasanya hanya mengikuti kegiatan konsulen atau dokter ahli. Para peserta atau asisten dididik harus belajar semi-­mandiri.
Namun, mereka juga dengan gigih belajar hingga ke Luar Negeri. Salah satu staf yang pertama kali dapat menikmatinya adalah dr Sukaman pada periode 1959-­1961 di Amerika Serikat, dr Asikin Hanafiah ke London pada 1961­-1962. Dr Tagor G.M. Siregar dan dr Loethfi Oesman ke Kanada pada 1966-­1967.

Periode Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS),  1965-1975
Sejak 1960­an, para dokter jantung menginginkan terwujudnya suatu lembaga resmi yang dapat mewadahi segala aktivitas keilmuan dan profesi kardiologi. Keinginan itu tercapai dengan dibentuknya Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS) pada 17 Agustus 1965. Pada waktu itu semua tenaga di bidang kardiologi ditugaskan bekerja di LAKARNAS. Maka semua kegiatan Kardiologi, baik itu pelayanan, penelitian, kuliah, demonstrasi serta ujian mahasiswa dilaksanakan dokter­-dokter LAKARNAS.
Pada periode ini keadaan bagian Kardiologi masih sederhana, menyebabkan keterbatasan tersedianya sarana dan dana untuk penelitian. Walau demikian, semangat untuk berbenah dan berprestasi tetap tinggi. Pada periode inilah konsep kurikulum pendidikan kardiologi digodog dan dibahas sehingga menghasilkan suatu kurikulum yang community oriented. Konsep ini merupakan hasil Kongres Perhimpunan Kardiologi I, pada Agustus 1974. Maka produk kardiologi ini pun dipakai sebagai kurikulum resmi pendidikan dokter ahli jantung saat itu.

Periode Bagian Kardiologi di RSCM, 1976 - 1984
Pada 10 Nopember 1976 dengan terjadi perubahan status pusat Kardiologi FKUI/RSCM menjadi bagian Kardiologi FKUI/RSCM. Sejak saat itu, pusat kegiatan kardiologi Indonesia lebih banyak dipusatkan pada FKUI/RSCM. Pada 1979, dibentuklah Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai suatu sistem yang dibina dan dikembangkan Dirjen Dikti saat itu, melalui Konsorsium llmu Kesehatan yang kemudian disebut Komisi Disiplin llmu Kesehatan (KDIK) Dewan Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Menteri Pendidikan saat itu kemudian mengeluarkan kebijakan tentang PPDS adalah salah satu dari 14 program studi di Universitas Indonesia (UI) yang penyelenggaraan pendidikannya dibawah Fakultas Pascasarjana. Pada periode ini untuk menyelesaikan pendidikan Kardiologi, para asisten harus membuat penelitian akhir/Tesis. Pada periode ini juga ditandai dengan penambahan sejumlah fasilitas kesehatan seperti cardiac emergency dan ICCU, laboratorum kateterisasi dan sebagainya.

Periode Departemen Kardiologi di RSJ Harapan Kita, 1985 - Sekarang
Pada 1 Agustus 1985, lokasi dan kegiatan Kardiologi dipindahkan dari RSCM ke RS Jantung Harapan Kita. Periode ini juga ditandai oleh pembuatan buku katalog pendidikan dan kurikulum yang secara resmi diakui oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan. Konsep yang diterima ketika itu adalah katalog Pendidikan Kardiologi dari Bagian Kardiologi pada 1986. Konsep ini pun mengalami berbagai penyempurnaan beberapa tahun kemudian.
Pada periode ini fase Pendidikan Spesialis Jantung dimulai dan berkembang dengan pesat dengan dukungan sarana dan prasarana yang lebih baik. Kegiatan ilmiah tahunan yang secara rutin diadakan PERKI maupun Dept Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, memungkinkan para PPDS untuk berkiprah dengan menampilkan penelitian dan mendapatkan ilmu dari para pakar baik dalam maupun luar negeri.
Nah, berbagai pencapaian ini, menurut Prof Romdoni haruslah dipertahankan dan ditingkatkan. Ibarat mempertahankan dan mengembangkan amanat founding fathers. “Beragam pusat pendidikan harus diperkuat dan pesertanya harus ditambah. Kalau bisa setidaknya ada 150­an SpJP yang dihasilkan setiap tahunnya,” kata Romdoni, yang pernah menjadi Ketua PERKI Pusat pada 2012-­2014.
Selain itu, untuk memperkecil jurang antara Pusat dan Daerah, Romdoni mengusulkan agar sistem pendidikan dan kemandirian di daerah diperkuat. “Jadi salah satunya tolong ada regulasi pendidikan yang juga mendukung pengembangan daerah. Misalnya untuk Kedokteran Nuklir, tidak semuanya harus ke Jakarta. Jadi orang­-orang di daerah juga terakomodasi,” tutur Romdoni lagi.


[Tim InaHeartnews]

Rabu, 26 April 2017

HUT ke-40 Dept Kardiologi FKUI: Genap 5 Windu Mengabdi untuk Bangsa

Departemen Kardiologi FKUI menyelenggarakan milad ke­-40. Acara berlangsung meriah. Mengemban tugas sebagai “Empat Pilar Kardiovaskular Indonesia”. Sejumlah tokoh dan pakar jantung turut hadir memeriahkan suasana. Apa saja yang telah dicapai selama ini?

Keluarga Besar Departemen Kardiologi FKUI merayakan ulang tahun ke-40.

“LIFE begin at 40”, demikian ungkapan yang ada selama ini. Pada umur 40 tahun, perkembangan kedewasaan dan wawasan serta prestasi mencapai puncaknya. Begitulah yang kini terjadi pada Departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang berulang tahun ke-­40 sejak berdiri pada 10 November 1976.
Tema ulang tahun kali ini adalah “5 Windu Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI Mengabdi untuk Bangsa”. Acara berlangsung sangat meriah, banyak alumni yang hadir dalam suasana penuh keakraban dan persaudaraan. Tampak hadir Dekan FKUI dan Direktur RS Jantung Harapan Kita, serta para founding fathers dan sesepuh.
Dalam rangka HUT ke-­40 ini, juga diadakan launching dua buah buku sekaligus. Yakni buku ajar kardiovaskular serta buku “5 Windu Kiprah Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI”. Mereka juga menggelar panggung hiburan bagi keluarga besar Kardiologi, mulai dari musik, paduan suara dan games yang menarik.
Tak lupa juga sebagai rangkaian ulang tahun, lembaga ini melaksanakan bakti sosial di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan, Bogor. Para civitas akademika mencakup mahasiswa, PPDS­1, staf, dan karyawan melakukan berbagai kegiatan antara lain penyuluhan kesehatan jantung dan hipertensi, pelatihan kader dan tokoh masyarakat untuk skrining faktor risiko penyakit jantung koroner, pelatihan Bantuan Hidup Dasar untuk awam dan tenaga medis, penyuluhan anti rokok untuk anak SD, SMP, dan SMA (bekerja sama dengan Yayasan Jantung Remaja), serta melakukan survey dan beberapa penelitian.
“Untuk HUT kali ini kami ingin mengenang perjuangan para founding fathers  dan para pimpinan serta para staf departemen. Kemudian kami ingin menilai hasil yang telah dicapai saat ini dan memahami tantangan serta target yang harus dicapai di kemudian hari,” tutur Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI Dr dr  Amiliana M Soesanto, SpJP (K). Berikut ini penuturan Amiliana kepada tim InaHeartnews, Februari.

Dr dr  Amiliana M Soesanto, SpJP (K)

Makna penting apa yang harus diambil dari HUT Kardiologi FKUI kali ini?
Kami ingin memaknai berdirinya bagian Kardiologi ini merupakan hasil perjuangan dari para founding fathers yang pada saat itu telah melihat bahwa lapangan kardiologi begitu luas dan akan menjadi semakin luas sehingga diperlukan suatu keahlian yang memiliki pendalaman dan kekhususan agar tetap mampu mengikuti dan menguasai kemajuan-­kemajuan dalam lapangan ini.
Lahirnya bagian kardiologi FKUI pada waktu itu tidak bisa dilepaskan dari lahirnya Yayasan Jantung Dewi Sartika yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Jantung Indonesia, berdirinya Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki). Kerjasama yang sangat erat telah terbina sejak awal kelahiran Dept Kardiologi FKUI dengan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Perki dan Yayasan Jantung Indonesia. Sehingga empat institusi itu disebut sebagai “Empat Pilar Kardiovaskular di Indonesia”. Empat Pilar ini diharapkan senantiasa bekerja sama meningkatkan pelayanan kardiovaskular di Indonesia melalui tugas dan tanggung jawabnya masing-­masing yaitu di bidang pendidikan, penelitian, pelayanan pasien dan penggerak masyarakat.

Apa yang istimewa dalam HUT Dept Kardiologi kali ini?
Yang istimewa pada HUT ini adalah kita juga membuat acara ini menjadi temu kangen dari seluruh alumni lulusan program studi Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI sejak angkatan pertama sampai angkatan yang baru saja lulus. Alhamdulillah banyak para alumni yang bisa hadir, senior dan junior saling bersilaturahmi, teman seangkatan saling bernostalgia dan melepas rindu. Beberapa alumni bahkan datang dari luar kota.
Kami juga me­launching dua buah buku. Yaitu buku ajar kardiovaskular yang merupakan bentuk tanggung jawab kami untuk menyebarluaskan ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah bagi para dokter di seluruh Nusantara. Buku kedua ada lah “5 windu kiprah departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI” yang menceritakan tentang sejarah berdirinya departemen kami, pencapaian kami selama 40 tahun mengabdi dan arah tujuan yang ingin kami capai di kemudian hari. Kami juga me­launching CD yang berisi lagu-­lagu paduan suara yang dinyanyikan oleh para mahasiswa dan PPDS Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.

Prestasi apa saja yang telah dicapai selama 40 tahun ini?
Sebagai suatu organisasi modern kami menyadari bahwa kerjasama dan kolaborasi positif dengan berbagai pihak adalah strategi yang penting untuk menghadapi tantangan dan mencapai visi departemen yaitu ”Leader in Cardiovascular Education, Research and Care”. Saat ini kami bekerja sama dengan banyak institusi baik di dalam lingkungan FKUI, di luar FKUI, di dalam maupun di luar negeri untuk pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bahkan kami juga telah melakukan kerjasama dengan institusi akademik non medikal seperti ITB dan UTM untuk melakukan riset terkait medical engineering.
Untuk kegiatan pengembangan keilmuan dan tekhnologi kardiovaskular, Dept Kardiologi bekerjasama dengan berbagai pusat jantung di luar negeri antara lain di Singapura, Malaysia, Jepang, Taiwan, Vietnam, Belanda, Jerman, Australia, Amerika, Argentina. Program kerjasama itu terkait program fellowship/advance training atau PhD program  para staf  kami.
Sedangkan untuk kerjasama pusat jantung dalam negeri, departemen kami menjadi pengampu dari program studi Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular dari  beberapa universitas negeri di Indonesia.

Apakah sejauh ini, Dept Kardiologi dapat mengejar target kebutuhan tenaga ahli nasional?
Untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga SpJP diperlukan percepatan penambahan jumlah lulusan SpJP dan materi kasus­-kasus yang sesuai dengan yang akan dihadapi para SpJP baru. Oleh karena itu kami membina kerjasama dengan beberapa RS jejaring pendidikan sebagai lahan pendidikan untuk menjamin tercapainya pengalaman dan case load bagi peserta didik. Antara lain; RSCM, RS PKT Bontang, RSPAD Gatot Subroto, RSUD Tangerang, RS Fatmawati, RSAB Harapan Kita, RSUD Tarakan, RSAL Mintohardjo dan RS POLRI Kramat Jati.
Dalam kegiatan pengabdian masyarakat kami bekerjasama dengan Yayasan Jantung Indonesia melakukan berbagai macam aktifitas misalnya penyuluhan kesehatan, pemeriksaan jantung dan lain-lain. Kami juga melakukan pembinaan secara insidentil di beberapa SD sekitar RS Jantung Harapan Kita, panti asuhan yatim piatu, yang menjadi rutin selama Ramadhan.

Bagaimana pula dengan perkembangan intern SDM di Dept Kardiologi? Apakah tenaga pakar/keilmuan yang ada saat ini sudah memenuhi kebutuhan?
Kebijakan kita sekarang adalah regenerasi yang berkesinambungan dan terencana, percepatan peningkatan kemampuan keilmuan dan ketrampilan para staf  baik junior/madya dan memanfaatkan ilmu dan pengalaman para staf senior dan juga yang telah purna bakti untuk terlibat dalam proses pendidikan.
Staf  dikirim ke pusat pendidikan/pelatihan di luar negeri untuk advance training, short course, proctorship atau training lainnya. Para staf  juga didorong untuk memperbanyak publikasi dan berbicara di forum­forum ilmiah mempresentasikan capaian­-capaiannya. Selanjutnya kami melibatkan staf  rumah sakit jejaring pendidikan untuk bersama-­sama aktif dalam proses pendidikan termasuk memberikan pelatihan clinical teaching, membimbing karya tulis PPDS dan melakukan penelitian bersama.

Apa yang menjadi harapan dan tantangan Dept Kardiologi kedepan?
Dept Kardiologi FKUI diharapkan dapat mempertahankan eksistensi dan perannya sebagai yang terdepan di bidang pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Kami juga mengharapkan bahwa departemen ini beserta RS Jantung Harapan Kita ikut berperan aktif  bersama-sama pusat jantung lain di dunia dalam perkembangan ilmu dan teknologi kardiovaskular yang berkembang pesat baik di tingkat regional maupun di tingkat internasional.
Lebih jauh kami berharap para staf Dept dan para lulusan kardiologi FKUI mampu mendapat pengakuan di tingkat regional maupun internasional baik di bidang kepakaran profesi maupun di bidang penelitian.

[Tim InaHeartnews]

Bergembira dan bersyukur dalam HUT ke-40 Dept Kardiologi FKUI.


*****

Peluncuran Buku Ajar Kardiologi FK UI 

ADA yang istimewa dalam acara HUT ke-40 Departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), yakni launching dua buah buku sekaligus. Yakni buku “5 Windu Kiprah Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI” serta buku ajar kardiovaskular.
Buku yang terakhir ini cukup penting bagi proses perkembangan ilmu kardiologi. Menurut DR dr Yoga Yuniadi, SpJP(K), yang menjadi ketua penyusunan buku, saat ini memang belum tersedia buku ajar kardiovaskular dalam bahasa Indonesia yang mutakhir dan sesuai perkembangan zaman. “Edisi terakhir buku ajar kardiovaskular yang diterbitkan oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI sudah lebih dari 10 tahun usianya,” tutur Yoga kepada InaHeartnews.
Maka tersedianya buku ajar kardiovaskular yang up to date menjadi sebuah misi penting Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Buku bacaan itu hendaknya harus menyediakan informasi paling mutakhir bidang kardiovaskular yang perkembangannya demikian cepat.
“Buku ajar Kardiovaskular ditulis dengan tujuan memberikan pengetahuan terkini dan menjadi pegangan bidang kardiovaskular bagi para mahasiswa kedokteran, dokter umum dan dokter spesialis terkait,” kata Yoga.
Untuk itulah, sebuah tim penyusun dibentuk agar kandungan isi buku ajar tersebut cukup mumpuni. “Penyusunan buku ini melibatkan seluruh staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI,” kata Yoga. Setiap anggota tim mendapat tugas masing-masing. Dimulai dengan menulis bahan, kompilasi, editing, revisi, lay out, proof reading, cetak dan pemasaran.
Berbagai tantangan dan halangan datang silih berganti. “Beberapa bagian tersulit saat penyusunan adalah membuat gambar yang diupayakan orisinal serta kesibukan para penulis yang luar biasa sehingga pengumpulan naskah sering tertunda,” kata Yoga.
Betapa tidak, tim penyusun membutuhkan waktu hamper 2 tahun lamanya untuk merampungkan tugas. Walau begitu, Alhamdulillah akhirnya selesai juga. “Saya dibantu oleh tim editor yang sangat solid dan bekerja penuh dedikasi,” puji Yoga.
“Kiranya buku ajar ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk memahami ilmu kardiovaskular. Tentunya masih banyak kekurangan yang memerlukan penyempurnaan lebih lanjut. Oleh karena itu saran-saran sangat diharapkan,” kata Yoga lebih lanjut.


[Tim InaHeartnews]

InaSH 2017: Indonesia Perlu Waspada Terhadap Hipertensi

Kewaspadaan Indonesia terhadap hipertensi perlu ditingkatkan. Penderita hipertensi wanita cenderung naik. Hipertensi cenderung membuat biaya sosial, ekonomi dan kesehatan makin tinggi.


Indonesian Society of  Hypertension (InaSH) atau Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia kembali mengadakan pertemuan ilmiah. Dalam pertemuan ke­-11 tahun ini, setidaknya hadir 1500­an pakar dan dokter hipertensi dari dalam dan luar negeri yang diselenggarakan di Sheraton Jakarta Gandaria City Hotel pada 24-­26 Februari 2017. 
“Kami cukup berbahagia karena terjadi peningkatan jumlah peserta dibandingkan dengan tahun lalu. Selain itu juga terjadi peningkatan kualitas. Misalnya kami menerima setidaknya 80­an hasil penelitian dari berbagai kalangan dokter. Bahkan juga dari kawasan terpencil di Indonesia. Inilah yang harus terus kita bina,” kata Dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Ketua Panitia 11th InaSH. Hasil penelitian ilmiah akan ditampilkan dalam bentuk seminar, workshop, presentasi jurnal ilmiah serta beberapa penghargaan yang bertaraf nasional maupun internasional.
InaSH ke­11 mengambil tema Hypertension 2017: The Science for Today’s and Tomorrow’s Practice. Sejumlah anggota organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), juga turut andil dalam acara ini.
Dalam kesempatan itu, Ketua InaSH, Dr. dr. Yuda Turana, SpS, berharap InaSH tak hanya bermanfaat bagi para anggota, tetapi juga masyarakat luas, termasuk di antaranya para pejabat negara yang mengurusi bidang kesehatan. “Biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan untuk pengobatan makin terlihat. Sebagian besar penyakit yang ditangani lewat BPJS Kesehatan saat ini, sebagian besar berawal dari hipertensi,” tutur Yuda.
Sebab itulah, beberapa pakar dan anggota InaSH 2017 sepakat memfokuskan pada hipertensi wanita. “Hipertensi pada wanita sering dianggap kurang penting dan tidak terdiagnosa dengan baik. Pada kenyataannya hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya gangguan jantung, gangguan ginjal, stroke, demensia bahkan kematian,” tutur dr Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA, FAsCC pakar senior hipertensi yang juga salah satu pendiri InaSH, di Sekretariat InaSH, Jalan Danau Diatas, Jakarta.
 Maklum saja, hingga saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Padahal, boleh dibilang, hipertensi merupakan awal dari beragam penyakit yang lebih berat, karena merusak berbagai organ vital. Namun sayangnya, pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan di seluruh Indonesia tentang hipertensi tercatat masih rendah dengan jumlah kasus yang tidak terdiagnosa dan jumlah pasien yang tidak mendapat terapi yang memadai masih tinggi.
 Ann kemudian memaparkan data, pada usia 65 tahun ke atas, prevalensi hipertensi pada wanita adalah 28.8, lebih tinggi dibandingkan laki­-laki dengan prevalensi 22.8 (Riskesdas 2013). Walaupun data lainnya menyebutkan, selain faktor hormonal, didapati bahwa angka perkiraan hidup (life expectancy) wanita lebih tinggi dari pria.
 “Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting dalam penyebab terjadinya penyakit Kardio­-Cerebro-­Vascular (KCV). Kematian di dunia sebagian besar disebabkan oleh penyakit KCV, baik pada pria maupun wanita. Dalam kurun waktu antara tahun 2000­-2025 diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi sebanyak 9% pada pria dan 13% pada wanita,” kata Ann.
Para pembicara lainnya wanti-­wanti agar masyarakat lebih memperhatikan gejala hipertensi. Betapa tidak, dampak yang di timbulkannya dapat merembet pada organ lain. Misalnya terjadi gangguan jantung, serangan stroke, ginjal dan demensia.
Menurut Yuda, masyarakat perlu mewaspadai hipertensi karena merupakan hulu dari timbulnya penyakit-­penyakit yang lebih berat. Serangan stroke, misalnya, memang sering disebut sebagai silent killer. “Tapi penyakit itu merupakan ujungnya saja. Awalnya adalah gejala hipertensi yang tidak dirawat,” kata Dr dr Yuda Turana, SpS, Ketua InaSH.
Tak hanya itu, hipertensi ujung-­ujungnya juga berdampak pada penurunan fungsi otak seperti demensia. Lagi-­lagi, menurut penelitian yang ada, resiko wanita terkena demensia lebih tinggi dibanding pria.
“Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada Desember 2015­ - Januari 2016 menunjukkan bahwa wanita yang terkena stroke kemungkinan mengalami demensia sebanyak 7 kali lipat, dibandingkan dengan pria yang hanya 4 kali lipat,” kata Yuda.
Hipertensi juga dapat merambat ke organ ginjal. “Kerusakan ginjal akibat hipertensi, misalnya, sangat ditentukan oleh tingginya angka tekanan darah sehingga dinding pembuluh darah di ginjal menebal dan kaku yang disebut nephrosclerosis,” tutur ahli ginjal hipertensi dr Tunggul D Situmorang, SpPD­ KGH, yang juga menjadi Wakil Ketua InaSH.
Karena itu, lanjut Tunggul, pengendalian tekanan darah yang baik harus dilakukan hingga mencapai target yang ditentukan. Kerusakan ginjal akibat hipertensi setidaknya dapat diperlambat sehingga terhindar dari gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan dialisis (cuci darah).

 [Tim InaHeartnews]

Selasa, 25 April 2017

Upaya Mengurangi Kematian Mendadak Gagal Jantung dalam The 4th InaHRS 2016

InaHRS kembali menyelenggarakan pertemuan ilmiah tahunan. Kali ini membahas upaya mengurangi “sudden cardiac death”. Berbagai upaya dan teknologi terbaru ditampilkan.

Konferensi pers penyelengaraan InaHRS ke-4 2016.

SEJUMLAH ruangan Hotel Westin Jakarta lebih ramai dari biasanya. Ratusan dokter spesialis tampak sibuk mengadakan pertemuan penting. Inilah acara Indonesia Heart Rhythm (InaHRS) yang kembali menggelar pertemuan ilmiah tahunan yang ke empat pada 7-­8 Oktober 2016.
Ketua Penyelenggara InaHRS ke-­4, Dr Faris Basalamah, SpJP mengatakan setidaknya ada 700 peserta yang berpartisipasi mengikuti 10 workshop dan 42 sesi simposium ini. Ada sekitar 120 naskah abstrak penelitian yang dipresentasikan secara lisan dan poster. Para ahli jantung dalam dan luar negeri juga turut hadir. Terlihat juga beberapa industri farmasi dan alat kesehatan dari dalam dan luar negeri yang memamerkan inovasi­inovasi terbaru penanganan terbaru aritmia.
Yang menjadi andalan dalam pertemuan kali ini, lanjut Faris, adalah ada live demo tentang implantasi teknologi mutakhir dalam penyakit jantung. Yakni penerapan leadless pacemaker atau alat pacu jantung tanpa kabel kepada pasien secara langsung. “Pemasangan alat yang berukuran kecil ini langsung ditayangkan dari RS Jantung Harapan Kita yang ditransmisikan ke ruang simposium di Hotel Westin,” kata Faris kepada wartawan.
Sebab itulah, tema yang diangkat untuk pertemuan ilmiah kali ini adalah Enhanced Diagnosis, Reduced Sudden Cardiac Death. “Pertemuan ini diharapkan dapat mengangkat pemikiran pentingnya meningkatkan kemampuan diagnosis aritmia untuk mencegah kejadian kematian mendadak gara-­gara jantung bermasalah,” kata Presiden InaHRS Dr dr Yoga Yuniadi, SpJP(K).
Salah satu penyakit itu dikenal sebagai gejala aritmia ventrike (AV). “AV terjadi ketika jantung berdenyut sangat cepat yakni 250 kali per menit, sehingga tidak menghasilkan gerakan mekanik memompa darah. Kondisi ini sama saja dengan henti jantung mendadak,” ujar Yoga di sela­-sela simposium kepada wartawan. Menurutnya, serangan AV akan membuat orang pingsan dan sangat beresiko terkena stroke lagi. “Bahkan berujung kematian bila tidak ditolong kurang dari empat menit,” katanya. Jika pun selamat dari serangan, dalam kondisi terparah, korban bisa mengalami vegetative state, semua organ berfungsi tetapi tidak akan kembali ke kesadarannya dan hidup bergantung pada mesin.
Sebab itulah pertemuan InaHRS kali ini berupaya mendalami soal kematian mendadak karena jantung. “InaHRS yang merupakan kelompok kerja dari PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) memiliki anggota 22 orang yang kesemuanya adalah ahli penyakit jantung yang mendalami aritmia. Keilmuan inilah yang terus kita update. Masih sedikitnya dokter ahli aritmia diimbangi dengan berbagai program InaHRS untuk meningkatkan kompetensi dokter ahli jantung dan dokter umum dalam tatalaksana aritmia,” kata Yoga.
Selain itu, tentu tak lengkap rasanya jika tidak dibarengi dengan berbagai program pencegahan. Antara lain dengan mengadakan crash program pelatihan pemasangan alat pacu jantung, membuat aritmia networking untuk empowering para dokter umum di daerah, “Sehingga saat menghadapi persoalan aritmia dapat terhubung dengan ahli aritmia secara online dan gratis,” tutur Yoga.
InaRHS bersama Perki juga melaksanakan beragam kampanye peduli jantung, mulai dari memahami penyakitnya, cara menghindari stroke dan serangan jantung dan sebagainya. Mereka juga menggelar pemeriksaan EKG gratis di mall-­mall di seluruh Indonesia dengan target sebanyak 25.000 peserta dalam kurun waktu seminggu. “Ada di Aceh, Medan, Batam, Pekanbaru, Padang, Bengkulu, lalu seluruh kota di Jawa. Di Makassar, NTB dan Bali untuk fasilitas pelayanan kesehatan. Saya belum dengar untuk Papua sih. Kalau Yogyakarta dilakukan di suatu desa atau posyandu,” kata Yoga lagi.

 [Tim InaHeartnews]

Antibodi Monoklonal, terhadap PCSK9 dan Efeknya dalam Jangka Panjang


Prof Djanggan Sargowo, SpJP(K)
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
RSUD dr. Saiful Anwar Malang

BEBERAPA penemuan dalam bidang kardiologi preventif  telah diantisipasi dengan baik oleh para ahli komunitas klinis sejak ditemukannya antibodi monoklonal terhadap proprotein convertase subtilisin/kexin type 9 (PCSK9).1) Data klinis menunjukkan bahwa antibodi monoklonal memiliki efek penurunan kolesterol LDL yang sangat kuat, baik sebagai monoterapi maupun terapi tambahan terhadap statin. Pada kondisi penyakit genetik, dua antibodi monoclonal PCSK9 --alirocumab dan evolocumab-- telah disetujui oleh USA dan Eropa untuk digunakan oleh individu yang mengalami peningkatan lipoprotein aterogenik.
Efek penurunan risiko relatif  (relative risk reduction/RRR) telah dilakukan penilaian secara akumulatif pada data fase II untuk ke dua agen tersebut. Hasil data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut dapat dilakukan pada kategori pasien yang lebih luas.2,3) Studi dalam skala besar dengan kedua agen tersebut sedang berlangsung dengan baik, dan melibatkan lebih dari 70.000 pasien.
Hal ini menjadi sangat penting untuk mendapatkan dukungan komunitas kardiovaskular seluruh dunia dalam studi ini sehingga diperoleh data keamanan obat dengan estimasi efikasi yang akurat. Secara khusus, data tersebut juga melibatkan pasien yang telah mendapatkan terapi statin intensitas tinggi yang menjadi terapi standar pada hampir seluruh pasien hiperlipidemia tanpa memperhatikan intoleransi.
Para klinisi dan pengatur kebijakan seharusnya mengingat hasil studi jangka panjang ODYSSEY terkait alirocumab, RRR sebesar 48% [95% interval kepercayaan (IK) 10­69] berdasarkan pada 53 kejadian dalam populasi yang 47% diantaranya mengonsumsi statin intensitas tinggi.2) Sama halnya dengan hasil studi OSLER­1 dan OSLER­2 terhadap evolo cumab, RRR sebesar 53% (95% IK 22­72) berdasarkan pada 60 kejadian dalam populasi yang 27% diantaranya mendapatkan terapi statin intensitas tinggi.3)
Data tersebut akan membuat para praktisi sulit untuk berpindah haluan. Satu hal yang diperlukan adalah melalui peningkatan perhatian terhadap tingkat keamanan statin untuk mengetahui pengaruh penting terhadap agen baru yang sedang diteliti dalam pencegahan penyakit vaskular. Selain tingkat keamanan dan efikasi obat, penilaian tambahan dalam pengembangan antibody monoklonal terhadap PCSK9 (yang diberikan secara subkutan) adalah interval dosis jangka panjang, waktu paruh dan kemudahan dalam pemberian obat. Hal yang berkaitan meskipun tidak bersifat esensial adalah potensi penjualan, biaya dan kepatuhan obat.
Pemberian interval dosis jangka panjang akan memberikan tantangan biologis berupa eliminasi antibodi dan waktu paruh fisiologis; sebagai contoh, secara teori telah diajukan adanya fenomena “LDL rebound” yang muncul ketika pemberian dosis rendah anti bodi penghambat PCSK9 diberikan dalam jangka panjang sehingga menurunkan efikasi klinis.
Hal tersebut membuat Kastelein et al., melakukan studi fase II untuk membandingkan interval dosis pemberian LY3015014, agen keempat antibodi terhadap PCSK9, 4 minggu dan 8 minggu.4) Tidak seperti agen antibody penghambat PCSK9 yang lain, agen khusus ini meningkatkan proteolitik antigen dan secara teori, meningkatkan durasi inhibisi PCSK9.5)
Diantara 527 pasien hiperkolesterolemia primer yang telah diikuti selama 16 minggu, peneliti menunjukkan bahwa LY3015014 menurunkan kolesterol LDL dengan pola dosedependent ketika diberikan setiap 4 minggu (perubahan persentase kolesterol LDL adalah –14.9, –40.5, dan –50.5 untuk dosis 20, 120, dan 300 mg yang diberikan setiap 4 minggu). Pada konsentrasi dosis LY3015014 yang lebih rendah (20 mg setiap 4 minggu atau 100 mg setiap 8 minggu) menunjukkan adanya fenomena LDL rebound melalui pola seperti gigi gergaji.
Secara umum, efek dosis dan durasi ini mirip dengan pola yang sebelumnya dilaporkan terhadap alirocumab, evolocumab dan bocozicumab ketika dosis awal yang dianjurkan adalah setiap 2 minggu diubah menjadi setiap 4 minggu. Hal baru yang dimunculkan oleh studi dari Kastelein et al., adalah perbandingan langsung LY3015014 dosis 300 mg diberikan setiap 4 minggu (n = 86) dengan dosis yang sama diberikan setiap 8 minggu (n = 87).
Secara singkat, dosis LY 3015014 300 mg setiap 8 minggu menunjukkan hasil positif, dengan penurunan kolesterol LDL sebesar 37,1%. Namun demikian, dibandingkan dengan dosis tiap 4 minggu, efek penurunan kolesterol LDL, kolesterol non­HDL, apolipoprotein B, trigliserida dan lipoprotein (a) lebih rendah pada grup interval dosis tiap 8 minggu (gambar 1).

Seperti inhibitor PCSK9 yang lain, hasil studi LY3015014 menunjukkan efek minimal terhadap C­reactive protein (CRP). Keterbatasan data dari hasil studi ini adalah hanya 10% subjek penelitian yang mengonsumsi statin intensitas tinggi sementara 20% di antaranya tidak menggunakan statin. Efek melemahnya kemampuan LY3015014 terhadap profil lipid dalam pemberian tiap 8 minggu cukup membedakan dengan agen inhibitor PCSK9 lainnya.
Namun demikian, frekuensi pasien yang akan melakukan injeksi subkutan selama periode jangka panjang untuk kelainan asimptomatik seperti hiperlipidemia belum diketahui. Diantara tiga mayor studi yang sedang berlangsung, dua diantaranya menggunakan interval dosis obat setiap 2 minggu, sedangkan program yang satunya, evolocumab, mengalokasikan separuh dari grup diberikan setiap 2 minggu dan separuh lainya diberikan setiap 4 minggu. Saat ini, tidak ada studi PCSK9 yang melakukan penilaian interval dosis tiap 8 minggu atau lebih lama. Sebaliknya, studi yang berlangsung terhadap penurunan risiko kardiovaskular dari canakinumab, antibody monoklonal terhadap interleukin 1ß, melakukan pemberian dosis obat aktif atau placebo sebanyak 4 kali tiap tahun (secara kasar diberikan satu kali tiap 13 minggu).6)
Pada tahun 2003, Abifadel et al., menunjukkan bahwa adanya mutasi PCSK9 menjadi salah satu penyebab terjadinya hiperlipidemia familial.7) Komunitas kardiovaskular mengemukakan bahwa dalam 2 tahun dapat melihat efikasi dari studi mayor inhibisi PCSK9, dan juga tingkat keamanan terhadap kanker, diabetes dan fungsi kognitif. Jika hasil ini sukses seperti yang diharapkan, hasil studi yang menjadi teknologi mutakhir dengan efek durasi jangka panjang akan semakin cepat. Seperti pemahaman terkait progresivitas biologis lemak hati, seseorang dapat membayangkan bahwa terdapat sebuah agen penurun kolesterol dengan interval dosis 12 bulan yang secara efektif diberikan sebagai “vaksinasi” tahunan terhadap aterosklerosis.

Daftar Pustaka
  1. Seidah NG, Prat A. The biology and therapeutic targeting of the proprotein convertases. Nat Rev Drug Disc 2012; 11: 367-83.
  2. Robinson JG, Farnier M, Krempf M, Bergeron J, Luc G, Averna M, Stroes ES, Langslet G, Raal FJ, El Shahawy M, Koren MJ, Lepor NE, Lorenzato C, Pordy R, Chaudhari U, Kastelein JJP for the ODYSSEY LONG TERM Investigators. Efficacy and safety of alirocumab in reducing lipids and cardiovascular events. N Engl J Med 2015; 372: 1489-99.
  3. Sabatine MS, Giugliano RP, Wiviott SD, Raal FJ, Blom DJ, Robinson J, Ballantyne CM, Somaratne R, Legg J, Wasserman SM, Scott R, Koren MJ, Stein EA for the Open- Label Study of Long-Term Evaluation against LDL Cholesterol (OSLER) Investigators. Efficacy and safety of evolocumab in reducing lipids and cardiovascular events. N Engl J Med 2015; 372: 1500-09.
  4. Kastelein JJP, Nissen SE, Rader DJ, Kees H, Wang M-D, Shen T, Krueger KA. Safety and efficacy of LY3015014, a monoclonal antibody to proprotein convertase subti- lisin/kexin type 9: a randomized, placebo-controlled phase II study. Eur Heart J 2016; doi:10.1093/eurheartj/ehv707.
  5. Schroeder KM, Beyer TP, Hansen RJ, Han B, Pickard RT, Wroblewski VJ, Kowala MC, Eacho PI. Proteolytic cleavage of antigen extends durability of an anti-PCSK9 monoclonal antibody. J Lipid Res 2015; 56: 2124-32.
  6. Ridker PM, Thuren T, Zalewski A, Libby P. Interleukin-1b inhibition and the prevention of recurrent cardiovascular events: rationale and design of the Canakinumab Antiinflammatory Thrombosis Outcomes Study (CANTOS). Am Heart J 2011; 162: 597-605.
  7. Abifadel M, Varret M, Rabes JP, Allard D, Ouguerram K, Devillers M, Cruaud C, Benjannet S, Wickham L, Erlich D, Derre A, Villeger L, Farnier M, Beucler I, Bruckert E, Chambaz J, Chanu B, Lecerf JM, Luc G, Moulin P, Weissenbach J, Prat A, Krempf M, Junien C, Seidah NG, Boileau C. Mutations in PCSK9 cause autosomal-dominant hypercholesterolemia. Nat Genet 2003; 34: 154-6.

Kardiologi Kuantum No. 37:

Meme dan Promosi Kardiovaskular
(Komunikasi-Informasi- Edukasi)

Memes [‘mi:ms] generally replicate through exposure to humans, who have evolved as efficient copiers of information and behavior. Because humans do not always copy memes perfectly, and because they may refine, combine or otherwise modify them with other memes to create new memes, they can change over time.
(Richard Dawkins’#39; book: The Selfish Gene, 1976)


Salam kardio. Denisa, adalah ko­asisten tingkat ­5 salah satu fakultas kedokteran negeri di Indonesia menghubungi dosennya lewat Whatsapp untuk bertemu karena ia bersama temannya Yonathan meminta bimbingan dari dosennya tersebut. Konon, Yonathan sudah ketemu dengan dosen tersebut untuk bimbingan bagi organisasinya (Staying Alive) yang bertujuan untuk menurunkan angka henti jantung di masyarakat. Status WA nya tampak gambar fotonya yang lucu, mungil, dengan setengah senyuman yang polos, jelas sudah suatu Duchenne smile.
Selebihnya, tidak kelihatan karena memakai hijab pink, tetapi teman selfie di belakangnya tampak seolah-­olah lebih besar full senyum dengan topi pet merahnya. Menarik memang suatu selfie Duchenne ‘original’ smile bersanding dengan ordinary smile, suatu kajian psikologi dalam ranah senyuman perempuan di dalam fotografi. Sebenarnya, istilah itu diambil dari Duchenne de Boulogne, pioner research dalam electrophysiologi.
Walaupun belum pernah ketemu, atau mungkin sudah pernah ketemu tetapi lupa... dosen ini mengirimkan sebuah meme [‘mi:m] kepadanya sebagai pembuka komunikasi saja. Hebatnya WA generasi sekarang sudah bisa menerima gambar, tulisan, email dan informasi dalam beragam format file. Dosen ini sebenarnya hanya ingin memancing perhatian mahasiswanya sekaligus reaksinya ketika menerima meme tersebut.
Tentu saja, kalau boleh menduga bahwa dosen tersebut sebenarnya ingin membuat suatu jenis penelitan eksperimental tentang informasi dan perilaku komunikannya. Karena belum ada proposal penelitiannya yang berisi metodologi riset, induksi statistik, pertanyaan penelitian, maupun hipotesisnya, maka anggap saja ini hanyalah suatu case­report yang menarik tentang meme dan prevensi kardiovaskular.
Rupanya, pak dosen tua ini sedang mengerjakan suatu proyek meme non­profit untuk penyuluhan kardiovaskular yang unik. Betapa rumitnya menggabungkan 7 ­leaflet prevensi, prosedur dan peralatan kardiovaskular untuk dirangkum menjadi 2 leaflet saja bagi pasien dan dokter. Kalau 6 leaflet masing-­masing berisi 4 x ¼ kertas A4 kotak informasi, dan 1 leaflet hanya 2 x ½ A4, maka proyeknya adalah menggabungkan 28 kotak informasi direduksi menjadi 8 kotak yang terdiri dari 2 leaflet untuk pasien dan dokter, masing­-masing 4 kotak informasi; kotak-­kotak informasi inilah yang diceritakan pada kolom ini sebagai proyek meme.
Sebagai perbandingan, meme di dunia maya saat tulisan ini dibuat, salah satunya adalah gambar presiden USA Trump yang tingginya 185 cm, lebih tiggi dan jauh lebih besar dari Barack Obama apalagi Presiden Rusia, Putin. Trump digambar sebagai anak kecil yang rewel, berteriak di pangkuan gambar Putin yang sedang tersenyum.
Tekniknya sederhana saja yaitu, informasi utamanya diletakkan di tengah kotak, setiap ruang yang kosong sampai garis batas pinggir di masukkan sebanyak­-banyaknya informasi. Dibedakan dari kolom­-kolom kecil informasi dengan format tertentu, warna­-warna tulisan yang membedakannya, jenis dan tebal tipisnya garis, serta warna-­warni latar belakangnya. Leaflet yang untuk pasien inilah yang dikirimkan kepada mahasiswa. Berisi tentang ajakan Olahraga Jalan­kaki di Rumah @1x30 menit atau 2x15 menit terutama bagi pasien pasca serangan jantung atau gagal jantung.
Olahraganya harus bertahap, maksimal denyut nadinya 120/menit (orang sehat boleh 150/menit). Ukuran lainnya adalah berolahraganya jangan sampai ngos­-ngosan, tetapi ngos atau ngos­ngos boleh saja. Sedikit demi sedikit ditingkatkan, untuk ini perlu niat, semangat dan selalu mendekat kepada­Nya dengan doa, zikir, mantra dan/atau meditasi.
Dari 2­ leaflet dengan 8 kotak full­ informasi tersebut terpilih oleh redaksi 1 ­kotak yang bergambar ECGdm adalah suatu elektro­kardiogram yang lebih sederhana pemeriksaannya karena hanya 4 ­sadapan di anggota badan, tanpa perlu membuka baju untuk memeriksa 6­sadapan di dadanya. Informasinya merupakan komplemen terhadap ECG klasik. Pada leaflet tersebut justru mengungkapkan jati diri meme.
Dapat dikatakan meme seperti gene dalam biologi, secara kebudayaan adalah sebuah ide, perilaku, atau gaya hidup yang dapat berkembang, berpindah dari orang ke orang dalam suatu masyarakat menurut teori Richard Dawkins 1976, dalam bukunya, The Selfish Gene. Anggaplah meme sebagai struktur yang hidup, bukan hanya suatu metaphor, kata N.K. Humprey. Ide semacam ini mendapat tentangan seperti ketika Darwin mendiskusikan teorinya tentang asal mula spesies.
Perjuangan mempertahankan keberadaan suatu teori tentang meme sebagai suatu spesies, dan haknya untuk hidup sama kuatnya dengan semangat menentang kehadirannya dari lawan pemikirannya. Pada umumnya meme memperbanyak dan menyebar setelah mengalami perubahan demi perubahan seperti gene di dalam tubuh mahluk hidup.
Ada info tambahan disini yaitu tentang makrokosmos di depan pancaindra manusia, rupanya terdiri dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dewa dan mineral salah satunya adalah kerak bumi. Dewa di sini dipersepsikan sebagai makhluk ­halus sifatnya di antara manusia dan binatang. Pancaindra pun unik sama­-sama terdiri dari 5 ­komponen, yaitu penglihatan, pendengaran dan pembau, ketiganya ini yang klasik. Yang ke-­4 adalah perasa(an), jadi bukan perasa maupun peraba (taktil) tetapi suatu ‘peralatan’ untuk meraba­rasakan perasaan orang lain (empati) terutama ketika sedang berkomunikasi tatap muka. Yang ke-­5 adalah pengucap (bahasa), bukan pengecap makanan atau minuman tetapi adalah suatu indra komunikasi. Itulah Candra Jiwa Indonesia yang selalu diselipkan dalam kardiologi kuantum sebagai salah satu dari ketiga pilarnya selain ilmu kardiovaskular dan fisika kuantum itu sendiri. Informasi lainnya adalah Panca Usaha S.E.H.A.T. Yayasan Jantung Indonesia: Seimbang Gizi, Enyahkan Rokok, Hadapi Stres, Awasi Tekanan Darah dan Teratur Berolahraga.


Kolega pak dosen adalah seorang peneliti yang hobinya menulis buku, sebut saja orangnya Dr. Surya Dharma, PhD malah menekankan agar hanya 1 leafleat saja untuk seluruh informasi kesehatan yang dimilikinya. Kardiolog yang satu ini unik juga karena menganjurkan pak dosen agar menonton lebih dulu Rogue One, suatu film yang setting­nya sebelum serial StarWars. Sampai beliau mengajari seniornya cara mengunduh bioskop mana saja ketika The Cinema 21 sudah tidak memutarnya lagi, akhirnya ketemu juga gedung bioskop yang masih memutarnya: Blitz Megaplex, Mega Kuningan, terima kasih Pak Dokter Surya.
Dalam film tersebut, Chirrut Imwe (Donni Yen) gurunya para jedi yang buta itu terpaksa menghadapi para startroopers yang persenjataan lasernya lengkap, walaupun dapat bertahan, akhirnya jatuh juga. Jargon yang terkenal dalam film ini selain “May the Force be with us,” adalah: Chirrut’s mantra—“I’m one with the Force. The Force is with me”; “Look for the Force and you always find me”; “I don’t need luck, I have You,” “Chirrut, may you live for ever in the Force, and in our hearts.” Jejak­-jejak karya George Lucas untuk film­film StarWars­nya semakin kental. Sepertinya, ia mau bercerita lebih dalam lagi tentang The Force, Sang Penuntun dan Guru Sejatinya mikro dan makrokosmos, The Self dan galaksi/alam semesta. Bahkan metaforanya The Force adalah sang pencipta alam semesta itu sendiri atas nama The Source, sumber hidup, asal mula hidup dan tujuan hidup semua makhluk.
Chirrut Imwe boleh saja sudah meninggal, namun ia masih “hidup” di dalam hati siapa saja, semacam konsep kesadaran kolektif; Pamudaran, Panunggal di dalam Candra Jiwa Indonesia, dan yang juga telah diindikasikan oleh Carl Gustav Jung 60­an tahun yang lalu sebagai Individuation, akhir dari evolusi kesadaran hidup manusia yang terbatas itu kembali kepada­Nya. Ternyata, George Lucas masih dapat meneruskan karyanya melalui perusahaan The Lucas Film, walaupun seluruh film StarWars dan asesorinya sudah dijual kepada pihak lain.
Tanggal 25 Februari 2017 hari Sabtu pagi jam 8.00 adalah hari yang disepakati untuk bertemu, mereka datang 5 menit sebelumnya; pak dosen akan mencurikan waktunya sebentar sebelum melaksanakan suatu tugas menguji (National Board Examination) bagi para kardio(angio)log [baca: kardiolog] dari Kolegium pendidikan dokter ahli jantung dan pembuluh darah. Mereka datang berempat termasuk Jonathan, ternyata si Duchenne smile adalah Lady Aurora, gadis Minangkabau, kali ini ia dengan jilbabnya yang berwarna hitam... bukan Denisa si pemilik HP, yang selalu berkomunikasi dengan pak dosen. Telah terjadi gagal­persepsi awal di dalam suatu case­report komunikasi kardiovaskular (gotcha.. [I have] got you!).


Salam kuantum