pita deadline

pita deadline

Jumat, 08 Januari 2016

Kardiologi Kuantum (Ke-34): Sumbangan Kardiologi Kuantum pada Gagal Jantung

“The symptoms I thought were caused by asthma were really caused by my heart not being able to expel blood with sufficient force and then expand quickly enough to receive the next load of blood returning through the veins. This caused back pressure in the pulmonary veins and fluid would leak through their walls and accumulate in my lungs and abdomen.” - Ray Reynolds, Congestive Heart Failure Rehabilitation: From Complete Heart Failure to Complete Recovery

Salam Kardio. Haiyaa, ini pasti bercanda. Lho ini serius kok. Ray reynolds adalah penulis buku Congestive Heart Failure Rehabilitation: From Complete Heart Failure to Complete Recovery .. berbintang 4 dari 5 bintang yang disediakan oleh Good Read. Buku ini menceritakan tentang bagaimana ia mencapai umur 66 tahun. Diawali dengan kariernya yang panjang sebagai body builder menjadi invalid karena tidak dapat berjalan lebih dari duapuluh meter tanpa menarik nafas panjang. Ia menjelaskan bagaimana seseorang yang telah berangkat dari ketidakmampuan total menuju perbaikan dalam tempo 6 bulan. Ia memiliki daftar yang melelahkan dari suplemen biasa yang membawanya dari ketidak mampuan berjalan menaiki tangga sampai dapat berlari lagi.. Kali ini Kardiologi kuantum membahas masalah psikososial, depresi, kualitas hidup dan aspek mental-spiritualnya sesuai kemampuan. Keempat hal tersebut memang tidak boleh kita lupakan dalam menangani Gagal Jantung (GJ) secara komprehensif termasuk upaya preventif dan rehabilitasinya.

Isu psikososial pada pasien gagal jantung amat penting tetapi biasanya terlewatkan. Depresi dan kurangnya bantuan sosial berdampak negatif pada pasien dengan gagal jantung. Pasien-pasien tersebut menurut Luann Richardson (dari Allegheny General Hospital, Pittsburgh, PA, USA) morbiditasnya menjadi meningkat dan lebih sering rawat ulang di rumah sakit, mengabaikan obat-obatannya, dan menambah ongkos perawatannya. Variabel-variabel yang terlibat saling berhubungan, pada mereka yang mendapatkan bantuan sosial yang besar akan mengurang dampak depresi terhadap angka kematian. Sebagai tambahan, beberapa faktor biologis mungkin memengaruhi dampak faktor psikososial pada pasien dengan gagal jantung kongesti. Penulisnya menganjurkan pengamatan terhadap efek depresinya, upaya pengobatan, dan bantuan sosial yang dibutuhkan bagi penderita gagal jantung kongesti dan tidak kalah pentingnya adalah upaya intervensi yang ditujukan sesuai kebutuhannya yang spesifik.

Komorbiditas adalah problem yang sering kita lupakan kata Christopher M O'Connor (Editorial pada Journal of the American College of Cardiology Vol. 43, No. 9, 2004), yang tidak lain adalah depresi. Hampir 5 juta orang Amerika pada saat itu hidup dengan gagal jantung (GJ), dan 550.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Pasien dengan GJ menunjukkan kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien-pasien dengan penyakit kronis lainnya. Skor keburukannya tercatat dalam fungsi fisik, kualitas emosi, dan seluruh fungsi sosialnya. Banyak penelitian mengungkapkan pasien dengan GJ yang memiliki angka morbiditas yang lebih tinggi dari populasi umum; sebagai tambahan depresi mengubah ke dampak negatif prognosisnya ketika hadir pada pasien GJ. Peningkatan prognosis-negatif terdapat pada mortalitas dan rehospitalisasinya.

Gottlieb dkk. telah melaporkan hasil studi prevalensi depresi pada kohort rawat jalan pasien GJ. Seratus lima puluh lima pasien diikutkan pada studi, menggunakan kwesioner Medical Outcomes Study Short Form, the Minnesota Living with Heart Failure Questionnaire, dan Beck Depression Inventory. Penulisnya melaporkan bahwa terdapat hampir setengah (48%) pasiennya menderita depresi. Mereka yang depresi itu cenderung lebih muda dan wanita kelihatannya lebih menderita daripada pria. Pria kulit putih lebih depresif daripada mereka yang berkulit hitam. Pasien-pasien depresi ketika diskoring kualitas hidupnya nilainya jauh lebih rendah daripada mereka yang tidak depresi. Studi ini dianggap penting karena menambah pengetahuan kita tentang depresi pada populasi GJ rawat jalan. Penulisnya fokus pada populasi ini karena dianggap kurang dikenal dengan baik dibandingkan dengan populasi rawat inap. Pertimbangannya adalah pasien menggunakan lebih banyak waktunya di luar rumah sakit dan berinteraksi dengan provider kesehatan di perjanjian klinik, lebih mewakili data di dunia nyata dibandingkan dengan pasien-pasien yang dirawat. Kekurangan dari penelitian ini adalah pada pendekatan penelitian dengan gaya cross-sectional; terus terang kelompok ini tidak memiliki informasi perjalanan depresinya, kesehatan jantung maupun data perjalanan penyakitnya yang berhubungan dengan depresi dengan prognosisnya.

Diperkirakan 5 tahun terakhir sebelum penelitian  ini; prevalensi depresi pada GJ dari delapan penelitian yang ada sebesar 11% - 20% untuk pasien rawat jalan dan dan 30% - 70% untuk rawat inap. Sebagai perbandingannya di masyarakat umum kita terdapat 5% - 10% yang memenuhi kriteria depresi. Luasnya rentang prevalensi pada studi GJ mungkin disebabkan oleh perbedaan instrumen diagnosisnya dan cara memasukkan populasinya yang berbeda berdasarkan umur, jenis kelamin serta beratnya penyakit. Sebagai contoh, depresi lebih sering terdapat pada wanita dengan gagal jantung, pada pasien yang penyakitnya berat dan memiliki gejala fisik yang buruk.

Mengapa terjadi peningkatan prevalensi depresi pada gagal jantung? Beberapa peneliti yakin  adanya koneksi dalam patofisiologinya. Aktivasi neurohumoral, gangguan irama jantung, peradangan, dan hiperkoagulasi mungkin berhubungan dengan perkembangan GJ. Hal ini memperkuat dugaan adanya status fisiologi yang dibawa oleh depresi mempercepat perkembangan GJ dan memperburuk prognosis penderita GJ. Dugaan juga ditimpakan kepada satu faktor penyebab yang berdampak ganda baik kepada depresi maupun GJ. Faktor psikososial mungkin juga berkontribusi; sebagai contoh depresi berhubungan dengan ketidakpatuhan medis, tingginya prevalensi merokok, rendahnya bantuan sosial, masing-masing menyumbang hasil yang buruk pada GJ.

Terdapat keanehan yang belum jelas, mengapa pada pasien GJ dengan depresi, ternyata depresinya tidak mendapatkan pengobatan yang memadai. Gottlieb dkk., menjelaskan bahwa pasien depresi pada GJ sungguh-sungguh memiliki kesempatan yang baik untuk mendapatkan perbaikan kualitas hidupnya. Walaupun hanya 7% dari pasien-pasien tersebut mendapatkan antidepresan. Depresi biasanya berlanjut tanpa terdiagnosis; diduga 30% - 50% kasus pada populasi umum tidak terdeteksi oleh profesi medis. Pasien tidak ingin membuka distres emosinya kepada dokter lantaran khawatir diberi label memiliki kelainan mental. Mereka tidak suka memiliki catatan medik dengan diagnosis psikiatri dan diobati sebagai orang yang sakit jiwanya.

Keamanan dan efikasi terapi depresi pada pasien dengan GJ juga masih menjadi pertanyaan. Sebagai contoh, penelitian Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients (ENRICHD) menunjukkan bahwa strategi terapi nonfarmakologi pada pada pasien yang menderita infark miokard terbukti tidak efektif bahkan memperburuk keadaan. Terapi farmakologi pun masih kontroversi; antidepresan trisiklik memengaruhi sistim jantung, sementara serotonin reuptake inhibitors  yang selektif belum distudi secara sistematik pada populasi GJ. Penelitian pada Sertraline AntiDepressant Heart Attack Randomized Trial (SADHART), menggunakan sertralin pada pasien depresi dengan sindroma koroner akut, tidak menunjukkan komplikasi jantung yang mencemaskan atau menyebabkan kejadian kardiovaskular. Manfaat dan keamanan terapi farmakologi untuk depresi pada GJ akan diperoleh dari penelitian yang didanai oleh The National Institutes of Mental Health  USA pada riset Sertraline AntiDepressant Heart Attack Randomized Trial in Heart Failure (SADHART-HF).

Peningkatan prevalensi depresi yang terjadi pada GJ telah menjadi jelas. Pasien Gagal Jantung seyogyanya diskrining untuk depresinya dan diberikan terapi oleh profesional yang bekerja di bidang ini. Peranan psikolog dan pasikiater agar dimanfaat-kan sebesar-besarnya oleh para kardio-angiolog  untuk skrining, mengukur kualitas hidup, psikoterapi, dan terapi jiwanya begitu depresi ditemukan agar kualitas hidupnya meningkat dan prognosisnya diperbaiki.

Akhirnya, dimanakah sumbangan Kardiologi Kuantum pada pasien GJ dalam studi khusus depresi ini? Apakah masih ada tempatnya? Mengamati GJ hendaklah  seperti David Wineland  ketika mengukur sebuah ion (beryllium) yaitu atom yang bermuatan pada fisika kuantum di dalam laboratoriumnya (di Boulder, Colorado USA) yang peka terhadap ruang dan waktu; pada kondisi ekstrem tertentu (didinginkan sesaat sebelum mencapai temperatur absolutnya) keberadan kuantum (ion)-nya ditentukan; jauh berbeda dengan pendahulunya yaitu mekanika Newton yang klasik tentang posisi bendanya yang memang berada di dunia nyata kita sehari-hari. Mekanika kuantum dengan status superposition-nya  telah menawarkan pada peradaban ini suatu konsep komputer yang supercepat dan konsep jam masa datang yang 100 kali lebih persis!

Pada pasien gagal jantung yang rentan depresi dengan lingkungan psikososial yang tidak mendukungnya (kondisi ekstrem tertentu), Kardiologi Kuantum menawarkan pencerahan terhadap posisi seorang dokter dalam situasi seperti ini. Dokter masih harus bersikap seperti kakak terhadap adiknya seperti pengikut Dr. Alfred Adler (Adlerian) memposisikan dirinya. Tidak perlu melakukan psikoanalisis seperti apa yang dilakukan Dr. Sigmund Freud dan pengikutnya (Freudian), walaupun psikoanalisis merupakan konsep introspeksi yang dianggapnya paling jitu. Kardiologi Kuantum respek pada pandangan Dr. Karl Gustav Jung yang telah memasukkan Das Selbst (TheSelf)  di dalam candra jiwanya, tanpa malu-malu lagi menyatakan bahwa Tuhan hadir di “pusat imateri” (istilah Dr. Soemantri Hardjoprakoso) di dalam diri manusia itu sendiri dan memberikan Intuisinya kepada manusia yang terpilih.

Kardiologi Kuantum menganggap seorang dokter dan kardiolog harus “memahami” sekiranya terdapat kondisi ekstrem pada pasien GJ-nya; dengan baik. Kalau perlu mengonsultasikan pasien tersebut kepada sejawatnya yang lebih mumpuni yaitu psikolog dan psikiater. Pemahaman kita terhadap populasi GJ selama ini, walau-pun belum tentu benar, masih menganggap komorbiditas depresi yang ringan merupa-kan kelompok yang terbesar frekwensinya. Seyogyanya para dokter mengikuti kearifan lokal Minangkabau yaitu agar selangkah di depan dan seranting di atas pasiennya, jangan jauh-jauh meninggalkannya.

Perlu kita perhatikan akhir dari rangkuman disertasi Candra Jiwa Indonesia/ Soenarto; “Dasar terapi pada Candra Jiwa dan Candra Dunia Indonesia pada prinsipnya bertujuan membangkitkan keinginan/kemauan pasien untuk mengubah perilakunya dengan cara mengarahkan dirinya ke pusat imateri di dalam dirinya sendiri.” Terima kasih dan Salam Kuantum. (Budhi S Purwowiyoto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar