pita deadline

pita deadline

Kamis, 30 Oktober 2014

Kardiologi Kuantum (29): Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental

“The masses have never thirsted after truth. They turn aside from evidence that is not to their taste, preferring to deify error, if error seduce them. Whoever can supply them with illusions is easily their master; whoever attempts to destroy their illusions is always their victim.”

~Gustave Le Bon — The Crowd: A Study of the Popular Mind, p. 110, Viking Press, 1960~

SALAM KARDIO. Demam pemilihan pre­­siden baru-baru ini adalah bagaikan suatu sindroma (kumpulan gejala penyakit) dengan manifestasi klinik berupa rasa panas-dingin, suara serak, mata melotot, dan kelelahan (tampak dari dinamika gambar di TV-TV yang menyala di rumah sakit) telah melanda seluruh lapisan masyarakat. “Penyakit” tersebut juga telah memasuki dunia kesehatan dengan masyarakat rumah sakit, sebagai kasus studi. Masyarakat rumah sakit terdiri dari pasien, petugas kesehatan (dokter, perawat, dan penunjang kesehatan lainnya), keluarga pasien, handaitaulannya, termasuk tamu-tamu rumah sakit: perwa­kilan perusahaan obat, alat kesehatan, bahkan mahasiswa kedokteran S1, S2, dan S3.
Di salah satu rumah sakit di Jakarta, mungkin juga di semua rumah sakit, ma­syarakatnya waktu itu benar-benar telah terbelah menjadi dua, yang memilih No. 1 Prabowo-Hatta (Prabowo Subianto – Hatta Radjasa) dan yang memilih No. 2 Jokowi-JK (Joko Widodo – Jusuf Kalla). Di sela-sela pekerjaan sehari-hari semakin mendekati hari pemilihan suara semakin “keras” dikotominya, sehingga secara kasat mata terlihat jelas siapa yang mendukung No. 1 dan No. 2. Terlihatlah dari jumlah jeriji yang diacung-acungkan baik keatas, ke depan, ke pelipis, dan yang malu-malu hanya cukup membalas acungan jari tersebut, tanpa berinisiatif. Bila acungannya berbeda, “Ganti dong pilihannya”, teriak mereka, ada pihak-pihak yang bersemangat memberikan argumennya dengan perdebatan-perdebatan yang acapkali memanas disertai pembagian pin dan kaos berlogo pilpres. Bahkan publik rumah sakit meneruskan posisinya dan teriakan-kampanye dengan menulis keyakinannya di dunia maya facebook, blogger, dan twitter atau media sosial terbatas lainnya seperti BBM, WhatsApp, dan Telegram. Ada juga kampanye bening misalnya agar memilih pilihan Nomor Tiga yaitu...Cak Lontong dengan salam lempernya atau Pak Legowo yang tidak terdaftar di KPU.
Sudah lebih dari 35 tahun penulis menjadi dokter, baik sebagai dokter sipil maupun militer, belum pernah merasakan suasana penyakit “Demam Pilpres” semacam ini di dalam rumah sakit, di mana petugas kesehatannya terbelah dua keyakinan pilihan politiknya. Demam semacam ini yang sifatnya sementara barangkali boleh disebut neurosis, bersifat sementara kalau sampai terbelah kepribadiannya dinamakan psikosis. Pernah dalam satu sms yang masuk situasi di luar sana cukup mengerikan. Petugas rumah sakit memiliki dua ketakutan; pertama, korban kerusuhan akan masuk ke rumah sakit dan kedua petugasnya sendiri was-was di jalan kalau pulang ke rumah. Para dokter biasanya membantu menenangkan berdasarkan pe-ngalaman hidup yaitu seringnya kita meras­a ketakutan akan terjadi sesuatu dan seringkali juga tidak terjadi apa-apa termasuk berita-berita yang sumber beritanya tidak jelas se­perti kampanye hitam. Benar juga kata bapak psikologi-massa Gustave Le Bon, publik atau kerumunan massa adalah kelompok naif yang mudah terprovokasi.
“Dokter, anda memilih calon presiden nomor berapa sih? Kasih dong pencerahannya sedikit, anda kan termasuk orang yang dituakan di rumah sakit ini!” tanya para pe­rawat. Alih-alih menjawab pertanyaan, malah mengajukan kriteria seorang calon presiden pilihan kita. “Pilihlah Presiden yang 'lebih' percaya (iman) kepada Tuhan YME dan 'lebih' jujur kepada masyarakat”. Meng­apa memilih yang lebih beriman ka­rena se­tiap sepak terjangnya akan diberkati, diri­dhoi, dan mendapat barokah dari Tuhan YME, di sinilah ada aspek Ketuhanannya. Lebih jujur karena kalau presidennya jujur, pasti berani, tegas mengambil keputusan dengan adil, dan kalau adil rakyat akan memberikan kesetiaan kepadanya, disinilah aspek kemasyarakatannya. “Terus kita memilih nomor berapa?” “Ya terserah anda, bebas memilih dan gunakanlah hak pilih sebaik-baiknya!” Mungkin karena dokter-tua masih dianggap panutan di dalam masyarakat rumah sakit, mereka masih mendesak terus pilihan mana yang seyogyanya diberikan, dan kita sendiri memilih siapa. “Dokter, anda pasti memilih No. 1, karena selalu pakai baju lengan pendek putih dan pakai epolet di pundak seperti pramuka, paskibraka dan tentara”, saya tersenyum dan mengangguk-angguk saja karena saya tahu mereka pasti pemilih untuk Capres-Cawapres No. 1. “Akh nggak, dokter pasti memilih No. 2 karena mengajukan hanya dua kriteria calon presiden/wakilnya apalagi anda adalah orang kota-kembar-nama (Ngayogyakarto dan Surokarto) Hadiningrat”, saya tersenyum dan mengangguk-angguk karena “mengerti persoalan” ­bahwa yang menebak ini pasti para pemilih Capres-Cawapres No. 2.
Di dunia kedokteran ada pelajaran empati untuk tidak mengganggu religi dan keyakinan pasien yang sedang sakit. Justru harus melakukan reedukasi sesuai dengan religinya, keyakinan agamanya. Semangat Ketuhanannya sedapat mungkin dibangkitkan kembali. Kesadaran dan ketaatan beragamanya diakomodasi, sekali waktu kita akan mendengar “keajaiban” dalam upaya penyembuhan model holistikekliktik tersebut. Dokter harus mengembalikan pengetahuan pasien bahwa dokter hanyalah perantara saja, dan bahwa DIA-lah yang telah menyembuhkannya. Alfred Adler, neurolog-psikiater menganjurkan agar dokter bersifat seperti kakak yang lebih berpengalaman kesehatan terhadap pasiennya. Menurut Prof. Soemantri Hardjoprakoso, dalam Candra Jiwa Indonesia, kalau seorang dokter hendak memberikan penyuluhan kesehatan, dokter itu sendiri seyogyanya sudah melaksanakannya. Pasien memiliki insting yang masih sehat walaupun badannya sakit. Pasien akan mudah tahu kalau dokternya belum menjalankan nasehatnya sendiri, disini aspek kejujuran di pihak dokter mulai muncul.
“Wah, dokter plin-plan juga neh, Capres-Cawapres No. 1 oke; No. 2 oke juga, haiyaa!” “Ha ha ha.” “Anda benar juga, saya sedang membayangkan anda semua ini kan sedang sakit neurosis yang self limiting disease artinya nanti akan sembuh dengan sendirinya setelah PilPres selesai, tanggal 9 Juli 2014. Dalam hal ini saya harus memelihara empati dan melakukan reedukasi sesuai dengan keyakinan anda atas pilihan yang akan anda jatuhkan, kan dalam persepsi saya anda adalah “pasien-sakit“, bukan “klien-sehat“. Jadi mana saja oke asal itu pilihan pribadi anda, secara bioetika adalah hak otonomi pasien. Kata kuncinya reedukasi bukan edukasi keyakinan sesuai pilihan saya, itulah disiplin ilmu kesehatan mental.”
Kita sudah mendengar gelegar Revolusi Mental Jokowi yang kini sudah menjadi pre­siden terpilih KPU, hendaknya dimulai dari dalam diri kita sendiri dan digemakan secara integral keluar melalui jalur struktur sosial berjenjang yaitu bangunan struktur ekonomi, politik, dan hukum yang diberi jembatan oleh kebudayaan dalam arti luas. Walaupun sebagian masyarakat telah mendengar istilah tersebut cukup lama dari para kelompok pemikir humaniora dan pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1956 dan 1962, terasa masih relevan disampaikan lagi secara bersambung oleh presiden berikutnya bagi rakyat Indonesia, apalagi ketika rakyatnya tertimpa “paradoks pelik”. Terlihat oleh rakyat dalam kiprah KPK, suatu lembaga hukum ad hoc “melibas” oknum-oknum puncak lembaga hukum, pembuat dan pelaksana undang-undang sampai departemen agama. Apakah ada yang salah dalam berkebudayaan masyarakat Indonesia terutama dalam berketuhanan dan bermasyarakat? Tampaknya sesuatu yang disebut revolusi mental memang harus dimulai dari dalam diri kita, melebar di dalam keluarga, dan di tempat kerja kita masing-masing.
Melihat struktur mental manusia dengan kacamata Sigmun Freud, Alfred Adler, dan Carl Gustav Jung yang telah dibandingkan dengan cara menyejajarkan posisi egonya manusia dengan Candra Jiwa Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh Prof. Soemantri Hardjoprakoso dalam disertasinya di Rijkuniversiteit Leiden di Negeri Belanda 1956. Judul disertasinya adalah Indonesisch Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie yang artinya Candra Jiwa Indonesia sebagai dasar psikoterapi, terapi mental. Dalam skala kontinuum waktu, perjalanan kehidupan mental seorang manusia adalah suatu peristiwa evolusi. Percepatan dari suatu evolusi dalam skala pribadi yang diintegrasikan de­ngan struktur sosial-ekonomi, politik dan  hukum yang dijembatani dengan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya dapat dimaknai sebagai suatu bentuk revolusi mental.
Berbekal dari uraian diatas, sebagai warga negara kita wajib berbakti kepada Tuhan YME dan Utusan-Nya yang abadi, diteruskan kepada Pimpinan Negara dan Undang-undangnya sampai tanah tumpah darahnya. Dengan dua kata kunci untuk lebih memperbaiki iman kepada Tuhan YME dan ke-jujur-an kita kepada masyarakat sebagai modal awal revolusi mental di dalam diri kita sendiri dalam menyongsong gerakan masyarakat (revolusi mental) untuk Indonesia Raya. Sesuai dengan yang telah disarankan oleh Wage Rudolf Supratman: ...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Salam kuantum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rakhmat dan barokahnya kepada bangsa Indonesia, amin.
Budhi S. Purwowiyoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar