pita deadline

pita deadline

Selasa, 28 Oktober 2014

Amiodarone, Sang Obat Dewa?

Pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) masih menjadi tantangan dalam meningkatkan keluaran meskipun ada kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir. Selama tahun 2013 kemajuan telah dibuat sehubungan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme dan diagnosa SKA. Studi terbaru memberikan pengetahuan mendasar tentang manajemen yang optimal, khususnya yang berkaitan dengan pemilihan obat antitrombotik.


AMIODARONE bukan obat yang asing lagi. Obat ini dikenal sebagai salah satu obat anti aritmia yang penggunaannya paling luas, dan lazim kita jumpai di berbagai rumah sakit pemerintah maupun swasta. Tidak hanya dokter spesialis jantung dan pembuluh darah saja yang sering menggunakan obat ini, bahkan dokter umum pun harus tahu, karena ini merupakan salah satu obat penting dalam algoritme henti jantung, yang tercantum dalam Advanced Cardiac Life Support (ACLS). Walaupun obat ini sering kita temukan dan penggunaannya sangat luas, tidak banyak dokter maupun tenaga medis lain yang mengetahui seluk beluk obat “mujarab” ini. Karena sifatnya yang unik, obat ini dapat digunakan untuk bermacam-macam tipe aritmia, tapi juga memiliki banyak kekurangan, yang sebenarnya membatasi penggunaannya.
Amiodarone, berdasarkan klasifikasi Vaughn Williams, termasuk ke dalam obat anti-aritmia kelas III, yang memiliki properti utama penghambat kanal potasium. Efek utama dari obat ini adalah memperlama durasi aksi potensial di otot jantung, sehingga mencegah terjadinya beberapa  jenis aritmia seperti yang diakibatkan oleh mekanisme re-entry. Selain itu, obat ini ternyata juga memiliki properti obat anti-aritmia kelas satu, yaitu menghambat kanal sodium, yang efeknya akan memperlama periode refrakter jantung. Ditambah lagi kemampuan obat ini sebagai antagonis untuk reseptor α dan β, serta penghambat kanal kalsium, sehingga menurunkan denyut jantung dan menghambat konduksi impuls yang melalui AV node. Segala properti yang dimiliki amiodarone inilah yang membuat obat ini sangat efektif untuk berbagai macam aritmia, seperti pada kasus henti jantung karena fibrilasi ventrikel,  untuk penanganan takikardi ventrikel yang tidak stabil, efektif untuk memperlambat denyut jantung pada atrial fibrilasi, dan masih banyak kegunaan lainnya. Selain itu, amiodarone merupakan obat anti-aritmia yang aman untuk penderita aritmia yang disertai gagal jantung ataupun disfungsi ventrikel kiri.
Secara farmakokinetik, amiodarone mengalami berbagai proses dalam tubuh hingga akhirnya obat ini dapat menimbulkan efek anti aritmiknya. Absorbsi gastrointestinal obat ini tergolong lambat,  dengan hanya 30-50% saja dari total dosis yang dikonsumsi. Setelah itu amiodaron, yang bersifat lipofilik, akan didistribusikan ke berbagai jaringan, terutama ke jaringan lemak, dan sebagian juga akan tertimbun di hati maupun jaringan paru. Sebagian  besar obat ini juga terikat dalam protein plasma, sehingga yang beredar bebas dalam darah dan memberi efek hanya sebagian kecil saja dari seluruh dosis yang diberikan. Karena itu, amiodarone memerlukan onset yang lama dan dosis yang tinggi untuk mencapai kadar terapeutik yang diinginkan. Waktu paruh obat ini juga sangat lama,  dapat mencapai enam bulan. Obat ini tidak diekskresikan melalui ginjal, melainkan melalui kulit, keringat, dan traktus bilier. Pemberian obat ini secara intravena dapat mempercepat kinerja obat ini, namun harus hati-hati pula karena pemberian yang terlalu cepat dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi.
Sebagai seorang tenaga kesehatan yang baik, selain mengetahui efektivitas suatu obat, kita juga perlu memahami risiko yang dapat muncul dalam pemberian sebuah   terapi. Seperti halnya dengan obat-obat lain, amiodarone ini juga memiliki efek samping dan interaksi obat, dan beberapa diantaranya cukup berbahaya, sehingga kita perlu berpikir dua kali untuk memberikan obat ini pada pasien kita.
Amiodarone dapat menimbulkan efek samping kardiak dan non-kardiak. Diantara efek samping kardiak yang sering timbul adalah sinus bradikardi, dan pemanjangan interval QT. Seperti halnya obat anti-aritmia kelas I dan kelas III lainnya, pemanjangan interval QT pada amiodarone dapat mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya Torsade de Pointes, yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat bila pada pasien juga disertai kondisi hipokalemia, hipomagnesemia, bradikardi, maupun penggunaan obat-obatan lain yang dapat memperpanjang interval QT. Namun, jika digunakan sendirian, risiko Torsade de Pointes pada amiodarone relatif kecil (< 0,5%), jauh lebih kecil daripada obat anti-aritmia kelas III yang lainnya.
Efek samping tersebut muncul terutama pada penggunaan amiodarone jangka panjang dengan dosis yang tinggi. Karena itu, dalam kasus aritmia tertentu yang memerlukan penggunaan jangka lama, seperti pada kasus atrial fibrilasi, kita perlu menggunakan dosis efektif yang serendah mungkin, untuk mencegah timbulnya efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan untuk skrining terhadap efek samping yang dapat ditimbulkan oleh amiodarone. Fungsi tiroid dan fungsi hati sebaiknya diperiksa pada awal pemberian obat dan dalam selang waktu enam bulan, dan pemeriksaan elektrokardiografi maupun foto rontgen dada dapat dilakukan setahun sekali ketika pasien kontrol. Pemeriksaan fisik juga penting untuk mendeteksi adanya kelainan pada kulit, mata, maupun sistem saraf, yang dapat muncul pada penggunaan amiodarone jangka panjang.
Amiodarone juga berinteraksi dengan banyak obat, yang dapat meningkatkan risiko efek samping. Penggunaan bersamaan dengan anti-aritmia kelas I, eritromisin, atau obat antidepresan trisiklik, ketoconazole, dan beberapa anti-histamin dapat meningkatkan interval QT secara signifikan dan berisiko terjadi Torsade de Pointes. Interaksi amiodarone dan warfarin dapat meningkatkan risiko perdarahan. Penggunaan amiodarone dan digoksin bersama-sama dapat meningkatkan risiko toksisitas digitalis. Penggunaan bersama penghambat β maupun penghambat kanal kalsium sering dijumpai, namun berisiko bradikardi hebat.
Sebagai kesimpulan, amiodarone merupakan obat yang sangat baik dan efektif untuk berbagai macam jenis aritmia, terutama pada henti jantung akibat aritmia  ventrikel yang membandel. Berbagai efek samping dan risiko akibat pemakaian amiodarone mengakibatkan obat ini harus disimpan sebagai lini terakhir pada aritmia tertentu. Penggunaan pada indikasi yang tepat, dengan dosis yang tepat merupakan kunci kesuksesan terapi amiodarone. Kita sebagai dokter harus tetap bijaksana dalam menentukan terapi, dengan memperhatikan risk-benefit yang ada. (European Heart Journal, 2014; 35: 349-352)
Cardiovascular Community

Tidak ada komentar:

Posting Komentar