pita deadline

pita deadline

Rabu, 19 Februari 2014

Temuan CT Koroner Napkin-Ring Sign Memprediksi Kejadian Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut (SKA) sering tampil sebagai serangan pertama apakah sebagai Unstable Angina Pectoris (UAP), Non ST elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), ST elevation Myocardial Infarction (STEMI) hingga Sudden Cardiac Death, pada pasien yang sebelumnya tidak diketahui penyakit jantung koroner. Hal ini dapat terjadi karena ruptur plak aterosklerosis yang  menjadi penyebab SKA dapat terjadi sebelum penyempitan arteri koroner mencapai derajat yang cukup untuk menimbulkan iskemia. Atas dasar itu, deteksi dini aterosklerosis telah menjadi target utama skrining pada populasi risiko tinggi asimtomatik. Hal ini telah diadvokasikan oleh the Association for the Eradication of Heart Attacks (AEHA), sebagaimana kami kutip dalam gambar 2.

Gambar 2. Pendekataan untuk skrining aterosklerosis yang diadvokasikan oleh
the Association for the Eradication of Heart Attacks (AEHA).

CT koroner adalah modalitas pendeteksi aterosklerosis yang paling akurat. Bila dibandingkan dengan Angiografi koroner dengan X-ray (kateterisasi), CT koroner unggul dalam hal mendeteksi plak yang belum mengakibatkan stenosis sementara dalam mendeteksi stenosis kateterisasi tetap menjadi baku emas. Metode CT koroner dapat berupa CT calcium score atau CT angio. Metode lain pendeteksi aterosklerosis koroner adalah usg arteri carotis sebagai surrogate marker.
CT koroner calcium score tidak mampu mendeteksi plak yang tidak mengandung kalsium. Sehingga CT koroner angio yang menggunakan kontras lebih akurat dalam mendeteksi plak aterosklerosis. Sebuah   studi yang menguatkan peran CT koroner angio sebagai prediktor ACS yang kuat, baru saja dipublikasikan di Jurnal JACC Imaging vol 6 no. 4 tahun 2013. Studi tersebut melibatkan 895 pasien konsekutif yang menjalani CT koroner angio diikuti selama lebih dari 1 tahun. Keluaran utamanya adalah SKA (kematian kardiak, infark miokard nonfatal atau UAP). Analisis CT koroner angio mencakup keberadaan plak obstruktif, positive remodeling (PR), low-attenuation plaque (LAP) dan napkin-ring sign. Napkin-ring sign didefinisikan dengan kriteria:
  1. Tampak gambaran cincin atenuasi tinggi di sekitar plak arteri koroner, dan
  2. Atenuasi cincin lebih tinggi dari plak di sekitarnya dan tidak lebih dari 130 Hounsfield unit
Contoh gambaran napkin-ring sign dapat dilihat di gambar 1. Gambaran napkin-ring sign pada CT koroner angio telah dibuktikan dalam beberapa studi sesuai dengan temuan thin-cap fibroatheroma pada temuan patologi anatomi, yaitu plak yang rapuh dan rentan mengalami ruptur sehingga mengakibatkan terjadinya SKA.
 
Gambar 1. Contoh gambar Napkin-Ring sign (A dan B).

Studi tersebut menemukan dalam follow-up 2,3 ± 0,8 tahun terjadi ACS pada 24 pasien (2,6%), di mana 41% dari pasien tersebut memiliki plak dengan Napkin-Ring sign. Studi melakukan analisis berdasarkan segmen koroner yang diperiksa, dan menemukan dalam analisis segment-based Cox proportional hazards models bahwa PR (p < 0,001), LAP (p=0,007) dan Napkin-Ring sign (p,0,0001) adalah prediktor independen untuk kejadian SKA di masa yang akan datang (Lihat tabel 1). Analisis Kaplan- Meier mendemonstrasikan bahwa plak-plak dengan Napkin-Ring Sign menunjukkan risiko kejadian SKA yang lebih tinggi dibandingkan tanpa Napkin-Ring sign (Lihat gambar 3).

Tabel 1. Perbandingan karakteristik plak per segmen dengan dan tanpa kejadian SKA.

Gambar 3 A, B, C. Kurva Kaplam Meier membandingkan survival pasien yang memiliki lesi Napkin-Ring sign dibanding dengan lesi tipe lain.

Studi ini adalah yang pertama mendemonstrasikan bahwa temuan Napkin-Ring sign pada CT koroner angio memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian SKA di masa yang akan datang independen terhadap PR dan LAP. Deskripsi Napkin-Ring sign saat membaca hasil CT koroner angio akan membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi SKA, sehingga tindakan atau pengobatan yang lebih optimal dapat dimulai sejak dini, dengan harapan mencegah kejadian SKA di masa yang akan datang.

(J Am Coll Cardiol Img 2013; 6: 448-57)
Sony HW.

GALERI FOTO

25th WECOC 2013, 8-10 November 2013, Ritz Carlton Hotel Jakarta,
dihadiri pula oleh orang nomor 1 di DKI Jakarta: Gubernur Jokowi.

 

Kardiologi Kuantum (24): Refleksi Akhir Tahun 2013

By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
~Confucius~

Salam kardio. Dalam perhelatan tahunannya Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/PJNHK yang ke-25 pada tanggal 8-10 Nopember 2013 di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta; merefleksikan pencapaian kemajuan selama duapuluh lima tahun ini dalam bidang sain dan teknologi kardiovaskular. Yang menarik, lebih dari seperempat abad yang lalu masyarakat masih menganggap serangan jantung dengan simtomatologi yang sama sebagai “masuk angin” dan ketika semakin memberat yang berujung dengan mati mendadak, diagnosis postmortem-nya masih disebut sebagai “angin duduk.” Kerokan yang dilakukan dengan cara menggaruk kulit menggunakan koin logam setelah  kulit dibasahi dengan minyak kelapa. Setelah terjadi hiperemi dapat diteruskan memijit otot di sekitar garukan tersebut dengan menggosoknya menggunakan minyak angin, minyak telon, atau minyak kayu putih masih menjadi favorit. Tentu saja health believe ini harus dijelaskan agar masyarakat lebih berhati-hati bila mendapatkan keluhan sakit dada sebagai ikutannya.
Serangan jantung masih seperti dulu merenggut nyawa penderitanya dengan  cepat, saking cepatnya justru merupakan pilihan orangtua ketika menghadapi hari akhir yang pasti datang itu. Ternyata, masih saja penderitanya meninggal mendadak di tempat kejadian sebelum mencapai rumah sakit, atau sudah meninggal di perjalanan bahkan sesampainya di unit gawat darurat. Di negara-negara maju yang sistim kesehatan kotanya mampu mengatasi kendala lalu-lintas dengan waktu respon ambulannya 7 (tujuh) menit, setidaknya di bawah angka 10 menit memang “sedikit” dapat mengurangi separoh dari jumlah penderitanya yang dapat mencapai rumah sakit. Komunikasi antara ambulan, petugas kesehatan dengan induknya di unit gawat darurat di Jakarta patut dicatat sebagai inovatif karena telepon seluler yang digunakan sekaligus memiliki kemampuan fotografi untuk mengirimkan gambar elektrokardiogram. Analisis rekaman tersebut oleh dokter jaga kardiovaskular sewajarnya menjadi penentu pemberian obat-obat fibrinolitik yang wajib diberikan ners terlatih dalam perjalanannya menuju rumah sakit.
Para dokter memang mampu mengatasi sakit jantung angina pektoris tidak stabil tetapi masih dipersalahkan juga sebab jangka panjang malah meningkatkan gagal jantung yang di dunia ini sudah menyebabkan biaya kesehatan membengkak. Gagal jantung masih mengambil porsi terbesar biaya kesehatan melebihi pengeluaran penyakit lainnya seperti AIDS bahkan flu burung sekali pun. Gagal jantung kedepannya memerlukan terapi sel punca, peralatan bantuan bilik kiri, pacu jantung dobel, defibrilator di bawah kulit dada, bahkan transplantasi jantung. Lagi-lagi kita belum mampu melaksanakan transplantasi tersebut dengan berbagai alasan lengkap dengan kendala-kendalanya. Para dokter masih harus mengingatkan kepada pasien gagal jantung agar jangan kecapaian, tidak boleh naik-turun tangga, jangan angkat barang-barang berat, tidak boleh marah-marah bahkan tidak boleh sakit. Sebab sakit infeksi, batuk-batuk berkelanjutan, mencret-mencret yang menguras garam-garam penting dalam tubuh dapat memicu aritmia, kesemuanya itu menyebabkan pasien dirawat lagi di rumah sakit. Ketika sesak nafas bertambah, kaki menjadi bengkak dokter masih sering lupa memberikan penyuluhan masalah ini dan seyogyanya semua ruang gawat darurat siap memberikan suntikan diuretik beberapa ampul furosemide sekaligus agar kencingnya keluar banyak sehingga sangat mengurangi rasa sesak nafas akhirnya pasien dapat dipulangkan dengan obat-obatan yang telah diperbaiki komposisinya oleh dokter jaga.
Jakarta masih belum mampu mengatasi kendala ruwetnya lalu-lintas walaupun sudah mengupayakan pengaturan aliran kendaraan dengan memperpanjang rute-nya alih-alih membangun sistim pengangkut masyarakat dalam jumlah besar, cepat, dan tepat waktu seperti layaknya kota metropolitan di negara lain. Penutupan beberapa tempat dan membuka alur lalulintas jalan tol di tempat lainnya di dalam kota masih dalam uji coba menjelang tahun baru yang diambang waktu ini. Kontra flow yang konon mulai dicoba menambah rasa was-was masyarakat penggunanya, justru menambah angka kecelakaan walaupun lampu depan motor-motor dianjurkan dihidupkan di siang hari. Sementara itu masyarakat semakin mudah mendapatkan kendaraan motor dan mobil karena uang muka cicilannya menjadi lebih murah dan selalu saja ada diskon menjelang tahun baru dan hari-hari besar lainnya. Banyak kepentingan yang harus dihadapi pemerintah untuk menyetop meningkatnya produksi pabrik-pabrik kendaraan roda dua dan roda empat. Itu  semua mengganggu petugas kesehatan dalam menolong serangan jantung mendadak sekaligus untuk menghindari mati mendadak.
Penggunaan obat-obatan mencatat bahwa dari dulu statin memang dipakai sebagai penurun kolesterol hanya sekarang lebih ditegaskan lagi sasarannya yaitu untuk menurunkan LDL-C. Sasaran ini lebih diutamakan daripada meningkatkan HDL-C karena upaya meningkatkan HDL-C tidak serta merta menurunkan angka kematian maupun serangan jantung. Anehnya, perilaku masyarakat dan dokter USA memang unik ketika kita mengetahui justru penjualan niacin sebagai obat yang meningkatkan HDL-C volumenya meningkat walaupun belum terbukti manfaat jangka panjang-nya. Inisiasi pemberian betabloker yang memang bermanfaat bagi penderita gagal jantung mash harus selalu diingatkan kepada dokter di rumah sakit sebagai hulunya dengan demikian dokter-dokter umum sebagai garda depan di masyarakat tinggal meneruskan perilaku “penghulunya” tersebut. Sekiranya bisoprolol diberikan kepada mereka yang sekaligus menderita gagal ginjal seyogyanya dipertimbangkan menggantinya dengan yang lebih ramah terhadap organ ini seperti carvedilol. Obat-obat penghambat ACE, ARB, CCB dan penghambat beta cenderung digabungkan satu dengan lainnya (dobel) daripada menggunakan suatu obat yang baru. Para dokter agar sabar menunggu tahun-tahun mendatang karena obat-obat baru sedang diteliti dengan ketat berdasarkan dua mantra-keyakinannya para dokter atas nama metodologi dan induksi statistik yang valid. Ticagleror mencuri perhatian karena antitrombotik lainnya yang sudah mapan dalam evidence based medicine seperti aspirin dan clopidogrel mulai digoyahkan dengan penemuan-penemuan adanya resistensi obat-obatan yang didukung dengan peralatan laboratorium, salah satunya akibat mutasi genetik. Malah tiga macam pengencer darah yaitu dua antitrombotik dan satu antikoagulan perlu dipertimbangkan pemberiannya pada kasus-kasus kombinasi ‘cincin’ koroner, perifer, diabetes, gagal jantung dan fibrilasi atrium hendaknya juga meningkatkan kewaspadaan dokter akan akibat perdarahan yang mungkin ditimbulkannya.
Dalam intervensi belum menunjukkan kemajuan menyangkut hal-hal yang mendasar. Terapi medikal yang optimal pada penderita angina pektoris stabil dalam jangka panjang dengan kematian sebagai sasaran akhir penelitian hasilnya tidak berbeda bermakna dengan tindakan intervensi perkutan. Keyakinan ini dilandasi penelitian-penelitian yang sahih seperti Courage, Bari 2D, Mass II, FAME 2, dan meta analisisnya, inilah yang cukup mengagetkan karena masih memberi harapan bagi pasien-pasien yang menolak tindakan intervensi atau merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan jangka panjang.
KarĂ´shi adalah istilah yang berasal dari Jepang yang artinya “meninggal akibat kelelahan kerja” mulai diperhatikan oleh publik ibukota. Menjelang akhir tahun ini   mulai ada pekerja muda kita yang meninggal dan diduga akibat kelelahan bekerja. Fisiknya alih-alih berolah raga dan memilih makanan bergizi justru tubuhnya dipacu bekerja dengan minuman-minuman berenergi yang mengandung kafein dosis tinggi di dalamnya.    
Akhirnya, upaya preventif dan rehabilitasi jantung harus mawas diri bersama bahwa masih kurang memberikan perhatian pada penyakit gagal jantung. Penderita tersebut perlu diingatkan dan dibuatkan “resep” latihan terukur dan teratur dengan intensitas yang moderat guna mendapatkan manfaat yang optimal. Sudah saatnya masyarakat luas diperkenalkan tentang kemungkinan meninggal mendadak yang terbagi diatas 35 tahun yang di dominasi oleh penyakit jantung koroner dan dibawah 35 tahun terutama disebabkan oleh kardiomiopati penebalan bilik jantung. Salah satu upaya yang sudah banyak dikerjakan oleh ahli jantung adalah memasang pacu dan atau kejut jantung yang dapat  mengatasi aritmia yang mengancam jiwa. Terlebih penting lagi upaya strategis ini sudah dapat dibiayai oleh asuransi kesehatan pelat merah. Dengan banyaknya manusia memakai peralatan elektronik di dalam tubuhnya sebagai penunjang hidupnya dapat digolongkan sebagai cyborg (cybernatic organism) ? Sejarah yang akan menjawabnya di masa datang.
Perbedaan penyebab meninggal mendadak akibat penyakit jantung pada orang muda dan orang tua. (Zipes DP, Wellens HJ. Sudden cardiac death. Circulation. 1998; 98(21): 2334-2351).
Semoga manusia semakin bijak dalam menapaki tahun-tahun mendatang dengan mengkonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan, meluangkan waktu untuk berolah-raga setiap hari, cukup beristirahat serta memperkuat integritasnya sebagai manusia ideal dengan kunci kejujuran dan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa akan melindunginya dari segala marabahaya. Salam kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto

Selasa, 11 Februari 2014

Large Scale Registry Shows Atrial Fibrillation Management is Suboptimal and Unequal Around the World

Munich, Germany, August 29, 2012 – New one-year follow-up results from the global RE-LY AF registry, a multinational primary care registry, have been announced for the first time during the European Society of Cardiology (ESC) Congress 2012. The findings show that 11.7% of patients with atrial fibrillation (AF) who were included in the registry from January 2008 to April 2011 had died within one year.1 The registry mainly reflects data from patients before novel oral anticoagulants became available.
Data from over 15,000 patients in 47  countries across the world, including low income countries have been reviewed.2 The new insights underline the high unmet  medical need and the large opportunities for improvement by applying already available strategies and tools for diagnosis, risk assessment, and treatment of patients with AF.
  • The one-year results presented today show wide variations in the management and outcomes of AF patients and affirm that stroke prevention in AF remains a major issue worldwide:1
  • The one-year mortality rate appears to be highly variable between countries. While it was significantly lower in Western Europe than in North America (8.3% vs 11.4%), it was about twice as high in Africa and Latin America (20.0% and 18.1% respectively)
  • Despite the availability of anticoagulant therapy, like vitamin K antagonists, more than 4% of AF patients experienced a stroke within one year
  • Significantly more patients with AF suffered a stroke in the regional cohorts examined in China (7.2%), South East Asia (6.6%) and Africa (8.3%) compared to North America (3.1%). Most of the differences in stroke rate seen between regions can be explained by differing treatment usage of vitamin K antagonists such as warfarin
“Registries such as RE-LY AF have demonstrated clear differences in the management and outcomes of patients with atrial fibrillation in different regions of the world and suggest that there is an opportunity to use existing knowledge to improve the care of patients with atrial fibrillation worldwide. For example, the introduction of new oral anticoagulant medications may have a particularly important benefit in China and South-East Asia, where warfarin is infrequently used and when it is used, lower INR values are usually targetted,” commented Dr Jeff Healey, McMaster University, Hamilton, Canada. “These findings have important implications for the improvement of disease management and health policy, aimed at protecting AF patients from the severe outcomes of this disease.”
The first baseline results from the RE-LY AF registry showed that the presentation, etiology and treatment of AF vary greatly between geographic regions.2 With regard to stroke prevention through anticoagulation, baseline results showed:
  • Worldwide, appropriate use of traditional oral anticoagulants was low, with wide variations between regions
  • INR (International Normalized Ratio) control was poor, with only North America and Europe exceeding levels above 50% time in therapeutic range (INR 2.0-3.0).
“The insights resulting from this large registry once again confirm the worldwide medical need for alternatives to vitamin K antagonists which are difficult to manage for stroke prevention in patients with non-valvular AF,” commented Prof. Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Based on the RE-LY® trial results and the great body of clinical experience, we are confident Pradaxa® can and will play an important role in helping to close this treatment gap.”
(SPONSORED ARTICLE)

References
  1. Healey JS, et al.Global Variations in the 1-Year Rates of Death and Stroke in 15,340 Patients Presenting to the Emergency Department with Atrial Fibrillation in 47 Countries: The RE-LY AF Registry. Presented at the European Society of Cardiology Congress 2012, 29th August 2012.
  2. Healey JS, et al. Global variation in the etiology and management of atrial fibrillation: results from a global atrial fibrillation registry- Presented at the European Society of Cardiology Congress 2011, August 2011, session number 711006.

Kateterisasi Jantung: Seuntai Sejarah Panjang (2/Selesai)

(Sebelum membaca artikel ini silahkan Anda baca dulu bagian pertamanya)

Kateterisasi jantung manusia semakin berkembang selama abad ke-20.5 Langkah dramatis diambil oleh Werner Forssmann pada tahun 1929.4,5 Residen bedah (yang kala itu masih muda) ini melakukan kateterisasi jantung kanan pada dirinya sendiri di Eberswald, Jerman.3,4 Tindakan ini merupakan kateterisasi pertama pada manusia yang terdokumentasi.3,5 Beliau membius siku kirinya, menyisipkan suatu kateter ke dalam vena antekubitinya, dan mengonfirmasi posisi ujung kateter di atrium kanan menggunakan radiografi.3 Tujuan awalnya adalah menemukan jalur yang efektif dan aman untuk memasukkan obat-obatan resusitasi jantung.3 Forssmann lalu mengembangkan eksperimen-eksperimennya ke arah injeksi media kontras intrakardiak melalui suatu kateter yang ditempatkan dalam atrium kanan.3 Kontribusinya tersebut, bersama perkembangan media kontras nontoksik dan teknik radiologis, telah membuka jalan bagi perkembangan angiografi koroner.3
Satu dekade setelah kateterisasi Forsmann yang fenomenal dan berorientasi terapetik diperkenalkanlah kateterisasi jantung diagnostik pertama oleh André Cournand dan Dickinson Richards pada 1941.3,5 Mereka menggunakan kateter jantung guna keperluan diagnostik yaitu untuk mengukur tekanan jantung kanan dan cardiac output.3 Atas kerja keras mereka, Forssmann, Cournand, dan Richards dianugerahi Hadiah Nobel di bidang Kedokteran pada tahun 1956.3 Pada dekade 1950-an tersebut, Zimmerman, Cope, Ross, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya berhasil menjelajahi jantung kiri dengan kateter.4
Arteriografi koroner selektif diperkenalkan oleh Mason Sones pertama kali pada tahun 1958.3,5 Tindakannya ini dilakukan pada lebih dari seribu pasien.3 Sones lalu memublikasikan penjelasan singkat tentang teknik yang beliau lakukan di Modern Concepts of Cardiovascular Diseases pada tahun 1962.3 Perkembangan ini menjadi gerbang pembuka suatu periode kemajuan cepat dalam aspek arteriografi koroner selama medio 1960-an.3
Peristiwa rekanalisasi arteri perifer dengan kateter secara tidak sengaja oleh Charlos Theodore Dotter pada 1963 makin menegaskan dimulainya era intervensi.4,6 Dotter sebenarnya hendak melakukan aortogram abdomen pada pasiennya, seorang penderita stenosis arteri renalis, dengan memasukkan kateter secara perkutan lewat jalur retrograde. Kateter ini melewati arteri iliaka kanan pasien yang mengalami oklusi sehingga arteri tersebut mengalami rekanalisasi.6
Usaha Sones dan Dotter ini disusul oleh kemunculan metode angiografi koroner femoral perkutan yang dipopulerkan oleh Melvin Judkins (trainee Dotter) dan Amplatz pada tahun 1967.3,4 Judkins adalah juga seorang radiolog yang telah mempelajari angiografi koroner bersama Sones.3 Pada tahun tersebut, Judkins menciptakan sistem pencitraan koroner, memperkenalkan kateter-kateter khusus, dan menyempurnakan pendekatan transfemoral.3
Teknik yang lebih mutakhir, yaitu angioplasti dengan balon, diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig pada pertengahan dekade 1970-an.4,5 Gruentzig juga merintis intervensi-intervensi lain yang berbasis kateter pada dekade tersebut.5 Rintisan beliau telah membawa kemajuan berarti dalam perbaikan dan pengembangan teknik-teknik kateterisasi.5 Sekarang, angiografi koroner serta intervensi koroner perkutan dilakukan terutama dengan pendekatan arteri radial serta arteri femoral dan teknik Sones sudah jarang dipakai lagi.5
Penemuan Sones, Dotter, dan Gruentzig di atas telah membawa kita pada hari ini dimana telah tersedia “amunisi” lengkap berupa peralatan-peralatan revaskularisasi arteri yang digunakan secara perkutan untuk kondisi klinis yang beraneka ragam.4
Di luar ranah intervensi, momentum bersejarah lain dalam kardiologi lahir pada dekade awal abad ke-20, tepatnya tahun 1912, dimana penyakit jantung yang terjadi karena pengerasan arteri-arteri dijelaskan untuk pertama kali oleh seorang dokter Amerika bernama James B. Herrick.1 Sementara itu, mencuatnya penemuan sinar-X oleh Wilhelm Roentgen pada 1895 memungkinkan studi anatomi jantung untuk dilaksanakan dengan pendekatan baru ini.3 Penemuan sinar-X ini disusul oleh kemunculan atlas radiografik arteri koroner manusia yang pertama pada 1907.3 Atlas ini diciptakan dan dipublikasikan oleh dua orang dokter berkebangsaan Jerman, Friedrich Jamin dan Hermann Merkel.3 Perkembangan dalam aspek teoretis kardiologi dan aspek radiologi tersebut secara tidak langsung juga memengaruhi perkembangan dalam aspek kardiologi intervensional.

Penggunaan Klinis
Kemunculan penemuan besar kardiologi ini telah membantu memecahkan masalah-masalah kardiovaskular. Kateterisasi jantung dapat diaplikasikan untuk melihat kondisi pembuluh darah koroner (angiografi koroner) atau kondisi jantung kanan. Berdasarkan executive summary dari guideline untuk angiografi koroner dari American College of Cardiology/American Heart Association, penggunaan modalitas ini adalah untuk: (1) penyakit arteri koroner yang sudah diketahui atau baru pada level dicurigai, (2) penyakit jantung valvular, (3) penyakit jantung kongenital, (4) gagal jantung kongestif, dan (5) kondisi-kondisi lain (yaitu penyakit yang melibatkan aorta dan kardiomiopati hipertrofik).7 Khusus untuk penyakit arteri koroner, angiografi koroner adalah kriteria standar untuk mendiagnosisnya dan merupakan metode primer untuk membantu menggambarkan anatomi pembuluh darah koroner.8
Pasien dengan dugaan ataupun sudah diketahui menderita penyakit arteri koroner dapat berada pada kondisi-kondisi: angina stabil, nyeri dada nonspesifik, angina tidak stabil, mengalami rekurensi iskemia setelah revaskularisasi, infark miokard akut, dan dalam periode perioperatif bedah nonkardiak.7 Biasanya angiografi koroner direkomendasikan (yaitu dengan kelas rekomendasi I) pada pasien-pasien tersebut bila: hasil pemeriksaan noninvasifnya menunjukkan risiko tinggi, berada pada kelas Canadian Cardiovascular Society III-IV dan sedang menjalani terapi medis, diduga terjadi penutupan mendadak atau trombosis sten subakut setelah revaskularisasi perkutan, serta berada pada kondisi-kondisi penting lainnya.7
Penggunaan kateterisasi jantung kanan mempunyai beberapa manfaat yaitu: (1) dapat mendiagnosis pasien dengan penyakit jantung kongenital dan didapat, (2) untuk memonitor pasien-pasien ICU dengan penyakit kardiovaskular signifikan, (3) bila ditempatkan di proksimal aurikula kanan, kateter ini bisa menjadi jalur yang penting dan aman untuk pemberian cairan, medikasi, serta nutrisi parenteral, serta (4) untuk studi-studi fisiologis mengenai  dinamika kardiovaskular pada individu normal dan pasien-pasien dengan penyakit jantung.9

Perkembangan Terkini
Hari ini, lebih dari 70 tahun sejak tindakan fenomenal Forsmann mencuat, intervensi koroner perkutan telah menggeser kedudukan operasi bypass arteri koroner sehingga menjadi suatu prosedur yang lebih umum di banyak negara. Frekuensi pelaksanaannya terus bertambah. Tingkat keberhasilannya lebih dari 95% dan risiko terjadinya komplikasi-komplikasi serius pun menurun. Pasien dapat segera dimobilisasi dan dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya. Stenosis berulang yang menjadi momok sekarang perlahan mulai berkurang.10
Keberhasilan intervensi perkutan tersebut berkaitan erat dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi, antara lain: (1) peningkatan mutu dari wire pemandu intrakoroner dan balon sehingga meningkat pula tingkat keamanan dan efektivitasnya, (2) peningkatan keragaman balon, sten, dan peranti lainnya yang dipasang dengan bantuan kateter, serta (3) penggantian media kontras yang digunakan.10
Kemajuan yang terpesat ada dalam hal perkembangan sten. Sten-sten ini terbuat dari tabung baja tahan karat dan mempunyai kekuatan serta kelenturan yang berbeda-beda. Setelah dipotong menggunakan sinar laser, tabung-tabung tersebut dibentuk menjadi bermacam-macam desain sten. Mereka digores secara kimiawi, disepuh secara elektris menjadi hasil akhir yang halus, dan kadang-kadang dilapisi.10
Saat ini telah tersedia bermacam-macam jenis sten. Ada sten biasa yang tidak mengandung obat-obatan. Sten ini disebut bare-metal stent (BMS). Penemuan BMS ini merupakan revolusi kedua dalam dunia kardiologi intervensi setelah revolusi pertama oleh Gruentzig.11
Adanya risiko restenosis (sebagai kejadian yang muncul pascapemasangan sten) akibat pertumbuhan jaringan telah melatarbelakangi kemunculan varian sten yang lain yaitu drug-eluting stent (DES). Sten ini mengandung medikasi untuk mencegah atau menghambat perkembangan jaringan. Penggunaannya telah mengurangi kejadian penyempitan ulang dibandingkan penggunaan BMS. Hal ini pertama kali diteliti dalam studi acak yang membandingkan sten yang mengandung sirolimus dengan sten standar (studi RAVEL). Sten, khususnya drug-eluting stent, mengurangi risiko terjadinya stenosis ulang tetapi terkait juga dengan risiko lain, yaitu trombosis sten. Oleh karena itu, terapi dengan anti-platelet ganda tetap diperlukan untuk pasien-pasien yang memakainya.11-13
Perkembangan sten berikutnya yang dianggap revolusi keempat adalah penemuan dari bioresorbable vascular scaffold (BVS). Teknologi ini memungkinkan scaffolding sementara dari pembuluh darah untuk mencegah penutupan akut. Obat antiproliferasi tetap dielusikan secara sementara untuk melawan proses remodelling konstriktif dan hiperplasia lapisan intima yang berlebihan. Salah satu keuntungan dari penemuan ini adalah berkurangnya efek samping seperti trombosis sten. Selain itu, scaffolding hanya bersifat sementara sampai pembuluh darah menyembuh. Tidak ada materi asing pemicu potensial untuk trombosis sten (seperti strut yang tidak terendotelialisasi serta polimer-polimer obat) yang menetap dalam jangka waktu lama.11
Kemajuan lain dicapai dalam hal media kontras dan penerapan teknologi digital untuk angiografi. Dahulu, di awal kemunculannya, prosedur angioplasti menggunakan media kontras yang toksik. Media kontras yang relatif aman kini telah menggantikannya. Sistem angiografi digital adalah kemajuan besar yang melampaui sistem-sistem lama yang berbasis cine.10
Selain pada aspek intervensi koroner, perkembangan kateterisasi jantung juga merambah aspek perawatan kritis kardiovaskular. Kateterisasi jantung kanan telah berkembang menjadi kateterisasi arteri pulmonal. Pemeriksaan ini diperkenalkan pertama kali ke unit rawat intensif sekitar 40 tahun yang lalu. Terlepas dari sedikitnya bukti yang ditunjukkan oleh studi-studi acak terkontrol tentang kegunaan klinisnya, kateterisasi arteri pulmonal telah menjadi standar perawatan untuk pasien yang sakit kritis.9 
                 
Andy Kristyagita

Referensi: 
  1. History of the heart [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 18]. Available from: http://www.fi.edu/learn/heart/history/firsts.html.
  2. Braunwald E, Gorlin R, McIntosh HD, Ross RS, Rudolph AM, Swan HJ. Cooperative study on cardiac catheterization. Summary. Circulation 1968 May;37(5 Suppl): III93-101. 
  3. Mehta NJ, Khan IA. Cardiology's 10 greatest discoveries of the 20th century. Tex Heart Inst J 2002;29(3):164–71. 
  4. Mueller RL, Sanborn TA. The history of interventional cardiology: cardiac catheterization, angioplasty, and related interventions. Am Heart J 1995 Jan;129(1):146-72. 
  5. Bourassa MG. The history of cardiac catheterization. Can J Cardiol 2005 Oct;21(12):1011-4.

Hiperglikemia Saat Masuk RS dan Selama Perawatan Merupakan Prediktor Independen pada Pasien Risiko Tinggi di ICCU

Hiperglikemia pada pasien dengan kondisi akut dihubungkan dengan peningkatan mortalitas dibandingkan dengan pasien normoglikemik kondisi yang sama. Hasil keluaran diperbaiki dengan pemberian insulin pada pasien infark miokard akut yang hiperglikemik.
Walaupun, implikasi prognostik dari hiperglikemik saat masuk RS dengan selama perawatan di ICCU pada pasien risiko tinggi belumlah diketahui.
Sehingga tujuan dari penelitan oleh Lipton et al adalah untuk mengevaluasi nilai prediktif gula darah saat masuk RS dan rerata gula darah selama perawatan di ICCU pada pasien-pasien risiko tinggi.
Studi observasional pasien-pasien yang masuk ke ICCU yang mana gula darah diperiksa saat masuk dan selama perawatan. Selama follow up 19 bulan, 1713 pasien dimasukkan dalam studi ini. Dengan rerata usia 63±14 tahun, 1228 (72%) laki-laki dan 228 (17%) diketahui dengan DMT2.
Median tingkat gula darah saat masuk RS 7.9 (6.5-10.1) mmol/l; median tingkat gula darah selama masuk ICCU (873 pasien dengan 3 atau lebih pemeriksaan gula darah) 7.3 (6.7-8.3) mmol/l.
Analisis regresi Cox dilakukan dengan variabel yang berperan adalah usia, jenis kelamin, diagnosis saat masuk, lama perawatan, penyakit kardiovaskular sebelumnya dan diabetes.
Peningkatan 1 mmol/l gula darah saat masuk RS (diatas 9 mmol/l) dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas oleh sebab apapun sebesar 10% (95% CI 7-13%).
Peningkatan 1 mmol/l gula darah rerata (diatas 8 mmol/l) merupakan prediktor independen tambahan untuk mortalitas (HR 1.11; 95% CI 1.03-1.20). Pada follow up 30 hari, 16.8% (97/579) pasien dengan tingkat gula darah tertinggi (> 9.8 mmol/l) mengalami kematian dibandingkan 5.2% (59/1134) pasien dengan tingkat gula darah yang rendah saat masuk RS.
Pada pasien risiko tinggi, analisis multivariate memperlihatkan nilai prognostic yang independen dan penting untuk nilai gula darah saat masuk RS dan rerata gula darah selama perawatan.
Hal ini juga sama pada studi DIGAMI dari 620 pasien diabetes dengan infark miokard akut, gula darah saat masuk secara independen dihubungkan dengan mortalitas selama follow up 3.4 tahun.
Baik gula darah saat masuk RS dan rerata gula darah yang tinggi dihubungkan secara independen dengan peningkatan mortalitas pada pasien risiko tinggi dengan penyakit jantung yang dirawat di ICCU.
(European Heart Journal: Acute Cardiovascular Care 2013: 2(4): 306-13) 
SL Purwo

Penampilan Diagnostik Perubahan Kinetik dari Peningkatan, Penurunan atau Keduanya pada hsTropT di Emergensi

Penanda kardiak mempunyai peran penting dalam manajemen pasien dengan sindroma koroner akut (ACS) dan bagian penting dari definisi universal dari infark miokard akut berdasarkan panduan klinis ESC baru-baru ini.
Sebagaimana direkomendasikan oleh ESC/ACCF/AHA/WCF dengan re-definisi dari infark miokard akut, peningkatan dan atau penurunan penanda kardiak paling tidak satu nilai diatas persentil ke-99 dari batas referen teratas bersama dengan bukti adanya iskemik miokard diperlukan untuk menegakkan diagnosis infark miokard akut.
Pengukuran serial dari troponin kardiak dibutuhkan untuk membedakan peningkatan akut dari kondisi yang dihubungkan dengan penyakit koroner stabil atau penyakit jantung struktural.
Sekarang ini, pola peningkatan memberikan anggapan bahwa terjadi keadaan sub-akut yang sama dengan nilai diagnostik. Oleh karena hal tersebut, dilakukanlah studi oleh Biener et al. untuk mengevaluasi apakah perubahan kinetic akan menambah informasi diagnostik terhadap nilai dasar hsTropT dan jika perubahan postif atau negative sama-sama efektif untuk membedakan NSTEMI dengan non-ACS.
Total 635 orang pasien dengan UAP, NSTEMI atau symptom akut dan peningkatan hsTropT (> persentil ke-99) dimasukkan dalam studi ini. 572 orang pasien memenuhi kriteria inlusi dari pola peningkatan yang konsisten (n = 254; 44%), pola penurunan (n = 224; 39.2%) atau pola penurunan setelah peningkatan pada awalnya (n = 94; 16.4%).
Diagnosis akhir termasuk 66 (11.5%) pasien dengan UAP, 141 (24.7%) pasien NSTEMI dan 365 (63.8%) pasien dengan peningkatan hsTropT bukan karena ACS.
Peningkatan lebih banyak ditemukan pada pasien NSTEMI dibandingkan non-ACS (OR 3.69; 95% CI 2.46-5.53; p < 0.0001). Peningkatan tambahan tetapi tidak penurunan meningkatkan nilai diagnostic konsentrasi hsTropT pada saat presentasi: positif: AUC 0.680 (95% CI 0.618-0.742) vs 0.861 (95% CI 0.822-0.900; p < 0.0001), negative: AUC 0.678 (95% CI 0.545-0.812) vs 0.741 (95% CI 0.635-0.847).
Kriteria peningkatan 20% yang diusulkan oleh panduan klinis ESC dilakukan sama pada perubahan positif atau negative hanya pada saat masuk nilai hs TropT diperhitungkan: AUC 0.785 (95% CI 0.726-0.845) VS auc 0.763 (95% ci 0.681-0.845).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, peningkatan tetapi bukan penurunan nilai hsTropT memperbaiki penentuan NSTEMI dari non-ACS pada kasus-kasus di emergensi.
(European Heart Journal: Acute Cardiovascular Care 2013: 2(4); 314-22)
SL Purwo