pita deadline

pita deadline

Kamis, 12 Desember 2013

Kardiologi Kuantum (23): Hati Nurani Adalah Suara Kebenaran, Benarkah?


“Through pride we are ever deceiving ourselves. But deep down below the surface of the average conscience a still, small voice says to us, something is out of tune.”
~ C.G. Jung ~

Salam Kardio. Amatlah menarik kalau menjelang akhir tahun 2013 kolom Kardiologi Kuantum membicarakan hati nurani yang sering dianggap sebagai suara hati yang harus diikuti dengan penuh semangat, karena ia adalah sejatinya kebenaran. Rasanya tidak demikian, masih memerlukan pertimbangan fikiran dan perasaan kita. Jung sendiri masih memandang bahwa hati nuranipun bertingkat-tingkat dari permukaan kesadaran manusia sampai yang terdalam yang sering disebut-sebut sebagai pusat arketip.
Hati nurani berasal dari kata bahasa Latin Conscientia yang berarti kesadaran. Conscientia terdiri dari dua kata yaitu CON dan SCIRE. Con berarti bersama-sama dan Scire berarti mengetahui. Jadi Conscientia  berarti mengetahui secara bersama-sama/turut mengetahui. Artinya, bukan saja saya mengenal seseorang tetapi saya juga turut mengetahui bahwa sayalah yang mengenal. Atau, sambil mengenal, saya (subyek) sadar akan diri (obyek) sebagai subyek yang mengenal. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan dua arti dan makna hati nurani yaitu: 1. Arti luas: Hati nurani berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia; 2. Arti sempit: Hati nurani berarti penerapan kesadaran moral diatas dalam situasi konkret.
Kembali kepada pertanyaan apakah hati nurani itu suara kebenaran? Nah, benar-tidaknya hati nurani itu dapat dibuktikan secara empiris berdasarkan norma obyektif yang ada di masyarakat, hati nurani  menjadi benar atau keliru/tidak cocok ketika berhadapan dengan norma masyarakat. Mestinya secara moralpun dapat dipastikan kepastiannya setelah dicocokkan dengan yang ada di masyarakat, bila masih bimbang dan ragu dapat didiskusikan dengan peer grupnya. Di sini kardiologi kuantum mengikuti apa yang disarankan oleh Alfred Adler agar norma di dalam masyarakat (social feeling) dijadikan sebagai acuan sebab kalau terlalu sering/banyak perbedaannya dapat menjadi gangguan kejiwaan yang dimulai sebagai stres atau neurosis.
Peranannya dengan perbuatan kita berdasarkan perjalanan sang waktu ia dapat berperanan sebelum terjadinya suatu perbuatan untuk menyuruh kearah perbuatan yang baik atau melarangnya untuk perbuatan-perbuatan yang buruk. Pada saat rangkaian perbuatan kita sedang berlangsung ia masih dapat menyuruh atau melarang. Konon sesudah perbuatan kita selesai dilaksanakan pun masih dapat memberikan peranannya untuk memuji jika perbuatan itu baik dan menyesal jika perbuatan itu buruk. Hati nurani dapat berperanan dalam menyadarkan manusia akan eksistensi, nilai-nilai dan harga dirinya.
Hati nurani dalam kehidupan kita sehari-hari dapat dipakai sebagai pegangan, pedoman atau norma yang nyata yang sudah ada di masyarakat ideal. Norma ini telah disampaikan oleh mereka yang berkompeten termasuk apa yang telah disampaikan oleh orang yang secara psikologis dianggap oleh kardiologi kuantum sebagai psikolog yang “berkelas super” yaitu para nabi/utusan Tuhan. Pedoman atau norma tersebut dapat dipakai sebagai acuan apakah tindakan itu baik atau buruk. Mengapa Nabi berkelas super karena pesan-pesan yang disampaikannya diikuti oleh jutaan manusia selama ribuan tahun. Walaupun Sigmun Freud tidak percaya kepada Tuhan dan Alfred Adler tidak dapat merumuskan konsep metafisika ketuhanan di dalam candra jiwanya namun Alfred Adler secara jujur mengakui adanya dampak positif peranan agama di dalam kehidupan masyarakat. Freud menganggap penghormatan seorang manusia kepada agama adalah  mirip dengan penghormatan seorang anak terhadap bapaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari ditemukan banyak pengalaman hidup. Ada beberapa hal yang mungkin dapat kita pakai  sebagai pegangan atau panduan hidup. Jika kita merasa bahwa hati nurani sudah benar dan pasti maka perbuatan yang baik dapat dan harus dilakukan dan perbuatan buruk harus dielakkan. Sekiranya keyakinan kita bahwa hati nurani belum jelas benar kepastiannya maka harus dipilih perbuatan yang minimalis/minus-malum yaitu perbuatan yang paling sedikit keburukannya. Jika menyangkut penyakit, bencana alam/peperangan dan kematian maka keselamatan nyawa harus didahulukan.

Mengapa Hati Nurani Dapat Menjadi Jahat?
Hati Nurani adalah candra manusia dan candra dunia karena berkembang dalam pertemuannya dengan dunia luar (tempat bercampurnya kenyataan baik, buruk dan kejahatan) serta dunia dalamnya manusia (sentra-sentra vitalitas) baik yang sadar maupun yang tidak sadar. Hati Nurani disimpan dalam angan-angan manusia dalam arti sempit yang bersifat asadar, tetapi berbeda tempat dengan nafsu-nafsu yang juga bersifat asadar. Hati Nurani dapat dikatakan sebagai lapis dalam dari dunia aku, dan dapat merekam warisan kuno yang disampaikan secara turun temurun sebagai konsep yang disebut filogenetis. Menjadi jelas bahwa ia memiliki sumber kejahatan yang didapat dari pertemuannya dengan dunia nyata di dalam masyarakat. Kardiologi kuantum juga menganggap hati nurani   sejajar dengan konsep Superego (Freud), Rasa Kemasyarakatannya Adler, dan Persona-nya Jung.
Bagian terdalam dari manusia setelah hati nurani adalah suatu alam sejati ialah pusat imateri sebagai pusat kebenaran. Hati nurani secara “pasif” artinya dapat memohon saja tetapi tidak dapat memaksa untuk mendapat informasi yang benar dari Sang Kebenaran itu sendiri. Jelas bahwa Hati nurani bukan Sang Kebenaran, yang paling benar. Ada interaksi psikis antara dunia aku dengan dunia luar, dan karena pengaruh-mempengaruhi ini yang berupa kontak dan pertemuan, maka berkembanglah angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsu. Bertumpuk-tumpuklah pengalaman orang dan masyarakat. Orang yang mengalami beribu-ribu kejadian, beribu-ribu suka dan duka, mengumpulkan bahan untuk membentuk suatu konsepsi dan gambaran bagaimana ia harus hidup dan bagaimana ia harus  memandang dunia sekitarnya. Ia membentuk suatu candra manusia dan suatu candra dunia. Candra dunia dan candra manusia ini menjadi pedomannya, polanya, bagaimana ia harus menolong dirinya sebaik-baiknya, apa yang harus ia perbuat untuk menyelamatkan eksistensinya dan keseimbangannya. Candra dunia dan candra manusia ini ialah hati nuraninya.
Ada automatisme di dalam diri manusia, yang terjadi karena penerangan angan-angan oleh hati nurani. Automatisme ini seolah-olah meletakkan kaca di muka angan-angan kita sendiri, perasaan dan keinginan kita sehingga kita dapat melihat sendiri keadaan kita yang rusak. Kaca ini adalah ’kaca ajaib’, sebab kekurangan yang dilihat itu di satu pihak selalu cukup besar untuk menyuruh orang menyadari diri dan mendorong dia berbuat, tetapi di pihak lain tidak cukup besar untuk membuat dia berputus asa atau untuk dirasakan sebagai trauma.
Menjadi sadarnya perbedaan antara gambaran keadaan diri pada suatu ketika dengan gambaran yang dari hati nurani, menimbulkan rasa bersalah yang harus ditebus dengan salah satu cara. Penebusan dosa berupa keharusan untuk mengarahkan diri, menyerahkan diri, mengorbankan diri kepada candra manusia idealnya, yang mempunyai kewibawaan tertentu. Rasa berdosa ini adalah pencurahan rasa tanggung jawab, yang memancar dari hati nurani.
Demikianlah Kardiologi Kuantum berusaha mengupas tentang hati nurani yang statusnya asadar merupakan hasil interaksinya dengan dunia luar, informasi  turun-temurun yang filogenetis, bahkan  kemungkinan adanya intervensi dari Sadar Kolektif Dinamis di dalam pusat imateri berupa suatu intuisi atau ilham. Terima kasih dan Salam Kuantum.

 Hati nurani dalam status asadar terletak diantara 3-sentra vitalitas (IAngan-angan, IIPerasaan, dan IIINafsu-nafsu) dan sentra vitalitas ke-IV adalah IVTripurusa sebagai pusat imateri. TreFoil, TriAspect (Tripurusa), merupakan pusat hidupnya Alam Sejati di dalam diri manusia. Ketiga aspek tersebut adalah TheSource (Suksma Kawekas) sebagai aspek (sadar kolektif) statis; sumber hidup dan asal mula hidup, TheForce (Suksma Sejati) adalah aspek dinamis; yang meng-hidup-i, dan TheSelf yang di-hidup-i. (Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012)

Budhi S Purwowiyoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar