pita deadline

pita deadline

Kamis, 31 Oktober 2013

Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi Koroner Perkutan Primer

INTERVENSI koroner perkutan primer (IKPP) secara signifikan mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien infark miokard elevasi segmen ST (IMEST) dibandingkan dengan pemberian trombolisis dan lebih disarankan untuk tindakan  reperfusi.
Panduan klinis menyebutkan bahwa lama rawat di rumah sakit pasien yang dirawat dengan IKPP oleh sebab IMEST berkurang oleh karena penurunan komplikasi post infark yang dini (seperti aritmia, gagal jantung, iskemia rekuren dan kematian) serta memperbaiki stratifikasi risiko pasien IMEST, tidak terdapat rekomendasi mengenai durasi rawat inap yang tepat post tindakan IKPP.
Beberapa studi menunjukkan aman untuk memulangkan pasien IMEST dalam waktu tiga atau empat hari setelah dilakukannya IKPP. Walau demikian, studi yang menilai keamanan dan kelayakan rawat inap yang singkat setelah IKPP sangatlah sedikit dan kurangnya nilai kekuatan penelitiannya.
Dilakukanlah studi oleh Noman et al. untuk menilai keamanan rawat jalan yang singkat pada pasien IMEST yang telah dilakukan IKPP dengan menganalisis mortalitas dini dan jangka panjang setelah pasien dirawat jalan.
Analisis restrospektif dari 2448 pasien IMEST yang dilakukan IKPP yang selamat sampai pasien dirawat jalan. Mortalitas oleh sebab apapun setelah dirawat jalan dilaporkan pada hari 1, 7 dan 30 serta follow up jangka panjang. Total 1542 pasien (63%) dirawat jalan dalam dua hari (kelompok rawat jalan dini) dan 906 pasien (37%) setelah dua hari (kelompok rawat jalan lanjut).
Kedua kelompok, tidak terdapat kematian pada hari 1 setelah dirawat jalan. Mortalitas kelompok rawat jalan dini dan lanjut muncul pada hari ke 7 dengan 0 dan 4 pasien (0.04%) dan diantara hari ke 7 dan 30 terdapat 11 (0.7%) dan 11 pasien (1.2%). Selama rerata follow up 584 hari, 178 pasien (7.3%) meninggal; 67 pasien pada kelompok rawat jalan dini (4.3%) dan 111 pasien pada kelompok rawat jalan lanjut (12.3%).
Seperti yang diprediksikan, kelompok rawat jalan dini dan lanjut berbeda dalam banyak hal yang dapat diprediksikan dalam beberapa harapan hidup. Sebagai contoh, kelompok rawat jalan dini lebih banyak  terdapat pada usia muda dan sedikit komorbid serta sedikit penyakit kompleks dan IKPP dilakukan lebih sering pada radial. 
Panduan klinis mengenai manajemen IMEST menyebutkan bahwa lama rawat yang singkat (kira-kira 72 jam) sangat beralasan pada pasien dengan risiko rendah walau bukti klinis sangatlah terbatas.
Studi ini menyimpulkan bahwa rawat jalan dini (dalam 2 hari) adalah aman dan laik pada pasien-pasien dengan risiko rendah. Rawat jalan dini juga mungkin membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan di setiap instansi kesehatan. (Eur H Journal: Acute Cardiovasc Care; 2013: 2(3): 262-9)
SL Purwo

Galeri Foto

Acara Pelepasan Dokter Spesialis Kardiovaskular, pada 24 September 2013 bertempat di RSJPD Harapan Kita Jakarta

 

Kardiologi Kuantum (22): Tri Hita Karana, Pemali, dan Asketisme Kurban

“The ideas of the moral order and of God belong to the ineradicable substrate of the human soul.” ~C.G. Jung, Dreams~ 

Salam Kardio. Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka konferensi internasional Tri Hita Karana Pembangunan Berkelanjutan yang berfokus pada pariwisata, sebagai bagian aktivitas KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, Minggu siang. Selanjutnya ANTARA News memberitakan bahwa “Tri Hita Karana adalah filosofi masyarakat Bali di mana manusia harus menjaga tiga elemen keharmonisan, yaitu manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, jika ketiganya tercapai maka kemakmuran akan terwujud,” kata Yudhoyono. 
Pariwisata dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata —salah satu tiga pilar yang diusung Indonesia— menarik perhatian para anggota ekonomi KTT APEC 2013. Isu ini cukup sentral karena bisa mendorong berbagai sektor lain bergerak bersama. Disayangkan, ketiga elemen Tri Hita Karana itu, belum bisa diseimbangkan saat ini. Beberapa aktivitas perekonomian masih berbenturan dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Presiden RI menyerukan setidaknya ada empat aksi bersama yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan elemen tersebut, terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. 
Pertama, negara-negara harus siap beradaptasi dan berkembang menghadapi perubahan yang ada, terutama dalam hal lingkungan hidup. Kedua, negara-negara harus jujur dalam mengenali kekuatan dan kekurangan dalam menghadapi isu lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga, negara-negara harus mempercepat integrasi antara kebutuhan lingkungan yang lestari terhadap strategi pembangunan. Keempat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain harus menjalin kerjasama. “Kurangi persaingan geopolitikal yang ada, keempat aksi bersama itu dapat diterapkan dalam sektor pariwisata sehingga generasi mendatang masih dapat menikmati keindahan alam yang sekarang ada,” kata Presiden. 
Pemali, adalah larangan-larangan yang seyogyanya diikuti oleh manusia untuk dicegah karena akan menyebabkan rusaknya lingkungan, ketidak harmonisan hubungan sesama manusia dan akhirnya manusia akan semakin jauh dari Tuhannya. Ajakan hidup sehat sebenarnya sudah mengandung larangan untuk tidak memanfaatkan hasil bumi yang merusak tubuh seperti tembakau untuk merokok, ganja dan kokain untuk mabuk-mabukan termasuk alkohol yang seyogyanya bermanfaat untuk sektor kesehatan malah digunakan untuk merusak tubuh. Ketika minuman yang memabukkan itu dipakai oleh pengendara mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang kerap kali merenggut banyak nyawa. Kenyataannya masih saja harus dibuat aturan-aturannya agar diikuti dan disertai dengan ancaman-ancaman bila melanggarnya. 
Setiap negara tentu saja memiliki undang-undang yang mengatur tentang hubungan manusia dengan lingkungannya untuk menjaga kelestarian kehidupan bersama. Peraturan-peraturan daerah banyak diterbitkan untuk mengatur ulah manusia tentang bagaimana harus membuang sampah serta masalah kebersihan lainnya. Dilarang merokok di tempat-tempat umum, di pompa-pompa bensin bahkan tentang bahaya merokok sudah dicantumkan di bungkus rokoknya itu sendiri. Kenyataannya manusia masih banyak yang melanggarnya dengan semua konsekwensinya. Melanggar undang-undang negara dan segala peraturannya adalah persoalan yang luas, mulai yang sederhana sampai yang serius seperti keinginan untuk melepaskan diri dari suatu negara. Sebaiknya setiap warga negara mematuhi undang-undang dan peraturannya agar tercapai harmoni diantara warga negara dengan pemerintahannya yang memang mendapat amanah untuk melindungi warga negaranya dengan peraturan yang adil, seadil-adilnya. 
Pemali yang paling mudah dilanggar didalam kehidupan bermasyarakat adalah cekcok yang berkelanjutan. Jaman sekarang percekcokan dari hal-hal yang sepele sering menjadi tawuran. Masih di bulan Oktober 2013 ketika tulisan ini dibuat tawuran antara pelajar sekolah bukan lagi dengan senjata tajam dan tumpul diantara mereka, sudah ada yang menyiramkan air keras ke bus yang sedang berjalan dan berakhir dengan korban anggota masyarakat umum. Tentu saja pelakunya ditangkap aparat keamanan untuk diminta pertanggung jawabannya di depan hukum. Percekcokan tersebut akan lebih indah bila itu dilakukan di dalam forum-forum diskusi yang terpimpin dan dikelola dengan baik. Percekcokan yang lebih keras diselesaikan dan disalurkan dalam olah raga bela diri, tinju, dan olahraga yang dinamis lainnya seperti badminton, tenis dan sebagainya. 
Jenis pemali unik yang tidak kalah pentingnya di lingkungan kita yang akhir-akhir ini menjadi marak adalah pelampiasan hawa nafsu luamah (sahwat, seks) terhadap lawan jenis. Sebenarnya pelampiasan hawa nafsu ini menjadi “lumrah” ketika dilaksanakan dalam koridor pernikahan. Pernikahan yang indah bukan karena diselenggarakan dengan penuh kemewahan tetapi justru karena kesederhanaannya. Cinta yang dibangun antara laki-laki dan perempuan, direstui oleh kedua orangtua dari kedua fihak yang terlibat dan disahkan oleh peraturan agama dan atau negara. Pengesahan oleh peraturan negara menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan ada yang mengasuhnya secara hukum sehingga masih terlindungi oleh hukum ahli waris sekiranya orang tuanya meninggal dunia. 
Tidak hanya artis yang kurang berhati-hati dalam hal sahwat bahkan orang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi sampai mereka yang tergolong pendeta dan ulama. Ada kalanya ketidakhati-hatiannya itu berakhir diujung kematian akibat penyakit HIV Aids, lebih sulitnya lagi HIV Aids jaman sekarang dapat ditularkan juga di luar hubungan seksual. Sekiranya perserongan tersebut menghasilkan anak-anak yang memiliki masalah hukum bukan karena kesalahannya sendiri, semoga anak-anak tersebut masih mendapatkan kasih sayang yang memadai dan pendidikan yang mencukupi dari yang terlibat. Masyarakat akan ikut menderita sekiranya banyak anak-anaknya yang dilahirkan dengan proses yang menyimpang tersebut. Ambil contoh di kampung-kampung ibukota yang dihuni oleh turis-turis hitam dari benua Afrika dan kebetulan terdapat banyak anak-anak kecil yang kulitnya hitam legam padahal kedua orang tua mereka berkulit sawo matang, apakah kita masih dapat tersenyum? 
Dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan akan terlihat harmonis apabila tercapai kesepakatan secara sukarela diantara manusia untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sangat menyedihkan ketika melihat dalam surat kabar cetak maupun elektronik dalam satu agama saja ketika beribadah dipisahkan oleh sekat padahal sukunya sama dan menyebut nama Tuhannya dalam istilah yang sama pula. Sudah terlalu banyak konflik SARA yang secara kebetulan kita ketahui. 
Asketisme kurban. Masih di bulan yang sama, ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya di akhir tulisannya merenungkan spirit berkurban pada Idul Adha tahun ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan bangsa, agar kehidupan kembali menemukan adabnya. Bukankah semangat berkorban yang diteladankan manusia pergerakan yang membuat Republik ini bisa keluar dari jerat kolonialisasi? Berkorban bukan hanya benda, raga, bahkan nyawa. 
Termasuk berkorban dengan menjatuhkan pilihan hidup asketik. Hatta yang tidak terbeli sepatu Bally, Natsir yang jasnya robek, Bung Karno yang masih punya utang 80 gulden kepada Karim Oei, Agus Salim yang hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lain sampai akhir hayatnya, Syahrir yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang berganti pakaian, dan lain sebagainya. Kepada mereka, penghormatan tulus segenap rakyat dipersembahkan. Kepada keluhuran budi, sikap jujur, akal sehat, gaya hidup yang halal, dan satunya kata dengan perbuatan. Mereka dengan gemilang telah sukses menyembelih “hasrat kebinatangan” ketika diberi amanah menjadi penyelenggara negara. Walaupun mereka tidak berkali-kali naik haji, tidak terlampaui fasih melapalkan teks kitab suci. 
Demikianlah hubungan antara manusia dengan lingkungan, antar sesamanya dan kebaktiannya kepada Tuhan YME seperti yang terasa dalam Tri Hita Karana masih memerlukan penjelasan. Menjadi lebih jelas ketika disandingkan dengan konsep Pemali yang berlawanan itu dan diakhiri dengan semangat menyembelih “hasrat kebinatangan” manusia ketika berhubungan dengan sesamanya. Salam Kuantum. 
Budhi S. Purwowiyoto

Application submitted to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® in treatment of deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and prevention of recurrent DVT and PE

  • Data show Pradaxa® is as effective as the standard of care while offering safety advantages in the treatment of acute and the prevention of recurrent DVT and PE1,2,3
  • Pradaxa® is already approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement or total knee replacement surgery4
  • In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide5

Ingelheim, Germany, June 24, 2013 – Boehringer Ingelheim today announced the submission of an application to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® (dabigatran etexilate) for the treatment of acute deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and the prevention of recurrent DVT and PE.*
 






Professor Klaus Dugi, 
Corporate Senior Vice President Medicine, 
Boehringer Ingelheim




“Given the risk of potentially fatal consequences and recurrences of a deep vein thrombosis or pulmonary embolism, there is a need for safe and effective therapies to improve outcomes for patients,” said Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Our studies have demonstrated that Pradaxa® offers an effective treatment with significant safety benefits compared to warfarin both for acute treatment as well as in the long-term prevention of recurrent events. We are convinced that this treatment option can provide benefits to patients with acute DVT or PE, or those at risk of recurrent DVT and PE.”
The EMA submission is based on the results of four global Phase III studies investigating the efficacy and safety of Pradaxa® in the treatment of acute DVT and PE and in secondary prevention of recurrent DVT and PE.1,2,3 In these studies, Pradaxa® was proven to be as effective as warfarin, with lower rates of clinically relevant bleeding (which includes major bleeding) and total bleeding for patients with DVT or PE.1,2,3 When compared to placebo, Pradaxa® prevented nine out of ten episodes of recurrent DVT and PE.1 The results of the RE-COVER®, RE-MEDYTM and RE-SONATE® studies have been published in the New England Journal of Medicine.1,2 All studies are part of the extensive RE-VOLUTION® clinical trial programme investigating Pradaxa® in multiple indications.
Pradaxa® is already widely approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement and total knee replacement surgery.4 In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide.5
Pradaxa® is currently not approved for the acute treatment or prevention of recurrent DVT and PE.

SPONSORED ARTICLE
References

  1. Schulman S, et al. Extended Use of Dabigatran, Warfarin or Placebo in Venous Thromboembolism. N Engl J Med. 2013;368:709-18.
  2. Schulman S, et al. Dabigatran versus Warfarin in the Treatment of Acute Venous Thromboembolism. N Engl J Med. 2009;361:2342-52.
  3. Schulman S, et al. A Randomized Trial of Dabigatran Versus Warfarin in the Treatment of Acute Venous Thromboembolism (RE-COVER II). 2011;118: Oral presentation from Session 332: Antithrombotic Therapy 1. Presented on 12 December at the American Society of Hematology (ASH) Annual Meeting 2011.
  4. Pradaxa® European Summary of Product Characteristics 2013.
  5. Boehringer Ingelheim. Data on file.

Nefropati Terkait Warfarin

PENINGKATAN kreatinin serum > 0.3mg/dl pada pasien dengan pemberian warfarin serta nilai INR > 3 disebut dengan nefropati terkait  warfarin (WRN).
Studi pertama mengenai WRN adalah studi biopsi ginjal pada pasien koagulopati warfarin yang berkembang menjadi AKI tanpa penyebab yang jelas. Temuan biopsi ginjal mengindikasikan AKI disebabkan oleh perdarahan glomerulus yang luas menyebabkan obstruksi akibat terbentuknya silinder sel darah merah.
Studi lainnya yang menggunakan 103 pasien CKD yang diobati dengan warfarin dengan INR > 3, ditemukan 37% pasien mengalami peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pasien-pasien tersebut mengalami perburukan CKD.
Studi kohort lainnya juga memperlihatkan 4006 pasien dengan INR > 3, 20.5% akan berkembang menjadi WRN (peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl dengan INR > 3 tanpa adanya bukti perdarahan).
WRN dihubungkan dengan penurunan angka harapan hidup, sesuai dengan beberapa laporan sebelumnya tentang peningkatan nilai mortalitas pada pasien hemodialisis kronis yang diberikan warfarin. Nilai mortalitas dihubungkan dengan komorbid lainnya seperti diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler.
Beberapa mekanisme terjadinya WRN diantaranya pengobatan dengan obat yang cenderung meningkatkan tekanan hidrostatik glomerular dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Sebagai tambahan, terapi tambahan aspirin juga dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Kedua temuan tersebut konsisten menyatakan bahwa terjadi perdarahan glomerulus yang menyebabkan obstruksi tubulus yang mungkin menjadikan mekanisme dominan terjadinya AKI terkait WRN.  
Warfarin digunakan secara luas sebagai anti koagulan untuk mengobati komplikasi thrombosis. Sekarang ini, lebih dari 30 juta penggunaan resep untuk warfarin setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Banyak studi memperlihatkan bukti yang nyata bahwa koagulopati warfarin dihubungkan dengan peningkatan substansial risiko AKI dan mortalitas akut, terutama pasien CKD. Mekanisme yang pasti mengenai pathogenesis terjadinya WRN ini belumlah jelas, dibutuhkan studi lebih lanjut. (Kidney International 2011; 80: 181-9)
SL Purwo

Keamanan Penggunaan Ivabradin IV pada Pasien IMAEST dengan IKPP: Studi Awal

TAKIKARDIA merupakan masalah tersering yang muncul pada keadaan akut dari infark miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST), dimana dihubungkan dengan aktivasi sistem saraf simpatis akibat nyeri atau sebagai fenomena kompensasi dari komplikasi gagal jantung akut.
Hal tersebut dapat meningkatkan imbalans diantara tersedianya oksigen terhadap daerah yang berisiko (kekurangan oksigen akibat oklusi dari arteri yang mengalami infark) dan kebutuhan oksigen miokard, dimana keduanya memainkan peranan penting.
Sehingga diperlukan obat penurun denyut jantung, secara teori yang sangat menonjol dan diperlukan karena sudah terbukti di studi-studi klinis adalah penggunaan beta blocker, dimana obat tersebut dapat mengurangi daerah luasnya infark dan menurunkan mortalitas kardiovaskular.
Walau demikian, beberapa studi tidak memperlihatkan hal serupa, studi COMMIT (Clopidogrel and Metoprolol In Myocardial Infarction) tidak memperlihatkan penurunan pada mortalitas. Lainnya, penggunaan awal beta blocker intravena dihubungkan dengan mortalitas awal, terutama pada pasien gagal jantung akut dengan peningkatan risiko syok kardiogenik.
Obat penurun denyut jantung mempunyai efek terhadap tekanan darah dan fungsi ventrikel seperti ivabradin mungkin memiliki peranan pada keadaan ini. Dilakukanlah studi VIVIFY (eValuation of the IntraVenous If inhibitor ivabradine after ST-segment elevation mYocardial infarction) dengan tujuan primer untuk mengetahui efek ivabradin intravena terhadap denyut jantung dan parameter hemodinamik setelah tindakan intervensi koroner perkutan (IKP).
Sementara tujuan sekunder berupa untuk menilai keamanan dan toleransi ivabradin terhadap keadaan ini, serta efek penurunan denyut jantung terhadap luasnya infark.
Studi ini merupakan studi multisenter, dengan pasien usia 40 – 80 tahun yang dirandomisasi setelah sukses dilakukan IKPP dalam enam jam onset IMAEST. Pasien dalam keadaan sinus ritme dan denyut jantung > 80 kali per menit, tekanan darah sistolik > 90 mmHg.
Dikelompokkan dalam 2 kelompok (rasio 2:1) yaitu kelompok ivabradin intravena (n = 82) (5mg bolus selama 30 detik, diikuti 5mg infus selama 8 jam) atau kelompok placebo (n = 42). Keluaran prmier berupa denyut jantung dan tekanan darah. Pada kedua kelompok, denyut jantung mengalami penurunan dalam 8 jam, dengan kecepatan penurunan yang nyata pada kelompok ivabradin dibandingkan placebo (22.2 ±1.3 vs 8.9±1.8 bpm, p < 0.0001).
Selama studi berlangsung tidak terdapat perbedaan tekanan darah pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan penanda biologis jantung (CKMB, troponin T dan I). ekokardiografi dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel, didapatan volum ventrikel kiri lwbih kecil pada kelompok ivabradin baik untuk volum akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDV) (87.1±28.2 vs 117.8±21.4 cc, p = 0.01) dan volum akhir sistolik ventrikel kiri (LVESV) (42.5±19 vs 59.1±11.3cc, p = 0.03) tanpa perbedaan pada perubahan volum atau fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Dapat ditarik kesimpulan, ivabradin intravena mungkin mempunyai nilai potensial untuk IMEST, dengan menurunkan denyut jantung tanpa menurunkan tekanan darah atau hemodinamik. (Eur H Jour: Acute Cardiovasc Care 2013; 2(3): 270-9)
SL Purwo

PMCA: Target Potensial Terapi Kardiovaskular Masa Depan

BARU-baru ini, di RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, telah diselenggarakan guest lecture (kuliah tamu) dengan materi yang cukup menarik berjudul Fixing the Broken Heart: Targeting the Membran Calcium Channel. Kuliah tamu ini menampilkan dr. Delvac Oceandy, Ph.D sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan pada hari Jumat, 20 September 2013 pagi di Ruang Konferensi RSJPD Harapan Kita dan cukup menarik perhatian para residen serta staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Pihak Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI bukan tanpa alasan dalam mengundang sang pembicara. Di samping temanya yang cukup menggelitik dan berkaitan dengan masalah dasar fisiologi kardiovaskular, sang pembicara juga tidak kalah “menggelitik”. Pria muda asli Indonesia ini memang punya prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Beliau adalah penerima penghargaan Highest Scoring Abstract Presented dari European Society of Cardiology (ESC) pada ajang ESC Annual Congress di Munich pada tahun 2012, Young Investigator Award 1st Winner dari organisasi yang sama pada tahun 2006, dan Eumorphia Young Scientist Communication Award pada 2006.1
Pada acara ini sempat dipaparkan peran PMCA (plasma membrane Ca2+-ATPases) dalam bidang kardiovaskular. Paparan tersebut sekaligus menanggapi pertanyaan sederhana tetapi berbobot dari Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, Sp.JP (K), FIHA tentang perbedaan PMCA1 dan PMCA4 (isoform-isoform dari PMCA) menjelang akhir acara. Pembicara menjelaskan bahwa PMCA1 dan PMCA4 memiliki lokasi yang berbeda pada membran sel serta efek-efek seluler yang berbeda pula. Topik biomolekuler yang cukup menarik ini telah menggugah penulis untuk mengangkatnya pada artikel pendek ini.
PMCA adalah suatu protein transporter membran plasma semua sel eukariot dan berfungsi untuk mengeluarkan ion kalsium dari sitoplasma ke kompartemen ekstraseluler.2-5 Dengan perannya sebagai pompa kalsium tersebut, PMCA menjadi salah satu regulator utama konsentrasi ion kalsium intraseluler.3,6 PMCA sendiri sebenarnya memiliki empat isoform yaitu PMCA1 sampai dengan PMCA4. Isoform-isoform tersebut diekspresikan di banyak organ, termasuk jantung, saraf, otot, dan sel astrosit otak.7,8 Dua isoform dari PMCA yang berperan penting terhadap regulasi fisiologis sistem kardiovaskular adalah PMCA1 dan PMCA4, khususnya subtipe PMCA4b yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan enzim nitric oxyde (NO) synthase. Interaksi ini akan menyebabkan berkurangnya produksi NO oleh enzim tersebut.3,9 Sedangkan dua isoform lainnya, PMCA2 dan PMCA3, karena bersifat lebih cepat teraktivasi, banyak terdapat pada sel yang eksitabel seperti sel saraf dan sel otot.7
Dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Delvac Oceandy, dkk dapat disimpulkan bahwa, di sel-sel yang eksitabel (seperti sel otot jantung dan otot skelet), PMCA dianggap mempunyai peran minor dalam homeostasis kalsium (yaitu regulasi konsentrasi global kalsium intraseluler) bila dibandingkan dengan pompa NCX (sodium-calcium exchanger), suatu sistem pompa pemindah ion kalsium yang lain.5,10 Namun, ada bukti yang menunjukkan peran penting PMCA dalam transduksi sinyal. Contoh secara khusus, di aspek fisiologi jantung, adalah modulasi jalur penyinyalan nNOS (neuronal NO synthase) oleh PMCA4b.10 Selain itu, bukti mutakhir juga menunjukkan fungsi penting PMCA dalam memerantarai kontraktilitas jantung dan tonus vaskular.5
Sebagai target penemuan obat baru, bila dibandingkan dengan kanal influks ion kalsium, PMCA masih tertinggal jauh. Hal ini terutama karena kurangnya pemahaman mendetail tentang struktur dan fungsi spesifiknya.4
Dugaan adanya peran penting PMCA pada jaringan jantung mencakup keterlibatannya pada patofisiologi hipertensi dan hipertrofi. Peran PMCA pada hipertensi terutama berdasarkan pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan nNOS, zat yang telah terbukti berperan pada siklus eksitasi-kontraksi miosit jantung (Barouch et al., 2002; Sears et al., 2003). Interaksi ini diperantarai oleh pengikatan domain PDZ.11 PDZ sendiri adalah domain interaksi protein yang sering mengenali motif-motif asam amino rantai pendek pada ujung C protein-protein target.12 Bukti-bukti menunjukkan bahwa inhibisi nNOS (enzim yang tergantung ion kalsium dan kalmodulin) disebabkan karena ia disekuestrasi oleh PMCA pada lingkungan yang rendah kalsium. Bukti-bukti itu meliputi: 1) inhibisi tidak muncul jika yang diuji adalah mutan-mutan nNOS; 2) inhibisi juga tidak muncul jika yang diuji adalah PMCA4b yang sedikit memiliki domain PDZ; dan 3) ekspresi berlebihan PMCA4b yang mengalami mutasi pada Asp672Glu (sehingga mengurangi aktivitas pompa sebesar kira-kira 90%) ternyata tidak menyebabkan inhibisi nNOS. Bagaimanapun, peran PMCA pada hipertensi ini masih memerlukan penelitian lebih jauh.11
Selain PMCA4b, isoform lain, PMCA1, juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi. Ketiadaan PMCA1 pada mencit percobaan menyebabkan peningkatan ion kalsium basal, peningkatan ion kalsium (karena stimulasi epinefrin) pada sel-sel otot polos vaskular, vasokonstriksi arteri, dan peningkatan tekanan darah sistolik pada kondisi istirahat. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya ekspresi dan fungsi PMCA1 pada pembuluh darah adalah faktor risiko terjadinya hipertensi.4
Adapun kontribusi biomolekuler PMCA pada proses hipertrofi adalah terkait perannya dalam menghambat aktivasi nuclear factor of activated T-cell (NFAT). Peningkatan level kalsium intraseluler yang lama dalam miosit jantung akan menimbulkan hipertrofi. Peningkatan jangka panjang dari ion kalsium-kalmodulin intraseluler ini akan mengaktifkan kalsineurin yang kemudian mendefosforilasi faktor transkripsi NFAT sehingga mengaktifkan NFAT (Molkentin et al., 1998). Aktivitas PMCA4b yang meningkat akan menyebabkan rekrutmen kalsineurin ke membran plasma (suatu lingkungan rendah kalsium) sehingga menghambat aktivasi NFAT.11
Tidak hanya itu, ternyata PMCA juga punya peran penting pada salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yaitu diabetes melitus (DM) tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis dimana terjadi peningkatan ion kalsium di berbagai tipe sel termasuk platelet (Balasubramanyam et al., 2001; Li et al., 2001). Peningkatan kalsium intraseluler ini akan menyebabkan agregasi dan hiperaktivitas platelet dan turut berkontribusi pada terjadinya komplikasi kardiovaskular kronis (Carr, 2001). Terjadi pula penurunan signifikan protein PMCA bersamaan dengan peningkatan level fosforilasi tirosin pada residu 76 (Rosado et al., 2004), suatu peristiwa fosforilasi yang menghambat aktivitas pompa kalsium tersebut (Wan et al., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa PMCA terlibat dalam aktivasi platelet dan jumlahnya yang menurun turut berperan pada terjadinya komplikasi berat akibat DM tipe 2.11
Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa ketidaktepatan ekspresi, mutasi, dan ketiadaan PMCA terkait dengan kondisi-kondisi patologis seperti hipertensi, rendahnya densitas tulang, infertilitas pada laki-laki, berkurangnya pendengaran, serta ataksia serebelar.4
Dari paparan di atas dapat diketahui adanya dua hal penting yaitu: 1) mekanisme kerja PMCA dalam pencegahan kondisi-kondisi patologis kardiovaskular; serta 2) dampak negatif abnormalitas biomolekuler PMCA pada sistem kardiovaskular (bahkan sistem organ lain). Kedua hal tersebut telah menjadikan PMCA suatu target potensial terapi kardiovaskular di masa mendatang. Kuncinya adalah dengan memodulasi isoform-isoform PMCA secara selektif lewat penemuan suatu aktivator atau inhibitor spesifik PMCA.4 Saat ini, setelah lebih dari 50 tahun sejak PMCA ditemukan pertama kali pada membran sel darah merah, studi-studi lebih mendalam pada aspek biokimiawi, seluler, serta fisiologinya terus dilakukan demi menemukan terobosan baru dalam terapi kardiovaskular.3 Semoga kelak upaya-upaya ini membuahkan hasil yang bermanfaat bagi umat manusia.
Andy Kristyagita

REFERENSI:
  1. http://www.cardiovascular.manchester.ac.uk/staff/delvacoceandy.
  2. Jensen TP, Buckby LE, Empson RM. Expression of plasma membrane Ca2+-ATPase family members and associated synaptic proteins in acute and cultured organotypic hippocampal slices from rat. Brain Research. Developmental Brain Research. 2004; 152(2): 129–36.
  3. Strehler EE, Zacharias DA. Role of alternative splicing in generating isoform diversity among plasma membrane calcium. Physiological Reviews. 2001;  81(1): 21–50.
  4.  Strehler EE. Plasma membrane calcium ATPases as novel candidates for therapeutic agent development. J Pharm Pharmaceut Sci. 2013; 16(2): 190-206.
  5. Mohamed TM, Baudoin-Stanley FM, Abou-Leisa R, Cartwright E, Neyses L, Oceandy D. Measurement of plasma membrane calcium-calmodulin-dependent ATPase (PMCA) activity. Methods Mol Biol. 2010; 637: 333-42.
  6. http://www.phosphosite.org/proteinAction.do?id=2290&showAllSites=true.
  7.  Jensen TP, Filoteo A, Knopfel T, Empson RM. Pre-synaptic plasma membrane Ca2+ ATPase isoform 2a regulates excitatory synaptic transmission in rat hippocampal CA3. Journal of Physiology. 2006: Published online ahead of print. 17170045. Retrieved 2007-01-13.
  8. Fresu L, Dehpour A, Genazzani AA, Carafoli E, Guerini D. Plasma membrane calcium ATPase isoforms in astrocytes. Glia. 1999; 28(2): 150–5.
  9. Schuh K, Uldrijan S, Telkamp M, Rothlein N, Neyses L. The plasma membrane calmodulin–dependent calcium pump: a major regulator of nitric oxyde synthase. Journal of Cell Biology. 2001; 155(2): 201–5.
  10. Oceandy D, Stanley PJ, Cartwright EJ, Neyses L. The regulatory function of plasma-membrane Ca2+-ATPase (PMCA) in the heart. Biochem Soc Trans. 2007 Nov; 35(5): 927-30.
  11. Carafoli E, Brini M. Calcium signalling and disease: molecular pathology of calcium. Springer 2007; 370-2.
  12. Lee HJ, Zheng JJ. PDZ domains and their binding partners: structure, specificity, and modification. Cell Communication and Signaling. 2010; 8: 8. 

Dabigatran vs Warfarin pada Pasien dengan Katup Mekanik

PENGGANTIAN katup jantung prostetik direkomendasikan pada beberapa pasien dengan penyakit jantung katup yang berat dan dikerjakan pada beberapa ratusan ribuan pasien di seluruh dunia setiap tahunnya.
Katup mekanik lebih tahan lama dibandingkan katup bioprostetik tetapi membutuhkan antikoagulan seumur hidupnya. Penggunaan antagonis vitamin K memberikan proteksi yang terbaik dalam menghindari komplikasi tromboemboli pasien katup jantung mekanik, tetapi membutuhkan restriksi pada makanan, alkohol dan obat-obatan serta pemantauan koagulasi seumur hidup.
Karena keterbatasan antagonis vitamin K, banyak pasien yang memilih menggunakan bioprostetik dibandingkan katup mekanik, walau risiko lebih tinggi pada gagalnya katup premature yang membutuhkan pengulangan operasi pada penggunaan katup bioprostetik.
Dabigatran etexilate merupakan preparat oral inhibitor thrombin secara langsung yang efektif sebagai antikoagulan pengobatan pasien fibrilasi atrium pada studi RE-LY. Berdasarkan data ini dan adanya hasil yang memuaskan pada studi binatang, dimana menunjukkan adanya keuntungan dabigatran dalam mencegah thrombosis katup, dilakukanlah studi RE-ALIGN.
Tujuan utama studi ini adalah untuk melakukan validasi preparat baru untuk pemberian dabigatran dalam mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik.
Studi validasi dosis fase dua, menggunakan dua kelompok, yang dilakukan penggantian katup aorta atau mitral dalam tujuh hari terakhir dan yang dilakukan penggantian paling tidak tiga bulan terakhir.
Pasien dikelompokkan secara random dengan rasio 2:1 utntuk diberikan dabigatran atau warfarin. Pemilihan dosis awal dabigatran (150, 220 atau 300 mg dua kali sehari) didasarkan atas fungsi ginjal.
Dosis disesuaikan untuk mendapatkan tingkat plasma yang palin sedikit 50 ng per milliliter. Dosis warfarin disesuaikan untuk mempertahankan rasio yang normal secara internasional sebesar dua sampai tiga atau 2.5 sampai 3.5 sebagai dasar risiko tromboemboli. Hasil akhir primer didasarkan pada tingkat plasma dabigatran.
Studi ini dihentikan secara premature setelah mendapatkan 252 pasien dikarenakan tinggi kejadian tromboemboli dan perdarahan di antara pasien yang menggunakan dabigatran. Pada analisa pengobatan, dosis penyesuasian atau penghentian dabigatran dibutuhkan pada 52 dari 162 pasien (32%).
Stroke iskemik atau tidak spesifik terjadi pada 9 pasien (5%) kelompok dabigatran dan tidak ada yang terkena pada pasien kelompok warfarin. Perdarahan mayor terjadi pada 7 pasien (4%) dan 2 pasien (2%). Semua pasien dengan perdarahan mayor terdapat perdarahan perikard.
Kebanyakan kejadian tromboemboli terjadi pada kelompok dabigatran populasi A (pasien yang memulai penggunaan obat ini dalam waktu 7 hari setelah operasi katup), sedikit kejadian pada populasi B (pasien dengan implantasi katup lebih dari 3 bulan sebelum randomisasi).
Kejadian perdarahan yang berlebihan di antara pasien yang mendapatkan dabiga-tran terjadi pada ke dua populasi tersebut. Kemungkinan yang mungkin adalah terjadinya peningkatan komplikasi tromboemboli dengan dabigatran termasuk ketidakadekuatan tingkat plasma dari obat tersebut dan mekanisme aksi yang berbeda dari warfarin.
Nilai plasma dabigatran populasi A lebih rendah selama beberapa minggu pertama setelah operasi dan penurunan nilai setelah operasi katup mungkin mencetuskan formasi awal dari sumbatan darah yang secara klinis tidak bermanifestasi sampai nantinya akan muncul manifestasinya.
Perbedaan mekanisme aksi dari dabigatran dan warfarin mungkin juga berperan dalam terjadinya thrombosis pada temuan studi ini. Pasien dengan fibrilasi atrium, terbentuknya thrombin di LAA pada aliran yang lemah, kondisi low-shear dimana pembentukan thrombin dipercaya sebagai pemicu stasis dan disfungsi endotel.
Pasien dengan katup jantung mekanik, aktivasi koagulasi dan pembentukan thrombin terjadi karena pelepasan faktor jaringan dari kerusakan jaringan selama operasi mungkin berperan sebagian dari risiko   tinggi komplikasi tromboemboli dini.
Sebagai tambahan, pembentukan trombi dapat dipicu oleh terpaparnya darah terhadap permukaan artifisial daun katup mekanik dan cincin jahitan, dimana menginduksi aktivasi jalur koagulasi.
Kebanyakan thrombin pada pasien dengan katup jantung prostetik nampaknya akan meningkat pada cincin jahitan, dimana tidak terjadi endoteliasisasi paling tidak selama beberapa minggu. Dipikirkan bahwa thrombin yang terbentuk pada cincin jahitan menjadi lebih sedikit trombogenik ketika jaringan endotel yang terbentuk di antaranya.
Warfarin lebih efektif dibandingkan darbigatran dalam menyupresi aktivasi koagulasi karena inhibisi aktivasi baik koagulasi yang terinduksi faktor jaringan (oleh inhibisi sintesis faktor koagulasi VII) dan koagulasi terinduksi kontak jalur oleh penghambatan sintesis faktor X dan thrombin pada jalur umum.
Hasil dari studi ini mngindikasikan dabigatran tidak sesuai sebagai obat alternatif warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli yang membutuhkan antikoagulan setelah implantasi katup jantung prostetik.
 Rivaroxaban telah berhasil diujicoba untuk tindakan prevensi komplikasi tromboemboli dihubungkan dengan katup jantung mekanik pada studi pre klinik, tetapi temuan klinis tidak menunjukkan bukti keamanan dan kefektifan pemberian dosis tersebut.
Sebagai kesimpulan, hasil dari studi fase ke dua mengindikasiakn dabigatran tidak seefektif seperti warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik dan dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan. Penggunaan dabigatran tidak memiliki nilai positif dan dihubungkan dengan peningkatan risiko pada pasen dengan katup jantung mekanik. (N Engl J Med 2013.DOI: 10.1056/NEJMoa1300615)
SL Purwo

Sabtu, 26 Oktober 2013

Depresi Pasca Serangan Jantung: Penting!!! dan... Terabaikan..

DEPRESI dan penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan dan ekonomi. Diperkirakan pada tahun 2020 kedua hal ini akan menjadi penyebab utama masalah global. Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari tiga orang akan mengalami depresi pasca serangan jantung. Di Indonesia belum terdapat data yang menyebutkan seberapa banyak pasien yang mengalami depresi pasca serangan jantung. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya perhatian terhadap keadaan ini khususnya dalam hal pengelolaan pasien pasca serangan jantung.
Gangguan depresi yang dialami pasien pasca serangan jantung berakibat terhadap gangguan proses pemulihan dan pengobatan, sehingga pemulihan menjadi lebih sulit dan lama dan meningkatkan resiko  rawat inap berulang, meskipun faktor resiko penyakit jantung lainnya telah ditangani dengan baik. Depresi pasca serangan jantung juga meningkatkan resiko kematian hampir 3x lipat. Depresi juga berhubungan dengan rendahnya kualitas hidup, terbatasnya aktivitas fisik, dan tingginya biaya pengobatan pasca serangan jantung. Guidelines ESC CVD prevention 2012 dan ACC/AHA secondary prevention 2012 merekomendasikan skreening dan pengelolaan depresi sebagai suatu tindakan prevensi yang penting (class IIa, LoE : A).
Tidak sulit untuk mengenali gejala-gejala depresi. Berbagai gejala depresi yang mudah dikenali diantaranya seperti:                 
  1. Merasa sedih atau sering menangis, kadang tanpa sebab yang jelas.
  2. Hilang atau turunnya motivasi dan gairah hidup dalam aktivitas sehari-hari
  3. Perubahan nafsu makan (makin besar atau hilang) dan perubahan berat badan (bertambah atau berkurang)
  4. Mudah tersinggung
  5. Merasa gelisah dan tak berguna
  6. Sulit berkonsentrasi
  7. Porsi tidur yang berlebihan atau bahkan menjadi sulit tidur
  8. Perasaan ingin bunuh diri.

Pasien dengan gangguan depresi biasanya mempunyai satu atau beberapa gejala tersebut, berlangsung hampir setiap hari selama 2 minggu atau lebih. Orang yang rentan terhadap depresi pasca serangan jantung diantaranya adalah:
  1. Kaum wanita
  2. Mereka yang sebelumnya suka menyendiri dengan hubungan sosial kemasyarakatan
  3. Mereka yang pernah mengalami depresi sebelumnya. Biasanya karena adanya tekanan ekonomi, tidak mempunyai pekerjaan, merasa rendah diri, dll.
  4. Mereka yang kurang mendapat dukungan emosi dari keluarga atau lingkungan sosial.
Oleh karena itu, skreening awal dapat diprioritaskan pada orang-orang tersebut.
Depresi dapat disembuhkan dengan berbagai intervensi psikososial, obat-obatan, program rehabilitasi maupun kombinasi antara ketiganya. Intervensi psikososial bertujuan untuk melawan stres psikososial dan meningkatkan kebiasaan hidup sehat. Intervensi dapat berupa konseling secara pribadi maupun berkumpul dengan kelompok yang memiliki faktor resiko dan keadaan sakit yang sama. Kegiatan konseling dapat membantu untuk mengenali dan mencegah pikiran-pikiran negatif lalu menggantikannya dengan pikiran-pikiran yang logis dan positif. Aktivitas fisik dan berkumpul dengan lingkungan sosial juga mempunyai peranan penting. Pikiran akan menjadi lebih baik bila sibuk dengan kegiatan yang menyenangkan ataupun melibatkan diri dalam kegiatan yang bersifat fun activities. Meningkatkan interaksi dengan orang lain serta berolahraga ringan dapat membuat anda merasa lebih baik dan termotivasi. Obat antidepresan yang dianggap efektif dan aman dapat digunakan yaitu selective serotonin re-uptake inhibitor (SSRI). Program rehabilitasi pasca serangan jantung akan memberikan manfaat tidak hanya dari segi perbaikan fisik tetapi juga memperbaiki kondisi mental dan mengendalikan depresi. Konsultasi dengan dokter spesialis jantung tentang jenis dan macam aktifitas atau olahraga yang tepat adalah penting.

Kesimpulan
Skreening dan pengelolaan depresi pasca serangan jantung, khususnya di Indonesia belum banyak mendapat perhatian. Acapkali pengelolaan penyakit jantung hanya terfokus kepada medika mentosa. Padahal, pengelolaan depresi menjadi salah satu komponen penting yang tidak dapat dipisahkan, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga mengurangi resiko rawat inap berulang bahkan kematian. Kesadaran masyarakat yang masih kurang turut berperan serta dalam hal belum optimalnya pengelolaan terhadap depresi pasca serangan jantung. Masih banyak yang beranggapan bahwa konsultasi dengan spesialis kedokteran jiwa ataupun psikiatri merupakan hal yang tabu. Oleh karena itu, skreening dan pengelolaan depresi pada pasien pasca serangan jantung harus dilakukan secara multidisipliner, tidak hanya melibatkan paramedis, tetapi juga dorongan dari lingkungan sekitar terutama keluarga.
Tahukah anda?
  1. Keadaan depresi dapat ditemukan sebanyak 20% dari keseluruhan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
  2. Keadaan depresi ditambah dengan berbagai kondisi penyakit kronis lainnya (termasuk penyakit kardiovaskular) dapat meningkatkan resiko hilangnya konsentrasi, tidak masuk atau berhenti dari pekerjaan sebanyak 2x lipat.
  3. Stres dapat menyebabkan tingginya tekanan darah dan gangguan irama jan-tung.
  4. Stres yang berkepanjangan akan meningkatkan aktivitas platelet, disfungsi endotel, menurunkan heart rate variability, dan meningkatkan aktivitas marker proinflamasi (seperti C-reactive protein) sehingga resiko penyakit kardiovaskular meningkat.
  5. Pasien dengan depresi pasca serangan jantung meningkatkan resiko kematian 5x lebih tinggi dalam 6 bulan dibanding pasien tanpa depresi. Dalam 18 bulan, kematian akibat penyakit jantung pada pasien depresi mencapai 20% (vs 3%) dibanding tanpa depresi
  6. Bagi yang tidak memilki penyakit jantung, depresi dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan terjadinya penyakit jantung koroner (73% lebih besar pada wanita, dan 71% lebih besar pada pria dibanding tanpa depresi).

M. Iqbal

Intervensi Konseling Perilaku untuk Promosi Diet Sehat dan Aktivitas Fisik sebagai Preventif Penyakit Kardiovaskular

BARU-baru ini U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) membuat rekomendasi (Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372. Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372) tentang intervensi konseling perilaku untuk diet sehat dan aktivitas fisik untuk prevensi kardiovaskular pada orang dewasa. Rekomendasi ini sebenarnya untuk memperbarui pernyataan mereka sebelumnya di tahun 2002 dan 2003 pada orang dewasa tetapi tanpa penyakit jantung koroner (PJK) atau tanpa faktor risiko. Tentu saja berdasarkan hasil penelitian mereka tentang pentingnya intervensi konseling yang bermakna pada pelayanan primer atau laporan pribadi pasien setelah melakukan diet kesehatan. Telaah tentang perubahan fisiologi menurunnya kadar lemak, tekanan darah, indeks massa tubuh, dan meningkatnya toleransi gula darah. Mereka juga mempelajari morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada populasi dewasa tanpa diketahui adanya PJK, hipertensi, hiperlipidemi, atau  diabetes.
Rekomendasinya memperhatikan kenyataan bahwa kuatnya hubungan antara PJK dengan diet sehat dan aktivitas fisik tidak serta merta meningkatkan peranan konseling perilaku pada lingkup pelayanan primer; justru peranannya kecil. Dokter dapat memilih secara selektif pasiennya daripada mengelompokkan konseling untuk seluruh orang dewasa dalam populasi umum. Pertimbangan lainnya termasuk memperhatikan faktor risiko lainnya, kesiapan pasien untuk berubah, bantuan dan peran serta masyarakat dalam mempersiapkan perubahan perilaku, serta adanya prioritas pelayanan kesehatan dan pelayanan preventif lainnya. Kerugiannya adalah termasuk kehilangan jenis pelayanan lainnya yang jelas memiliki dampak kesehatan yang lebih besar.
Kategori rekomendasinya C, artinya walaupun USPSTF menganjurkan secara selektif memberikan atau menyediakan pelayanan ini kepada pasien individual  berdasarkan keputusan profesional dan  kebutuhan pasien, tetapi sifat keyakinan kebenarannya hanya moderat saja; bahwa jumlah keuntungannya yang diharapkan juga kecil. Anjuran pada tingkat praktek pelayanan hanya mempertimbangkan kemungkinan lainnya yang memperkuat tawaran dan menyiapkan pelayanan pada pasien individual. Tentu saja ada catatan bahwa anjuran tersebut dapat direvisi dikemudian hari, saat anjuran ini disampaikan USPSTF mengikuti dengan seksama populasi dengan umur 18 tahun atau diatasnya.
Studi intervensi perilaku yang dianjurkan adalah intervensi dalam intensitas sedang atau tinggi, bukan intensitas rendah. Waktu pertemuan intensitas rendah (1-30 menit), sedang (31-360 menit), dan tinggi (>360 menit). Secara umum digambarkan sebagai intervensi intensitas rendah terdiri dari pengiriman materi sekali atau dua kali, pertemuan sesi pendek dengan dokter pelayanan primer atau orang yang terlatih. Intensitas sedang termasuk melakukan 3 sampai 24 sesi telpon atau sesi pribadi 1-8 kali. Pada intensitas tinggi memerlukan 4-20 pertemuan pribadi dalam kelompok dan hanya laporan intervensi perilaku dikatakan bermanfaat jangka panjang ketika dilakukan sekitar 12 bulan. Uniknya pada intensitas tinggi dan beberapa yang termasuk sedang jenis intervensinya tidak menyertakan dokter pelayanan primer sebagai provider intervensi. Intervensi dilakukan oleh penyuluh kesehatan atau perawat, konselor atau psikolog, dietisen atau nutrisen, atau instruktor latihan atau fisiolog.
Pada orang dewasa dengan tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg, pada intensitas intervensi tinggi dianjurkan mengurangi kandungan sodiumnya, telah menghasilkan pengurangan tekanan darah (menurunkan 1,9 mm Hg tekanan darah sistolik dan 1.0 mm Hg pada tekanan darah diastolik), dan diikuti angka kejadian kardiovaskulernya. Pendekatan preventif lainnya. Konseling intervensi yang memungkinkan di dalam pelayanan primer atau dapat juga dikonsulkan dalam review USPSTF hanya menghasilkan perubahan perilaku kecil atau sedang atau hasil kesehatannya menengah. Konseling perilaku mungkin lebih efektif jika diberikan dalam konteks intervensi kesehatan masyarakat yang luas yang meningkatkan semangat gaya hidup. Banyak organisasi kesehatan masyarakat menganjurkan diet dan aktifitas fisik mungkin bermanfaat sebagai sumber bagi dokter-dokter pelayanan primer.
Departemen Pertanian, Kesehatan, dan Pelayanan Umum USA secara bersama-sama memberikan panduan untuk masyarakat umum. Panduan tersebut menganjurkan diet yang memasukkan berbagai buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan serat; rendah lemak jenuh, kolesterol, dan sodium; serta keseimbangan kalori dengan aktivitas untuk memelihara berat badan yang sehat. The “2008 Physical Activity Guidelines for Americans” menganjurkan agar setiap orang dewasa berolahraga sedikitnya 150 menit per minggu dan memasukkan penguatan otot sedikitnya dua kali per minggu. Kampanye The Million Hearts  yang disponsori Departemen Kesehatan dan Pelayanan Umum bertujuan menurunkan jumlah serangan jantung dan stroke sebesar 1 juta orang dalam 5 tahun ke depan. Mengedepankan penggunaan pelayanan klinik preventif digabungkan dengan kebijakan berbagai intervensi (http://million hearts.hhs. gov). The Community Preventive Services Task Force juga menganjurkan beberapa intervensi berbasis komunitas untuk mempromosikan aktivitas fisik, termasuk kampanye pada masyarakat luas, edukasi kesehatan fisik di sekolah-sekolah, dan beberapa pendekatan lingkungan masyarakat (http://www.thecommunityguide.org). (Ann Intern Med. 2012; 157: 367-372) 
Budhi Setianto

GALERI FOTO

Dokumentasi acara INA Echo 2013, pada tanggal 7-8 September 2013, bertempat di Borobudur Hotel, Jakarta
 
 


Kardiologi Kuantum (21): Menyimak Perilaku/Gaya Hidup Negatif terhadap Kesehatan Jantung Masyarakat

KARDIOLOGI kuantum seyogyanya berperanan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan cara-cara yang sesederhana mungkin, walaupun jangan terkesan terlalu sederhana. Ada tiga faktor risiko  utama yang perlu diperhatikan untuk pencegahan penyakit jantung koroner dan stroke yang wajib diketahui masyarakat yaitu Dislipidemi, Hipertensi, dan Diabetes. Penyakit tersebut sudah menjadi pandemi di seluruh dunia. Sebenarnya setiap masyarakat harus memperhatikan kearifan lokal dan seyogyanya menjadi solusi global, setidaknya penyakit yang mengglobal (pandemi) tersebut dapat di dekati dengan pengetahuan apa saja yang sudah ada di masyarakat itu sendiri sedikitnya menahan musibah internasional tersebut.
Apakah hanya ketiga jenis penyakit tersebut yang harus diperhatikan? Tentu saja tidak. Ada jenis perilaku/kebiasaan yang dapat memicu atherosklerosis yang harus disampaikan kepada masyarakat satu paket dengan ketiga jenis penyakit unggulan faktor risiko tersebut misalnya kebiasaan merokok, kurangnya aktivitas fisik/malas berolahraga yang mengakibatkan kegemukan, obesitas ujung-ujungnya kearah diabetes/kencing manis. Nah, kencing manis ini sering ditemani dengan tingginya trigliserida (dislipidemi) dan penyakit tekanan darah tinggi. Penyakit darah tinggi dan diabetes mendekatkan pada penyakit gagal ginjal. Keseringan makan/over-eating patut disampaikan kepada masyarakat luas agar menyadari kehadiran penyakit perilaku ini sebagai dasar dari tiga penyakit unggulan tersebut di atas.
Perubahan perilaku terhadap kesehatan yang positif, setidaknya netral berubah menjadi perilaku negatif ini berasal dari mana? Kalau begitu apakah perilaku/gaya hidup itu? Perilaku atau gaya hidup sudah lama dipelajari oleh Pavlov pada sistem pencernaan binatang menyusui (anjing) ia membuka wawasan baru tentang aspek psikologi pembelajaran dan respon. Ilmuwan Rusia tersebut lahir di Ryazan, awalnya mengikuti karier ayahnya di bidang agama sebagai pendeta di desanya, akhirnya meneruskan panggilan hatinya di Universitas Petersburg. Ia tertarik mempelajari refleks menetesnya air liur anjing di laboratoriumnya setiap kali melihat jas laboratorium yang dipakai sang pemberi makan, walaupun tidak ada makanan. Seri penelitian berikutnya terjadi hal yang sama bila sang anjing dibiasakan merespons suara bel  menjelang pemberian makanan. Pavlov mendiskripsikan cara melatih hewan (dan manusia) dengan rangsangan tertentu menghasilkan suatu respons yang tertentu juga. Suatu era baru penelitian perilaku  dengan metode yang objektif. Salah satu  metodenya disebut desensitisasi sistematik. Penelitiannya tentang fisiologi kedokteran tersebut mendapat hadiah Nobel pada tahun 1904.
Perilaku adalah kebiasaan kita melakukan sesuatu ketika mendapatkan respon tertentu. Berdasarkan riset tersebut sebenarnya kita dapat mengubah perilaku ke arah sebaliknya dengan cara tertentu pula. Salah satu cara tertentu ini adalah kebiasaan dari angan-angan (kapasitas intelektual) kita membentuk bayangan-bayangan tertentu. Sekiranya kita selalu membayangkan untuk kepentingan yang baik misalnya tentang kesehatan jantung, niscaya perilaku kita menjadi positif. Apakah hasilnya akan demikian? Tergantung kuatnya kepribadian kita dalam bertahan dalam perilaku positif, sebut saja dalam perilaku diet sehat jantung. Setiap hari kita melihat televisi yang menyiarkan iklan-iklan yang dibuat sedemikian menariknya sampai memberikan daya dorong jiwa kita untuk mencoba dengan membeli produk itu. Katakan saja itu tentang rokok yang “sehat”, ayam goreng gurih yang berkolesterol tinggi, serta minuman yang beraroma alkohol,  manis, segar dan dingin. Setelah kita mencoba sekali dua kali dan seterusnya, jadilah itu perilaku diet yang tidak sehat. Kalau perilaku itu sudah keterlaluan mengganggu kesehatan jantung, barulah ada gerakan dari masyarakat secara mandiri atau berkelompok untuk melawannya. Pada rokok iklannya sudah dilarang, atau karena kuatnya lobbi pabrik rokok dengan pemerintah, terjadi kompromi misalnya harus mencantumkan kata-kata tertentu yang isinya bahwa rokok itu mengganggu kesehatan. Dapat juga berupa penampilan nama produk rokok tetapi tanpa gambar rokoknya, latar belakang gambar itu menampilkan sekelompok penunggang kuda yang gagah perkasa, tentu saja dengan mencantumkan bahwa rokok itu mengganggu kesehatan. Hal yang sama berlaku juga untuk produk-produk makanan dan minuman.
Bagaimana dengan mengubah gaya hidup/perilaku yang tidak sehat dengan upaya konseling perilaku? Beberapa waktu yang lalu U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) membuat rekomendasi (Ann Intern Med. 2012;157:367-372) tentang intervensi konseling perilaku untuk diet sehat dan aktivitas yang berguna untuk prevensi kardiovaskular pada orang dewasa. Sebenarnya rekomendasi ini untuk memperbarui pernyataan mereka sebelumnya di tahun 2002 dan 2003 pada orang dewasa tetapi tanpa penyakit kardiovaskular (PKV) atau tanpa faktor risiko. Tentu saja berdasarkan hasil penelitian mereka tentang penting-nya intervensi konseling yang bermakna pada pelayanan primer atau laporan pribadi pasien setelah melakukan diet kesehatan. Telaah tentang perubahan fisiologi menurunnya kadar lemak, tekanan darah, indeks masa tubuh, dan meningkatnya toleransi gula darah. Mereka juga mempelajari morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada populasi dewasa tanpa diketahui adanya PKV, hipertensi, hiperlipidemi, atau diabetes.
Yang menarik adalah pernyataannya berdasarkan hasil riset bahwa konseling intervensi yang memungkinkan dalam pelayanan primer menghasilkan perubahan perilaku yang katakan saja kecil atau mengecewakan. Sebagai gantinya USPSTF lebih menganjurkan intervensi kesehatan masyarakat yang luas yang menganjurkan diet dan aktifitas fisik akan lebih meningkatkan semangat serta mengubah gaya hidup sehat jantung dan pembuluh darah. Konseling perilaku akan lebih berhasil jika ditujukan kepada pasien dewasa yang sudah diketahui hiperlipidemia dan faktor risiko lainnya dan ada hubungannya antara diet dengan penyakit kronik lainnya. Mereka menganjurkan skrining hipertensi untuk yang berumur > 18 tahun, pada orang dewasa tertentu dianjurkan skrining gangguan lemak dan penggunaan aspirin sebagai upaya preventif PKV. Organisasi USPTF juga menganjurkan skrining obesitas untuk diberikan atau merujuk konseling intensif dan intervensi perilaku agar terjadi pengurangan berat badan yang berkelanjutan bagi penderita obese dewasa.
The American Heart Association telah merekomendasikan untuk para dokter yang ingin melakukan intervensi konseling untuk meningkatkan diet yang sehat dan aktivitas fisik agar menggunakan kombinasi 2 atau lebih dari strategi ini: 1. menentukan tujuan spesifik, 2. pencapaian jangka pendek; 3. memberi umpan balik pada kemajuan; 4. menyampaikan strategi monitoring pribadi; 5. membuat rencana kontrol kembali; 6. gunakan tanya jawab yang memotivasi, dan 7. membangun manfaat bagi dirinya. (Circulation. 2010; 122: 406-41)
Untuk rekomendasi yang terakhir ini Kardiologi Kuantum masih ingin mengingatkan kembali pentingnya kita mengetahui sentra-sentra kekuatan mental-spiritual seperti perasaan dan semangat, sebagai kuda kuning dan kuda merah (desire and passion) yang dapat digugah oleh sang aku sebagai sentra intelektual (theDriver) yang senantiasa fokus pada kesehatan khususnya jantung dan pembuluh darah. Ia harus selalu menerima atau mencari informasi yang terkait dan memiliki daya tangkal bagi masukan-masukan kesehatan yang negatif. Nafsu yang egosentrik (luamah, kuda hitam) di arahkan dengan cara dikendalikan dengan puasa, tapabrata dan upaya lainnya agar  polaritasnya menjadi netral niscaya mampu menahan penderitaan dan menjadi dasar kekuatan fisik manusia. Mutmainah (kuda putih) sebagai drive yang bersifat sosial, suprasosial, dan spiritual agar dapat mengajak semuanya untuk mendekat kepada-Nya agar diberi kekuatan yang dahsyat agar mampu memiliki gaya hidup sehat jantung dan pembuluh darah. Semoga Sang Pencipta Alam Semesta memberikan kekuatan-Nya kepada kita semua. Amin. Salam Kuantum.

Budhi S. Purwo

Diagram Transenden: Kereta “Perkasa” Mikrokosmos
Kereta kuantum (perkasa) mikrokosmos ini adalah imajinasi dari kereta dengan empat ekor kuda      berdasarkan Candra Jiwa Soenarto (Indonesia). Disain kereta ini adalah untuk 1) tugas ke luar (ekstraversi) ke dunia luar, berkiprah membahagiakan masyarakat, dan memelihara alam semesta (D1, Dimensi-1, makrokosmos). Angan-angan (mind dengan aku, ego sebagai perwakilannya) manusia yang fungsi vitalitasnya nyaris tak terbatas itu bertugas sebagai sang Kusir (TheDriver) yang mengendalikan kekuatan 4-nafsu. Arah perjalanan ditentukan oleh potensi egosentrifugal (mutmainah, kuda putih). Ke-inginan (kuning) mampu menarik kemauan (merah) dan egosentripetal (hitam) yang pro kenikmatan agar menjadi egonetral yang memiliki ketahanan mental dan kesanggupan untuk menderita dalam perjalanan hidup. Suasana (perasaan) positif dan negatif sang Kusir dalam mengendalikan kuda sesuai dengan adaptasinya terhadap panduan ideal ekstraversi (ikhlas, sabar, syukur, jujur, dan budi luhur) dan introversi dari Pusat Imateri. 2) Tugas ke dalam (introversi) ke Pusat Imateri adalah proses kembalinya hidup-pribadi manusia ke asal mulanya (sadar kolektif) yang meng-hidup-i, dan sumber hidup-nya.

Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012.

New long-term data reinforce safety profile of Pradaxa® for stroke prevention in AF

  • Published online in Circulation, results from RELY-ABLE®, the RE-LY® extension study, support long-term safety of Pradaxa® (dabigatran etexilate) in patients with non-valvular atrial fibrillation 
  • Pradaxa® is the only novel oral anticoagulant with controlled long-term clinical trial data extending beyond 4 years of ongoing treatment 
  • The long-term results contribute to the growing body of data reinforcing Pradaxa® as an important advancement in the treatment of patients with atrial fibrillation compared to warfarin 1
Ingelheim, Germany, June 17, 2013 – New long-term data from the RELY-ABLE® study, the long-term extension of the pivotal RE-LY®  trial of Pradaxa® (dabigatran etexilate) in patients with non-valvular atrial fibrillation (AF), were today published online in Circulation,1 the journal of the American Heart Association. Pradaxa® is the only treatment among the new generation of direct oral anticoagulants, which has been evaluated in a large set of AF patients for more than four years.1 The long-term results reinforce the safety profile of Pradaxa®, which was originally established in the landmark RE-LY® trial.1,2,3
The new data from RELY-ABLE® contribute to the already available evidence supporting the safety profile of Pradaxa®. This evidence also includes the most recent analyses of real-world safety data from the US FDA Mini-Sentinel initiative4 as well as assessments by other regulatory bodies, including the European Medicines Agency.
 





Professor Stuart Connolly




“Before RELY-ABLE®, we already had data on the effects of two years of dabigatran etexilate treatment in patients with non valvular AF,” said RELY-ABLE® lead investigator Professor Stuart Connolly, Director of the Division of Cardiology at McMaster University, Hamilton, Ontario. “The additional long-term data from RELY-ABLE® provide reassuring safety information for the long-term treatment of patients taking dabigatran etexilate.”
The international multi-centre RELY-ABLE® trial was designed to evaluate the long-term safety of ongoing Pradaxa® therapy (110mg bid or 150mg bid) in patients with AF, following RE-LY®.1 Patients enrolled in RELY-ABLE® continued Pradaxa® therapy for an additional 2.3 years in an ongoing blinded comparison, bringing the mean duration of treatment to 4.3 years. A total of 5,851 patients participated in the  extension study.1
The unique results support the benefits of Pradaxa® over more than four years of long-term treatment.1
  • During the additional 2.3 years of treatment following RE-LY®, rates of major events for both dabigatran 110 mg and 150 mg twice daily were consistent with those seen in RE-LY® 
  • There were no new safety findings identified during the additional observation period of RELY-ABLE®
Key results from RELY-ABLE® include:1
  • Rates of major bleeding were 3.74 percent per year (n=238) and 2.99 percent per year (n=190) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively (HR = 1.26; 95% CI1.04-1.53) 
  • Very low rates of intracranial bleeding were sustained throughout the RELY-ABLE® study: 0.33 percent per year (n=21) and 0.25 percent per year (n=16) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively 
  • Incidence of haemorrhagic stroke was very low and similar between treatment arms: 0.13 percent per year (n=8) and 0.14 percent per year (n=9) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively
“We are pleased that the new long-term data from RELY-ABLE® add to the growing body of positive evidence for Pradaxa® in stroke prevention in atrial fibrillation. Pradaxa® is an  important advancement in the treatment of  patients with AF,” commented Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Boehringer Ingelheim is a science-based company that is proud to bring innovative products, like Pradaxa®, to patients and the medical community.”Additional findings from RELY-ABLE®   include:1
  • Rates of stroke or systemic embolism: 1.46 percent per year (n=93) and 1.60 percent per year (n=102) on Pradaxa® 150mg bid and 110mg bid respectively 
  • Rates of myocardial infarction were also low and similar between the two doses of Pradaxa® at 0.69 percent per year (n=44) and 0.72 percent per year (n=46) on Pradaxa® 150mg and 110mg, during the extended follow-up period.1
The efficacy and safety of Pradaxa® was established in the RE-LY® trial, one of the largest stroke prevention clinical studies ever  conducted in patients with AF. Pradaxa® 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, study  of which has shown a significant reduction in the incidence of ischaemic strokes in patients with non-valvular AF compared to warfarin, offering a relative risk reduction of 25 percent.2,3 Nine out of ten strokes are ischaemic strokes,6 which can result in irreversible neurological    injury with profound long-term consequences such as paralysis or inability to move one’s limbs or formulate speech.7
Furthermore in RE-LY®, Pradaxa® 150mg bid provided a 36 percent reduction in the overall risk of stroke versus warfarin, demonstrating superior protection.2,3 Pradaxa® 110mg bid was as effective as warfarin for the prevention of stroke and systemic embolism.2,3 Both doses of Pradaxa® were associated with significantly lower total, intracranial and life-threatening bleeding compared to warfarin.2,3 Pradaxa® 150mg bid showed a similar risk of major bleeds versus warfarin while Pradaxa® 110mg bid demonstrated a significantly lower risk.2,3
Pradaxa® is already widely approved for stroke prevention in atrial fibrillation and for primary prevention of VTE following total hip replacement or total knee replacement surgery.8 Over 1.6 million patient years of experience in all licensed indications in over 100 countries  support Pradaxa® as the leading novel oral  anticoagulant.9

References:
1. Connolly SJ, et al. The Long Term Multi-Center Extension of Dabigatran Treatment in Patients with Atrial Fibrillation (RELY-ABLE) study. Circulation. 2013; published online before print June 14 2013, doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.112.001139.
2. Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
3. Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363:1875-6.
4. Food and Drug Administration (FDA) Drug Safety Communication: Update on the risk for serious bleeding events with the anticoagulant Pradaxa. Viewed May 2013. Available at http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/ucm326580.htm
5. European Medicines Agency's Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP) positive opinion on the renewal of the marketing authorisation for Pradaxa®. October 2012. Available at http://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/document_library/Other/2012/10/WC500134406.pdf
6. Andersen KK, et al. Hemorrhagic and ischemic strokes compared: stroke severity, mortality, and risk factors. Stroke. 2009;40:2068−72.
7. NHLBI website. “What is Stroke?” Available at: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/stroke. Accessed on: October 10, 2012.
8. Pradaxa European Summary of Product Characteristics, 2013
9. Boehringer Ingelheim data on file.
SPONSORED ARTICLE

Saxagliptin dan Keluaran Kardiovaskuler Pasien DMT2

DIABETES mellitus tipe 2 meningkatkan dua kali lipat komplikasi kardiovaskuler pada pasien dengan atau tanpa penyakit kardiovaskuler, dan kebanyakan pasien DMT2 meninggal karena penyakit kardiovaskuler. Walaupun perbaikan kontrol glikemik secara berulang akan mengurangi komplikasi mikrovaskuler, ketidakjelasan masih menjadi pertanyaan apakah strategi penurunan glukosa atau pemberian obat terapi spesifik aman dari kejadian kardiovaskuler atau dapat mengurangi risiko kardiovaskuler.
Dengan kemungkinan pengecualian terhadap studi metformin dan insulin, kebanyakan studi yang dilaporkan mengevaluasi efek keluaran kardiovaskuler terhadap strategi penurunan glukosa spesifik atau medikasi lainnya dilaporkan terbatas pada nilai kekuatan suatu studi atau tidak memiliki signifikansi keuntungan kardiovaskuler ataupun adanya peningkatan risiko kematian atau gagal jantung.
Walau demikian, hal ini masih menjadi kebutuhan klinis yang kuat untuk mengidentifikasi oabt antihiperglikemik yang aman dan secara potensial dapat mengurangi komplikasi kardiovaskuler. Lebih lanjut, pada tahun 2008, FDA dan Agensi Kesehatan Eropa secara berkelanjutan melakukan revisi terhadap proses pemasaran obat baru penurunan glukosa yang membutuhkan keamanan kardiovaskuler.
Saxagliptin merupakan inhibitor selektif 4 peptidase dipeptidil, dimana studi fase 2-3 memperbaiki kontrol glikemik dibandingkan dengan placebo dan menurunkan risiko mayor kejadian kardiovaskuler.
Oleh karena itu dilakukan studi SAVOR-TIMI53 untuk mengevaluasi keamanan dan kegunaan saxagliptin terhadap keluaran kardiovaskuler pasien DMT2 yang memiliki risiko kejadian kardiovaskuler.
Randomisasi 16,492 pasien DMT2 yang memiliki riwayat atau risiko kejadian kardiovaskuler diberikan saxagliptin atau placebo dan dilakukan follow-up selama median 2.1 tahun. Dokter yang merawat diizinkan untuk menaikkan atau menurunkan terapi lainnya termasuk obat antihiperglikemia.
Keluaran primer adalah kematian kardiovaskuler, infark miokard atau stroke iskemik. Hasil akhir primer terjadi pada 613 pasien kelompok saxagliptin dan 609 pasien kelompok placebo (7.3% dan 7.2%, berdasarkan 2 tahun perhitungan Kaplan-Meier; HR saxagliptin 1.00; 95% CI 0.89-1.12; p = 0.99 untuk superioritas; p < 0.001 untuk non inferioritas); hasil tersebut sama dengan analisis “on treatment” (HR 1.03; 95% CI 0.91-1.17).
Hasil akhir sekunder mayor dari kematian kardiovaskuler, infark miokard, stroke, hospitalisasi angina tidak stabil, revaskularisasi koroner atau gagal jantung terjadi pada 1059 pasien kelompok saxagliptin dan 1034 pasien kelompok placebo (12.8% dan 12.4%, berdasarkan perhitungan 2 tahun Kaplan-Meier; HR 1.02; 95% CI 0.94-1.11; p = 0.66).
Banyak pasien kelompok saxagliptin dibanding kelompok placebo yang dirawat inap karena gagal jantung (3.5% vs 2.8%; HR 1.27; 95% CI 1.07-1.51; p = 0.007). Kasus pankreatitis akut dan kronis ditemukan sama pada kedua kelompok (pankreatitis akut 0.3% pada kelompok saxagliptin dan 0.2% pada placebo; pankreatitis kronis < 0.1% pada saxagliptin dan 0.1% pada placebo).
Inhibitor DPP-4 saxagliptin tidak mengurangi atau meningkatkan hasil akhir primer kematian kardiovaskuler, infark miokard atau stroke iskemik ketika ditambahkan pada terapi standar pasien risiko tinggi kejadian kardiovaskuler, walau telah memenuhi kriteria non inferior dibanding placebo, tetapi tidak memberikan keuntungan kardioprotektif.
Saxagliptin dihubungkan dengan perbaikan kontrol glikemik secara signifikan dan perkembangan ke arah yang baik pada mikroalbuminuria; walau mening-katkan risiko hospitalisasi karena gagal jantung dan risiko kejadian hipoglikemik. Saxagliptin dengan beberapa DPP-4 lainnya berperan sebagai obat antihiperglikemik oral yang diakui sebagai pengontrol glikemik.
Terdapat beberapa penjelasan potensial untuk menjawab kenapa saxagliptin tidak mengurangi kejadian iskemik walau telah mencapai kontrol glikemik. Pertama, paparan obat saxagliptin mungkin belum cukup lama untuk melawan efek tahunan proses pro aterosklerosis pada pasien DMT2 yang lebih dari 10 tahun. Kedua, perbedaan aktual nilai hemoglobin terglikasi diantara kelompok studi secara relatif cukup kecil karena penambahan terapi antihiperglikemik yang diberikan oleh dokter yang merawat dan lebih sering diberikan pada kelompok kontrol dibandingkan saxagliptin. (N Engl J Med 2013.DOI: 10.1056/NEJMoa1307684) 
SL Purwo

Studi PRAMI: Angioplasti Preventif Infark Miokard

PASIEN dengan akut elevasi segmen ST secara efektif diobati dengan angioplasti emergensi untuk mengembalikan aliran darah ke arteri koroner dimana hal tersebut yang menyebabkan terjadinya infark miokard (arteri infark, juga dikenal sebagai arteri culprit).
Pasien-pasien tersebut mungkin memiliki beberapa stenosis mayor pada arteri koronernya yang tidak menyebabkan infark miokard, tetapi manfaat untuk dilakukannya PCI pada arteri tersebut sebagai preventif kejadian kardiak di masa depan belumlah diketahui.
Beberapa ahli menyebutkan tindakan preventif pada arteri non infark tersebut dapat mencegah kejadian mayor kardiovaskuler (MACE), sementara ahli lainnya berpendapat bahwa pemberian terapi medis dengan antiplatelet, obat penurun  kolesterol dan penurun tekanan darah dapat mencegah MACE tersebut.
Sehingga dilakukanlah studi tersamar tunggal randomisasi “Preventive Angioplasty in Acute Myocardial Infarction (PRAMI)” oleh Wald et al., dengan tujuan untuk menentukan apakah melakukan PCI preventif sebagai prosedur terhadap lesi culprit akan mengurangi insiden kematian oleh sebab kardiak, infark miokard nonfatal ataupun angina refrakter.
Dari tahun 2008 sampai 2013, di lima senter pendidikan di Inggris, menggunakan 465 pasien STEMI akut (termasuk tiga pasien dengan blok cabang berkas kiri) yang dilakukan PCI pada lesi culprit dan secara   random dilakukan pula PCI preventif (234 pasien) atau tanpa PCI preventif (231 pasien).
PCI yang dilakukan untuk angina direkomendasikan hanya untuk angna refrakter dengan bukti objektif adanya   iskemia. Hasil keluaran primer adanya kematian oleh sebab kardiak, infark miokard nonfatal atau angina refrakter.
Pada Januari 2013, hasilnya didasarkan secara konkret oleh pengamatan data dan keamanan oleh komite, dimana direkomendasikan studi ini untuk dihentikan lebh awal. Selama follow-up 23 bulan, hasil keluaran terjadi pada 21 pasien yang dilakukan PCI preventif dibandingkan pada 53 pasien non PCI preventif (hanya pada lesi culprit), dimana dapat diartikan 9 kejadian terjadi pada setiap 100 pasien dan 23 per 100 pasien (PCI preventif HR 0.35; 95% CI 0.21-0.58; p < 0.001).
HR untuk ke tiga komponendari hasil keluaran primer didapatkan 0.34 (95% CI 0.11-1.08) untuk sebab kardiak; 0.32 (95% CI 0.13-0.75) untuk infark miokard nonfatal dan 0.35 (95% CI 0.18-0.69) untuk angina refrakter.
Hasil temuan studi ini menunjukkan bahwa pasien STEMI akut dengan penggunaan terapi PCI preventif untuk mengatasi lesi non culprit setelah dilakukannya revaskularisasi lesi culprit memberikan hasil yang bermanfaat.
Nilai keseluruhan kematian kardiak, infark miokard nonfatal dan angina refrakter berkurang 65%, sementara risiko absolut mengalami penurunan sebesar 14% selama 23 bulan. Efeknya sama dalam hal signifikansi ketika analisis dilakukan pada kematian kardiak dan infark miokard nonfatal.
Panduan klinis terbaru mengenai manajemen STEMI merekomendasikan PCI hanya dilakukan pada lesi culprit pada pasien dengan penyakit multi pembuluh koroner, hal ini dikarenakan kurangnya bukti objektif studi-studi dan belum tahunya manfaat PCI preventif.
Ketidakjelasan tersebut membuat berbagai variasi dalam praktek klinis, beberapa kardiolog melakukan PCI preventif segera walaupun tidak sesuai panduan klinis, beberapa kardiolog menunda PCI preventif sampai melewati kondisi akut dan lainnya membatasi tindakan terbatas pada symptom atau bukti adanya iskemia.
Hasil dari studi ini membantu mengatasi ketidakjelasan tersebut dengan cara memberi kejelasan PCI preventif merupakan strategi yang lebih baik dibandingkan membatasi melakukan intervensi lebih   lanjut pada pasien dengan angina refrakter atau infark miokard lanjutan.
Walaupun temuan ini tidak mempertanyakan apakah PCI preventif yang dilakukan segera dibandingkan bertahap (bertingkat) akan menghasilkan hasil yang baik.
Beberapa pertanyaan masih menjadi kendala. Pertama, apakah keuntungan PCI preventif dapat diaplikasikan pada pasien NSTEMI? Pasien tersebut sulit untuk dilakukan studi karena tidak seperti STEMI, seringkali sulit menentukan arteri mana yang menjadi culprit.
Kedua, apakah ada manfaatnya jika dilakukan pada arteri yang stenosis kurang dari 50%? Terdapat keraguan terhadap tingkat stenosis dimana risiko PCI bisa melebihi dari manfaatnya. Ketiga, apakah pengukuran fisiologis terhadap aliran darah, seperti fractional flow reserve, memberikan keuntungan dibandingkan pengukuran visual angiografi dalam melakukan PCI preventif? Diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sebagai kesimpulan, pasien yang dilakukan emergensi PCI lesi culprit pada STEMI, kemudian PCI preventif pada lesi non culprit mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler yang tidak diinginkan, jika dibandingkan dengan hanya dilakukan PCI lesi culprit. (NEJM 2013; DOI: 10.1056/NEJMoa1305520)
SL Purwo

Terapi Awal Prasugrel pada pasien Elevasi Segmen ST-SKA

CLOPIDOGREL tidak menjadikan efektif secara biologis dan klinis sampai beberapa jam pemberiannya. Walaupun dosis loading clopidogrel dibutuhkan pada pasien yang akan dilakukan intervensi koroner perkutan (PCI), tidaklah jelas apakah pengobatan awal dengan clopidogrel efisien ketika diberikan pada pasien ACS NSTEMI belumlah jelas.
Pengobatan awal dapat menunda prosedur bedah pintas koroner atau peningkatan yang tidak diinginkan dari risiko perdarahan pada pasien yang tidak perlu PCI. Dua studi randomisasi, satu studi melibatkan pasien dengan ACS NSTEMI dan studi lainnya dengan PCI elektif, kedua memperlihatkan pengobatan awal dengan clopidogrel dapat menurunkan tingkat kejadian iskemik namun dengan kekurangan meningkatkan rsiko perdarahan mayor.
Panduan klinis terbaru dari Perkumpulan Kardiologi Eropa dan Asosiasi Jantung Amerika memberikan kelas satu rekomendasi untuk pengobatan awal pasien NSTEMI yang akan dilakukan prosedur invasif. Beberapa studi observasional terbaru dan meta analisis mempertanyakan keuntungan pengobatan awal yang rutin menggunakan clopidogrel pasien ACS NSTEMI.
Prasugrel dan ticagrelor mempunyai efek yang lebih poten dan onset cepat dibandingkan clopidogrel. Obat tersebut menunjukkan lebih efektif dibandingkan clopidogrel pada pasien sindroma koroner akut tetapi dihubungkan dengan peningkatan komplikasi perdarahan. Pengobatan awal diberikan sebelum kateterisasi pada salah satu studi, dimana studi lainnya diberikan antagonis reseptor P2Y12 setelah tindakan angiografi koroner dan telah memenuhi indikasi PCI.
Dilakukanlah studi oleh Montalescot et al. untuk membandingkan efek pemberian prasugrel saat PCI atau sebagai pengobatan awal pada saat diagnosis NSTEMI (studi ACCOAST). Menggunakan 4033 pasien NSTEMI dan yang dengan tingkat troponin positif dilakukan angiografi koroner terjadwal dalam 2 - 48 jam setelah dilakukan randomisasi.
Pasien secara random diberikan prasugrel (30 mg sebagai dosis loading) sebelum dilakukan angiografi (kelompok pengobatan awal) atau diberikan placebo (kelompok kontrol). Ketika PCI merupakan indikasi, penambahan prasugrel 30 mg diberikan pada kelompok pengobatan awal pada saat dilakukannya PCI dan prasugrel 60 mg diberikan pada kelompok kontrol.
Tingkat kefektifan dari hasil akhir primer yang berupa kematian oleh sebab kardiak, infark miokard, stroke, revaskularisasi segera atau pemberian terapi emergensi dengan inhibitor GPIIb/IIIa selama tujuh hari tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok (HR pengobatan awal 1.02; 95% CI 0.84-1.25; p = 0.81).
Tingkat keamanan hasil akhir episode perdarahan mayor berdasarkan TIMI atau yang dihubungkan maupun tidak dengan CABG selama 7 hari terdapat peningkatan pada kelompok pengobatan awal (HR 1.9; 95% CI 1.19 – 3.02; p = 0.006). Pengobatan awal tidak mengurangi tingkat hasil akhir primer diantara pasien yang menjalani PCI (69% pasien) tetapi mengalami penigkatan dari tingkat perdarahan mayor TIMI selama 7 hari.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan pasien dengan ACS NSTEMI yang akan dilakukan PCI terencana, pengobatan awal dengan prasugrel tidak mengurangi tingkat kejadian iskemik mayor selama 30 hari tetapi meningkatkan komplikasi perdarahan mayor. (NEJM 2013. DOI:10.1096/NEJMMoa1308075)
SL Purwo