pita deadline

pita deadline

Rabu, 29 Mei 2013

Hubungan Hemoglobin Terglikasi dengan Risiko Gagal Jantung Kongestif Pasien DMT2

“Individu DMT2 yang kadar HbA1c-nya tinggi dihubungkan dengan peningkatan insidensi gagal jantung kongestif secara signifikan”

GAGAL jantung kongestif (CHF) merupakan penyebab terpenting dari morbiditas, mortalitas dan beban ekonomi di Eropa dan secara luas. Diabetes adalah faktor risiko CHF, individu-individu dengan diabetes memiliki beberapa kali lipat risiko dibandingkan dengan individu yang tanpa DMT2.
Mekanisme dasar  untuk hubungannya dengan CHF dan diabetes dduga melibatkan injuri makro dan mikrovaskuler. Data dari beberapa studi observasional memperkirakan tingkat glikemi secara langsung dihubungkan dengan risiko CHF.
Hubungan ini memiliki implikasi klinis yang penting karena control glikemia yang baik dapat mencegah CHF pada pasien dengan diabetes.
Studi – studi klinis lainnya tidak menunjukkan bukti yang kuat mengenai hubungan antara penurunan glukosa dan insiden CHF. Walaupun meta analisis dari studi klinis penurunan glukosa tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan insidensi CHF pada pasien yang dirandomisasi dengan kontrol glikemia yang lebih atapun kurang intesif.
Penemuan ini sulit untuk diinterpretasikan karena kebanyakan studi menggunakan tiazolidinedion untuk mengurangi kadar glukosa darah, dimana obat tersebut dapat menyebabkan gagal jantung.
Tanpa adanya bukti yang konklusif dari studi klinis, studi-studi epidemiologis observasional dapat memberikan informasi yang berguna untuk mengklarifikasikan hubungan antara glikemi dan risiko CHF.
Studi yang dilakukan oleh Erquo et al. ini akan memberikan gambaran mengenai hubungan glikemia yang diukur dari kadara HbA1c dengan insiden CHF pada individu dengan diabetes yang dilakukan secara review sistematis dan meta analisis dari beberapa data epidemiologis prospektif.
Studi ini mencari database elektronik dan referensi dari artikel terkait yang berhubungan dengan studi epidemiologis prospektif. Dilakukan pemilahan data dari studi-studi yang relevan menggunakan bentuk yang standar dan melakukan penambahan data ketika dibutuhkan.
Dari 1044 sitasi yang teridentifikasi, studi ini memasukkan 10 studi yang melibatkan 178929 pasien diabetes dan 14176 insiden kasus CHF. Lima studi hanya melibatkan pasien DMT2 saja, empat studi secara predominan menggunakan pasien DMT2 dan satu studi hanya dengan pasien DMT1.
Semua studi kecuali satu studi menunjukkan peningkatan risiko CHF pada peningkatan HbA1c. Rasio risiko (RR) penyesuaian untuk CHF adalah 1.15 (95% CI 1.10-1.21) untuk setiap tingkat persentasi kenaikan HbA1c.
Terdapat heterogeneitas substansial pada 10 studi (I2 83%; 95% ci 69-91%; P < 0.001) dimana tidak menjelaskan dari karakteristik tingkat studi yang tersedia seperti design studi atau tingkat rata-rata HbA1c.
Pada tujuh studi melaporkan RR dengan lebih dari satu derajat penyesuaian, hubungannya secara minimal mengalami perubahan setelah penyesuaian dari beberapa faktor risiko kardiovaskuler.
Dari informasi yang dikumpulkan dari sekitar 180000 pasien dengan diabetes dan 14000 insidensi kasus CHF, studi ini dapat menyediakan data observasional yang cukup besar untuk mengetahui hubungan HbA1c dengan CHF.
Dapat ditarik kesimpulan, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat glikemia dengan risiko CHF pada pasien diabetes.(European Journal of Heart Failure 2013; 15: 185-93)
SL Purwo

Liputan 22nd Asmiha: Workshop Heart Failure, 4 April 2013

WORKSHOP 22nd Asmiha, tanggal 4 April 2013, di Ritz Carlton, tentang gagal jantung dengan tiga pembicara, dr Nani Hersunarti SpJP(K), Dr dr Bambang Budi Siswanto SpJP(K) dan dr Erwinanto SpJP. Mereka membicarakan mengenai resistensi diuretik, pemberian ventilasi non invasif pada gagal jantung akut dan sindroma kardiorenal.
Dr Nani Hersunarti SpJP(K), memulai persentasinya dengan prevalensi angka  kejadian gagal jantung dekompensasi akut (ADHF) yang melebihi 1 juta pasien perawatan dan menghabiskan 12 Milyar setiap tahunnya, sementara di Indonesia, didapatkan sekitar 1.687 kasus ADHF setiap tahunnya dan menyumbangkan mortalitas sebesar 6,7%.
Pasien ADHF yang datang ke RS memiliki gejala volume overload dan kongesti dengan hasil keluaran yang buruk. Diperlukan suatu peran diuretik untuk mengatasinya. Tujuan dari pemberian diuretik  adalah untuk mencapai dan mempertahankan kondisi euvolemia dengan dosis yang relatif kecil.
Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop untuk diberikan pada pasien tersebut. Furosemid dapat diberikan 20-40 mg, 1-2 kali pemberian IV, dengan dosis maksimal 600 mg. Jika terdapat resistensi dapat diberikan kombinasi dengan HCT 1-2 x 25 mg dengan dosis maksimal 200 mg.
Resistensi diuretik sampai saat ini belum terdefinisi dengan baik, ditandai  dengan edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat. Biasanya terdapat pada 30% pasien advance heart failure. Dapat juga didefinisikan sebagai kondisi dimana diuretik gagal mengontrol retensi cairan dan garam walau telah diberikan dosis yang tepat. Atau dapat dikatakan tetap terdapat kongesti paru persisten dengan atau tanpa perburukan fungsi ginjal meskipun telah diberikan diuresis.
Sehingga dapat dikatakan resistensi diuretik diakibatkan oleh karena penurunan absorbsi diuretik akibat edema intestinal, kurangnya sekresi diuretik pada lumen tubulus dan adanya retensi garam post diuretik.
Adapun penanganannya berupa penilaian status volum pasien yang dapat dilihat dari JVP, edem perifer, pemeriksaan paru, abdomen, liver. Kemudian dapat kita nilai compliance pasien dari penilaian pengukuran respon urin terhadapa diuretik. Restriksi carian dan natrium, diet rendah garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1,5 liter/hari dan pembatasan penggunaan NSAIDs.
Selain itu dapat dilakukan penyesuaian dosis diuretik, dengan cara dinaikan dosis diuretik ataupun interval pemberiannya dapat diseringkan, juga diberikan secara kontinu (3 mg / jam, namun seringkali dapat mencapai dosis 10-20 mg/ hari). Dosis pemberian dapat diberikan 2,5 kali dari dosis oral. Dosis diuretik bolus mungkin dapat dihubungkan dengan peningkatan resistensi diuretik akibat periode panjang tingkat obat subterapeutik.
Infus kontinu dihubungkan dengan penurunan konsentrasi plasma yang mungkin dapat dihubungkan dengan rendahnya insidens efek samping lainnya (ototoksisitas). Pemberian diuretik loop pada pasien gagal jantung mungkin akan meningkatkan kreatinin sesaat, jangan menunda pemberiaan diuretik loop.
Kombinasi dengan hidroklorotiazid 25-100 mg memperlihatkan perbaikan klinis pada pasien gagal jantung yang berat dan memperbaiki gangguan fungsi ginjal. Dosis rendah dopamin (2,5 mcg/kg/menit) memiliki aktivitas arteriodilator renal dan menghasilakn natriuresis. Penggunaan nitrat diutamakan pada pasien gagal jantung dengan hipertensi dan harus dimonitor.
Kesimpulannya, resistensi diuretik merupakan masalah tersering pada pasien gagal jantung, kita seharusnya memahami mekanisme dan penyebab resistensi diuretik, obat-obatan yang menggangu fungsi ginjal seharusnya dihentikan serta penggunaan diuretik yang tepat guna dapat memperbaiki klinis pasien.
Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K), memberikan materi mengenai ventilasi non invasif pada gagal jantung akut. Diawali dengan edema pulmonum yang menjadi manifestasi tersering pada pasien gagal   jantung dan memberikan prognosis yang tidak baik.
Terapi standar pasien gagal nafas akut yang tidak responsive dengan terapi konservatif sering kali membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Ventilasi non invasif merupakan pemberian ventilasi mekanik ke paru menggunakan tehnik yang tidak membutuhkan endotrakeal, dengan prinsip dasar pemberian tekanan positif intermiten pada saluran nafas, peningkatan tekanan transpulmonal dan pengembangan paru.
Adapun tujuan ventilasi non invasif dibagi menjadi dua, jangka pendek dan panjang. Jangka pendek (keadaan akut) adalah mengurangi gejala, mengurangi usaha nafas, memperbaiki pertukaran gas, mengoptimalkan kenyamanan pasien, meminimalkan risiko dan mencegah intubasi. Sedangkan manfaat jangka panjang adalah memperbaiki durasi dan kualitas  tidur, memaksimalkan kualitas hidup,  meningkatkan satus fungsional dan memperpanjang harapan hidup.
Peranan ventilasi non invasif pada gagal jantung akut dan edem pulmonal akut adalah untuk memperbaiki saturasi oksigen sistemik dengan memberikan oksigen aliran tinggi melalui masker muka, mengurangi preload dan afterload ke dua ventrikel dengan kombinasi morfin, diuretik dan nitrat.
Tekanan positif memperbaiki ventilasi yang bertolak belakang dengan patofisiologi akut kardiogenik edema pulmonal,  dimana tekanan positif membuka dan mengatasi kolaps alveoli, meningkatkan kapasitas residual fungsional, menurunkan ruang rugi, menurunkan pintas intra pulmonal dan meningkatkan volum tidal. Ventilasi non invasif direkomendasikan oleh panduan klinis ESC gagal jantung akut dan kronik tahun 2012 pada pasien edema paru akut.
Kriteria selektif penggunaan ventilasi tekanan positif pada pasien kondisi akut adalah pasien dengan diagnosis yang tepat, distress respirasi sedang sampai berat, takipnea, penggunaan otot tambahan atau paradox abdominal, gangguan gas darah (pH < 7.35, PaCO2 > 45 mmHg, atau PaO2/FiO2 < 200). Adapun kontraindikasinya adalah henti nafas, secara medis tidak stabil, ketidakmampuan melindungi jalan nafas, sekresi yang berlenihan, agitasi yang tidak koperatif, masker yang tidak pas dan adanya operasi jalan nafas atas serta gastro intestinal.
Kesimpulannya, ventilasi non invasif memberikan hasil klinis yang baik ketika diberikan pada pasien yang tepat. Selain itu juga, memperbaiki ventilasi dan performans kardiak, dihubungkan dengan penurunan yang signifikan dalam penggunaan intu-basi endotrakeal.
Topik terakhir membicarakan sindroma kardiorenal pada gagal jantung yang dibawakan oleh dr Erwinanto SpJP. Sindroma kardiorenal didefinisikan sebagai kondisi akut atau kronik dimana terjadi penurunan fungsi organ yang mungkin disebabkan oleh jantung atau ginjal.
Sindroma kardiorenal tipe 1 merupakan perburukan fungsi kardiak akut yang mengakibatkan injuri ginjal akut. Sementara, tipe 2 disebabkan oleh abnormalitas kronik fungsi kardiak yang menyebabkan perburukan CKD. Tipe 3 merupakan perburukan akut fungsi ginjal yang menyebabkan disfungsi akut kardiak. Tipe 4, yang menjadi masalah adalah gangguan kronis ginjal (CKD) mengakibatkan penurunan fungsi jantung. Sementara tipe terakhir, tipe 5 adalah adanya kombinasi disfungsi kardiak dan renal akibat dari gangguan sistemik secara akut atau kronik.
Pada kondisi ADHF akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal dengan manifestasi AKI dan jika berlangsung kronis akan menyebabkan CKD. Keadaan kronis gangguan jantung juga akan menyebabkan makin berkembangnya CKD. Adapun kondisi yang mungkin timbul pada sindroma kardiorenal adalah hipotensi, volum overload, ataupun syok kardiogenik.
Diperlukan penanganan yang optimal seperti fluid challenge, pemberian inotropik, pemberian diuretik loop, ultrafiltrasi dan penggunaan ACE atau BB. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, sindroma kardiorenal yang terjadi pada pasien gagal jantung dapat mengakibatkan disfungsi pada ginjal dengan manifestasi klinis yang beragam.
Dari ketiga topik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan dari gagal jantung cuku bervariasi ada dengan resistensi diuretik ataupun sindroma kardirenal serta diperlukan penanganan dari gagal jantung yang tepat guna, seperti dapat diberikan ventilasi non invasif.
SL Purwo

GALERI FOTO

The 22nd ASMIHA, 5-7 April 2013, Ritz Carlton Hotel, Jakarta, Indonesia



Kardiologi Kuantum (18): TheForce

“Many people feel that in the contemplation of nature and in communication with other living things, they become aware of some kind of force, or something, behind this apparent mask which we see in front of us, and they call it God.” 
~Roman Kroitor, cinematographer~

THE FORCE adalah suatu konsep metafisika yang memiliki daya kekuatan yang maha dahsyat yang berasal dari Tuhan dalam  alam semesta fiksional di galaksi Star Wars, dengan enam episodenya.
George Lucas, adalah sineas yang menyebutkan pertama kali tentang “The Force” pada tahun 1963, itu menurut Arthur Lipset yang membuat abstraknya yang disarikan dari berbagai sumber. Sumber audio yang disiapkan oleh Lipsett salah satunya dikenal dengan sampel 21-87 adalah suatu tanya-jawab antara pionir artificial intelligence Warren S. McCulloch dan Roman Kroitor, sinematografer yang kelak mengembangkan bioskop IMAX.
Menurut argumentasi McCulloch bahwa makhluk hidup itu sesungguhnya bukanlah apa-apa kecuali hanyalah mesin dengan kompleksitas yang tinggi. Kroitor justru berpendapat sebaliknya, bahwa justru di situlah ada sesuatu yang lain. “Banyak orang merasa ketika melakukan kontemplasi dengan alam dan ketika berkomunikasi dengan makhluk hidup lainnya, mereka menjadi sadar karena adanya suatu kekuatan, atau sesuatu yang berada dibelakang topeng-topeng di depan kita tersebut, dan mereka menyebutnya sebagai  Tuhan.”
Ketika ditanyakan kepada George Lucas tentang sumber asal dari istilah the Force di dalam terminologi filmnya Star Wars, memang membenarkan bahwa istilah tersebut merupakan .. sebuah gema dari frasa yang terdapat di dalam sampel audio 21-87 tersebut. Walaupun begitu, sesungguhnya ide dibelakangnya tersebut adalah universal, frasanya sama dengan yang telah digunakan secara ekstensif oleh banyak orang yang berbeda dalam 13.000 tahun yang lalu untuk mendiskripsikan kesadaran hidup, kekuatan hidup. Obi-Wan Kenobi salah satu tokoh dalam A New Hope pada Star Wars episode IV yang diperankan oleh Alec Guinnes menyatakan bahwa “The Force adalah yang memberi kekuatan pada para tokoh Jedi. Adalah suatu medan energi yang diciptakan untuk makhluk-makhluk hidup. Ia disekitar kita, dan menembus diri kita. Ialah yang
Kardiologi kuantum meminjam istilah yang sudah dikenal masyarakat melalui film-film legendaris tersebut untuk memperkenalkan Candra Jiwa Indonesia terutama bagian Tripurusa (TriAspect, TreFoil), bagian tertinggi, atau bagian terdalam dari jati dirinya seorang manusia. Suksma Kawekas (TheSource) adalah hierarkhi tertinggi, ia adalah sadar kolektif statis, asal mula dan tujuan hidupnya manusia (ego). Ialah yang menguasai alam semesta dan seisinya. Semua kekuasaan adalah kekuasaannya didelegasikan kepada utusan-Nya Yang Abadi ialah Suksma Sejati.
TheForce adalah istilah lain dari Suksma Sejati yang menjadi pemimpin, penuntun dan gurunya manusia. Semua kekuasaan ialah kekuasaannya Suksma Kawekas berada di tangan TheForce, dan semua umat manusia berada di dalam kekuasaannya. Ia adalah Sadar Kolektif Dinamis di dalam diri manusia itu sendiri, ialah yang menghidupi Roh Sucinya manusia (TheSelf). Roh  Suci inilah sebagai jati dirinya manusia, ia menjadi bagian dalam dari Hati Nurani-nya manusia. Roh Suci inilah sebagai Ego-nya manusia yang imateri.
Dalam perjalanan sang waktu, Aku (Ego) yang materi yang berada di dalam mental (jiwa)-nya manusia akan menjalankan evolusi sepanjang perjalanan hidupnya. Modalnya adalah menyerahkan kedaulatannya kepada Tripurusa, untuk ini diperlukan  upaya introversi: sadar, percaya, taat dalam arti seluas-luasnya. Tentu saja hanya sampai pada TheGate (Rahsa Jati) karena ia masih bersifat materi, eksistensinya diganti Oleh Roh Suci, Egonya yang imateri.
Manusia tidak mungkin memiliki Trisila sebagai “kunci dalam” secara sempurna sekiranya dalam penampilannya di dalam masyarakat tidak manjalankan hidupnya dengan Pancasila: sabar, rila, narima, jujur, budi luhur, diyakini sebagai “kunci luar” kehidupan. Dengan menguasai ilmu dan menjalankan Hastasila (hasta= delapan) tersebut bila diizinkan Suksma Sejati-nya, terbuka kesempatan untuk mendapatkan intuisi (ilham) yaitu suatu pencerahan, suatu kejaiban yang dapat mengubah peradaban diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.

Mikrokosmos/dunia kecil terdiri dari 1] Fisik (badan/jasmani kasar, soma, body, dimensi-2), 2] Mental (badan/jasmani halus, jiwa, psike, mind, dimensi-3), dan 3] Spiritual (rohani, alam sejati, Pusat Imateri, spirit, dimensi-4). Makrokosmos/alam semesta berada di dimensi-1 mewadahi mikrokosmos. Suksma Kawekas= kehidupan yang tertinggi; kawekas= yang tertinggi; TheSource. Suksma Sejati= kehidupan sebenarnya; suksma= kehidupan; TheForce. Roh Suci= roh suci; roh= awah, roh; sutji= suci, bersih; TheSelf. Tripurusa= tiga kesatuan, tiga aspek; TriAspect, Tre/TriFoil.

Akhir dari perjalanan evolusi Egonya manusia adalah peristiwa Pamudaran dan Panunggal yang sesungguhnya adalah satu peristiwa yang sama. Pudarnya “bungkus” Roh Suci yaitu jiwanya manusia, dan ditariknya Sinar Roh Suci kembali ke Suksma Sejati. Dalam jiwa manusia sudah tidak ada polaritas lagi, sudah tidak ada gerakan dan tidak eksis lagi. Tugasnya sebagai manusia telah selesai, ia masih bisa melakukan kegiatan rutin, hanya saja semua dalam eksistensi Suksma Sejati. Manusia telah melaksanakan tugas evolusi jiwanya dengan sempurna.

Budhi S. Purwowiyoto

FDA Perspective Published in the New England Journal of Medicine Reinforces Safety of Pradaxa® (Dabigatran Etexilate)

Ingelheim, Germany, March 26, 2013 – A new perspective from the U.S. Food and Drug Administration (FDA) published in the New England Journal of Medicine1 states that the agency has not changed its recommendations regarding Pradaxa® (dabigatran etexilate), following the November 2012 Mini-Sentinel evaluations.2 The FDA stated that bleeding rates associated with new use of Pradaxa® do not appear to be higher than those with new use of warfarin, which is consistent with observations from the pivotal RE-LY® trial.1,2,3,4 The perspective was published online on March 13, 2013.1
The Mini-Sentinel evaluated new information about the risk of serious bleeding associated with the use of blood thinners (anticoagulants): Pradaxa® and warfarin. The FDA investigated the actual rates of bleeding occurring in the stomach and intestines (gastrointestinal bleeding, GIH) and a type of bleeding in the brain (intracranial hemorrhage, ICH) for new users of Pradaxa® compared to new users of warfarin. This assessment was done using insurance claims and administrative data from the FDA’s ongoing Mini-Sentinel pilot of the Sentinel Initiative.
In the November 2012 Mini-Sentinel evaluations, the FDA stated: “For the populations in the Mini-Sentinel data assessment, the combined incidence rate (ICH and GIH events per 100,000 days at risk) was 1.8 to 2.6 times higher for new users of warfarin than for new users of Pradaxa®.”2 and that “Pradaxa® provides an important health benefit when used as directed.”2




Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim


“We are encouraged that this article in the New England Journal of Medicine provides important context about the safety of Pradaxa®, reaffirming the findings from the landmark RE-LY® trial and the important health benefit of Pradaxa® when used as directed,” said Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim.

NOTES TO THE EDITORS
Dabigatran etexilate
Dabigatran etexilate was the first of a new generation of oral anticoagulants/direct thrombin inhibitors (DTIs)5 targeting a high unmet medical need in the prevention and treatment of acute and chronic thromboembolic diseases.
Potent antithrombotic effects are achieved with direct thrombin inhibitors by specifically blocking the activity of thrombin (both free and clot-bound), the central enzyme in the process responsible for clot (thrombus) formation. In contrast to vitamin-K antagonists, which variably act via different coagulation factors, dabigatran etexilate provides effective, predictable and consistent anticoagulation with a low potential for drug-drug interactions and no drug-food interactions, without the need for routine coagulation monitoring or dose adjustment.
Clinical experience of Pradaxa® exceeds that of all other novel oral anticoagulants: It equates to over 1.4 million patient-years in all licensed indications and spans over 80 countries worldwide.6
One patient year equates to the treatment of a single patient over a whole year (365 days). The expression of clinical experience in patient years provides a more realistic assessment of experience with a treatment than the mere number of patients treated without relation to their individual treatment time.

The RE-LY® trial
RE-LY® (Randomized Evaluation of Long term anticoagulant therapY) was a global, phase III, PROBE (prospective, randomized, open-label with blinded endpoint evaluation) trial of 18,113 patients enrolled in over 900 centres in 44 countries designed to compare two fixed doses of the oral direct thrombin inhibitor dabigatran (110mg and 150mg bid) each administered in a blinded manner, with open label warfarin (INR 2.0-3.0, median TTR 67%7).3,4 Patients were followed-up in the study for a median of 2 years with a minimum of 1 year follow-up.3
The primary endpoint of the trial was incidence of stroke (including haemorrhagic) or systemic embolism. Secondary outcome measures included all-cause death, incidence of stroke (including haemorrhagic), systemic embolism, pulmonary embolism, acute myocardial infarction, and vascular death (including death from bleeding).3

Compared to well controlled warfarin, dabigatran etexilate showed in the trial:3,4
  • Significant reduction in the risk of stroke and systemic embolism – including ischaemic strokes with dabigatran etexilate 150mg bid
  • Similar rates of stroke/systemic embolism with dabigatran etexilate 110mg
  • Significantly lower major bleeding events with dabigatran etexilate 110mg bid, similar rates with dabigatran etexilate 150 mg bid
  • Significantly lower life threatening and intracranial bleeding with both doses
  • Significant reduction in vascular mortality with dabigatran etexilate 150mg bid.

SPONSORED ARTICLE

References 
1 Ross Southworth M, et al. Dabigatran and postmarketing reports of bleeding. New Eng J Med. 2013; DOI: DOI: 10.1056/NEJMp1302834. Available at: http://www.nejm.org
2 Food and Drug Administration FDA Drug Safety Communication: Update on the risk for serious bleeding events with the anticoagulant Pradaxa. Viewed March 2013. Available at http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/ucm326580.htm
3 Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
4 Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY® trial. N Engl J Med. 2010;363(19):1875-76.
5 Di Nisio M, et al. Direct thrombin inhibitors. N Engl J Med 2005;353:1028-40.
6 Boehringer Ingelheim data on file.

Selasa, 28 Mei 2013

Bantuan Robot dan Anestesi Umum Saat Ablasi AF

MENDAPATKAN suatu isolasi vena pulmonalis permanen dengan prosedur tunggal merupakan tantangan tersendiri dalam ablasi fibrilasi atrium (AF).
Kateter ablasi konvensional didesain untuk memberikan energi radio frekuensi pada tempat-tempat tertentu seperti pada jalur lambat untuk kasus aritmia re entri dengan angka keberhasilan cukup tinggi.
Ablasi kateter untuk pasien AF memerlukan lesi yang extensif dan angka keberhasilannya ekivalen, hal ini mungkin karena keterbatasan pada kateternya.
Navigasi kateter menggunakan robot telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan kateter manual seperti ketepatan gerakan untuk menempatkan pada lesi tertentu dan posisi kateter yang stabil untuk mempertahankan kontak jaringan selama dilakukannya tindakan ablasi.
Pada studi yang menggunakan hewan percobaan, terdapat penurunan yang cepat dan besar pada amplitude elektrogram yang menggunakan ablasi robot dibandingkan dengan manual.
Hal ini juga dihubungkan dengan hasil yang konsisten pada transmuralitas pemeriksaan makroskopik dari lesi yang menggunakan robot.
Walaupun demikian, ini tidak meningkatkan angka keberhasilan pada ablasi robot kasus AF di beberapa studi klinis non randomisasi dibandingkan pendekatan manual yang konvensional.
Penjelasan yang mungkin dapat diterima adalah kebanyakan pemakai robot ini mengurangi kekuatan radio frekuensi dan durasi dibandingkan dengan setting manual, dikarenakan ketakutan jika meningkatkan stabilitas kateter akan menyebabkan peningkatan energi yang menghasilkan peningkatan risiko perforasi dan injuri esophageal.
Untuk mengetahui pemilihan tingkat energy atau keterbatasan manuver robot di atrium kiri yang dapat berakibat pada kualitas lesi ablasi robot pada manusia, dilakukanlah studi oleh Kodjojo et al.
Dua puluh pasien secara random dilakukan ablasi AF menggunakan robot atau manual dengan setting standar radio frekuensi di empat institusi (30W 60 detik manual, 25W 30 detik robot, R 30).
Kelompok terpisah dari 10 pasien konsekutif menjalani ablasi robot dengan peningkatan durasi radio frekuensi, 25 W selama 60 detik (R 60).
Lesi-lesi ditandai dengan pemetaan elektro anatomi sebelum dan setelah ablasi untuk mengukur jarak pergerakan dan perubahan amplitude elektrogram bipolar  selama radio frekuensi.
Total dari 1108 lesi dilakukan pemeriksaan (761 dengan robot, 347 secara manual). Suatu korelasi diidentifikasikan antara atenuasivoltase dan pergerakan kateter selama radio frekuensi (Spearman rho -0.929, p < 0.001).
Kateter ablasi lebih stabil selama radio frekuensi menggunakan robot; 2.9 ± 2.3 mm (R 30) dan 2.6 ± 2.2 (R 60), keduanya secara signifikan lebih sedikit dibandingkan kelompok manual dan R 30.
Akan tetapi, terdapat peningkatan atenuasisinyal pada kelompok R 60 (52.4 ± 19.4%) dibandingkan dengan manual (47.7 ± 25.4%, p = 0.01).
Ketika prosedur tersebut dilakukan dengan anestesi umum dan pemberian sedasi secara sadar, dilakukan analisis terpisah, terdapat perbaikan terhadap atenuasisinyal pada kelompok R 60 yang hanya secara signifikan terdapat pada prosedur yang menggunakan anestesi umum.
Ablasi menggunakan robot dengan sistem Hansen memiliki kemampuan menghasilkan atenuasi elektrogram local yang lebih besar dibandingkan manual dengan ketepatan seleksi parameter radio frekuensi. Penggunaan anestesi umum nampaknya membantu dalam mencapai keuntungan tersebut dan studi-studi randomisasi diperlukan untuk menilai hasil keluaran klinis. (Europace 2013; 15: 41-7)
SL Purwo

Dampak Terapi Inhibitor Pompa Proton pada Kegunaan Clopidogrel

Studi CAPRIE dan CREDO

CLOPIDOGREL merupakan suatu inhibitor tienopiridin P2Y12 dari fungsi platelet dan merupakan obat penting dalam farmakoterpai kardiovaskuler dalam pencegahannya terhadap infark miokard (MI) dan thrombosis stent setelah sindroma koroner akut serta intervensi koroner perkutan (PCI).
Clopidogrel suatu prodrug yang membutuhkan konversi menjadi bentuk metabolit yang aktif dengan melibatan sistem sitokrom P450 (CYP) serta kombinasi isoenzim CYP3A4, CYP1A2, CYP2C9, dan atau CYP2B6.
Aktivasi metabolit clopidogrel melalui CYP450 menghasilkan suatu spekulasi apakah obat yang menginhibisi atau melakukan competitor pada isoenzim ini mungkin akan mengurangi efek terapeutik clopidogrel terutama melalui CYP2C19.
Banyak studi memberikan pendapat bahwa obat tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap inhibisi clopidogrel pada pengukuran exvivo dari fungsi platelet, akan tetapi dampak klinis studi ini sulit untuk dilihat.
Dampak tersebut akan sangat penting untuk diidentifikasi pada pemberian inhibitor pompa proton (PPI), dimana obat tersebut menginhibisi CYP2C19, selain itu PPI direkomendasikan sebagai terapi pertama untuk mencegah komplikasi gastrointestinal pada pasien risiko tinggi.
Selain itu, baik clopidogrel dan PPI adalah obat tersering yang diresepkan di duniadan sering kali diberikan keduanya pada pasien. Interaksi potensial pertama kali dilaporkan oleh Gilard et al. dimana pasien yang menjalani PCI dengan terapi clopidogrel juga diberikan PPI ditemukan memiliki tingkat reaktivitas platelet yang tinggi dibandingkan yang tidak diberikan PPI.
Namun, data klinis mengenai interaksi ini sangatlah bervariasi, studi-studi observasional dari database atau dari registry memperlihatkan peningkatan kejadian kardiovaskuler dengan pemberian bersama clopidogrel dan PPI, dimana studi analisis atau klinis memberikan gambaran yang lebih serupa dan tidak memperlihatkan  interaksi klinis yang signifikan.
Interaksi yang signifikan ini masih menjadi perdebatan, akan tetapi baik FDA (Food and Drug Administration, USA) dan EMA (European Medicine Agency) memberikan rekomendasi yang sama bahwa pemberian clopidogrel dan inhibitor CYP2C19 seharusnya tidak diberikan bersama dengan PPI, terutama esomeprazole dan omeprazole.
Karena itu dilakukanlah studi oleh Dunn et al. untuk mencari tahu apakah PPI berefek pada kegunaan clopidogrel dari dua studi yaitu studi CREDO dan CAPRIE.
Studi CAPRIE, clopidogrel nampaknya meningkatkan end point primer (stroke iskemik, MI, atau kematian oleh sebab vaskuler) pada pasien yang menggunakan PPI (rasio hazard terestimasi [EHR] 2.66; 95% CI 0.94-7.50), namun mengalami penurunan pada pasien non PPI (HER 0.90; 95% CI 0.83-0.99; p = 0.047).
Lebih lanjut, pengguaan PPI dihubungkan dengan hasil keluaran yang buruk pada pasien yang mendapatkan clopidogrel (EHR 2.39; 95% CI 1.74-3.28) tetapi tidak pada pemberian aspirin (HER 1.04; 95% CI 0.70-1.57; p = 0.001).
Studi CREDO, clopidogrel secara signifikan tidak mengubah risiko end point   primer dalam 1 tahun pada pasien yang diberikan PPI (HER 0.82; 95% CI 0.48-1.40) namun terjadi penurunan pada non PPI (HER 0.71; 95% CI 0.52-0.98; p = 0.682).
Penggunaan PPI dihubungkan dengan hasil keluaran yang buruk baik pada pasien yang mendapatkan clopidogrel (EHR 1.67; 95% CI 1.06-2.64) maupun plasebo (HER 1.56; 95% CI 1.06-2.30; p = 0.811).
Sehingga dapat dikatakan, pada studi CREDO kegunaan clopidogrel secara signifikan tidak berdampak pada penggunaan PPI, namun berbeda dengan studi CAPRIE, dimana clopidogrel berguna pada pasien non PPI namun nampaknya berdampak buruk pada pasien dengan penggunaan PPI. (Journal of American Heart Association 2013; 2: 1-11)
SL Purwo

Akurasi Diagnostik Ekokardiografi Saku pada Setting Pelayanan Akut

EKOKARDIOGRAFI merupakan alat yang berguna pada pasien triase di emergensi, dapat melakukan pemeriksaan yang cepat dari parameter diagnostic seperti fraksi ejeksi ventrikel kiri, fungsi katup atau adanya efusi pericardium.
Sampai saat ini, ekokardiografi terkendala ukuran dan ketidakpraktisan dalam penggunaannya di unit pelayanan intensif, bangsal emergensi ataupun saat resusitasi.
Ekokardiografi dengan ukuran yang lebih kecil saat ini sudah tersedia, baik dalam bentuk format laptop yang mobil maupun yang seukuran saku yang bisa dibawa seperti format PDA.
Ekokardiografi yang mobil telah menunjukkan performa yang baik tetapi masih inferior dibandingkan sistem standar, terutama untuk kuantifikasi penyakit katup atau hipertensi pulmonal.
Alat seukuran saku yang bisa dibawa oleh tangan ini ada berbagai tipe, diantaranya Acuson P10 (Siemens) memberikan gambaran 2D hitam putih, Vscan (GE Healthcare Vingmed Ultrasound, Horten, Norway) juga dapat memberikan gambaran colour Doppler tetapi tanpa PW atau CW Doppler.
Vscan telah menunjukkan hasil yang cukup baik pada studi yang dilakukan pada pasien yang rutin dilakukan ekokardiografi di lab ekokardiografi.
Lebih lanjut, alat tersebut berguna pada konsultasi pasien rawat jalan sebagai pemeriksaan tambahan yang dikerjakan di poliklinik dengan akurasi diagnostik yang baik pada tangan seorang operator yang handal.
Walaupun demikian, alat ini sangat berpotensi untuk digunakan di pelayanan emergensi, karena ukurannya kecil yang  secara signifikan lebih praktis dibandingkan ekokardiografi standar maupun yang portabel.
Namun dengan keunggulannya yang praktis seharusnya tidak mengurangi akurasi diagnostik, terutama pada setting keputusan diagnostik klinis yang penting dan harus diputuskan secara cepat serta mungkin akan menentukan hasil keluaran klinis pada pasien tersebut.
Penggunaan Vscan belum dilakukan tes pada setting emergensi, sehingga dilakukanlah studi oleh Testuz et al. dengan tujuan mengevaluasi akurasi diagnostik Vscan yang dilakukan oleh pemeriksa yang handal pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan ekokardiografi secepatnya.
Total 104 pasien yang dilakukan pemeriksaan ekokardiografi pada setting emergensi, kemudian hasilnya dibandingkan  secara tersamar dengan pemeriksaan ekokardiografi standar.
Terdapat persamaan antara Vscan dengan pemeriksaan ekokardiografi standar dalam hal fungsi sistolik ventrikel kiri dan efusi pericardium (Kappa 0.89 dan 0.81) dan juga hasil yang sama atau mendekati pada pemeriksaan fungsi katup aorta, mitral dan tricuspid serta ukuran ventrikel kiri (Kappa 0.55-0.66).
Ketersediaan ekokardiografi seukuran saku yang sangat praktis dalam penggunaannya di setting pelayanan akut membantu memfasilitasi manajemen pasien. Studi ini memperlihatkan alat tersebut memiliki akurasi diagnostik yang baikdibandingkan dengan mesin ekokardiografi standar, walau dengan keterbatasan tanpa PW dan CW Doppler serta ukuran layar yang kecil.
Sehingga alat ini mungkin dapat sangat berguna dalam evaluasi awal dan membantu memutuskan keadaan klinis pasien-pasien kritis. (European Heart Journal-Cardiovascular Imaging 2013; 14: 38-42)
SL Purwo