pita deadline

pita deadline

Senin, 04 Juni 2012

Kardiologi Kuantum (7): SINDROMA DA COSTA

“Imagination is more important than knowledge.”Albert Einstein

“Kuantum adalah paket energi dari gelombang yang tidak tampak oleh pancaindra. Menjelaskan sesuatu yang tidak kasat-mata dengan istilah kuantum adalah sesuatu yang mencerahkan.” Demikian keterangan Renan Sukmawan, seorang insinyur nuklir, dokter-doktor, dan kardiolog-peneliti yang bekerja di Fak. Kedokteran UI dan RSJPD Harapan Kita. Sepertinya ia merujuk mekanika modernnya fisikawan Erwin Schrödinger (1925). Tentu saja gelombang air laut jelas nampak dan nyata karena orang dapat berselancar diatasnya.
Sindroma Da Costa (Da Costa’s syndrome, Cardiac neurosis) [1] adalah prototipe penyakit berkeluhan jantung tetapi kardiolog tidak dapat menemukan penyakit jantungnya. Tidak mudah menyerahkan pasien model ini ke ahli jiwa (psikolog, psikiater) sebab ia merasa sakit jantung dan bukan sakit jiwa! Rasanya banyak kardiolog yang belum pernah menulis diagnosis Sindroma Da Costa,[2] padahal WHO sudah menyiapkan kodenya pada ICD sejak awal abad ke XX. Pertengahan abad XX berubah menjadi neurosis jantung.[3] Pada awalnya diklasifikasikan sebagai “F45.3” (dibawah kode somatoform disorder dari sistim kardiovaskuler) pada ICD-10,[4] dan sekarang diklasifikasikan pada “somatoform autonomic dysfunction” (suatu tipe dari kelainan psikosomatik).
Tulisan ini semoga sebagai “penggugah” bangun paginya kita semua agar memperhatikan sindroma ini, sebab kita memiliki kardiolog yang handal dengan kompetensi dan penguasaan teknologinya yang dapat meyakinkan orang lain untuk menegakkan diagnosis sindroma Da Costa Serta memiliki psikolog untuk menanganinya. Tidak terlalu sulit bagi kardiolog  untuk mendiagnosisnya, tetapi juga tidak mudah untuk mengerti apalagi melakukan psikoterapi, bila diperlukan. Untuk urusan psikoterapi, serahkan saja kepada ahlinya. Tetapi pengetahuan tentang sindroma ini wajib diketahui dari menegakkan diagnosis sampai rencana penatalaksanaannya. Diperlukan kolaborasi kardiolog, psikolog, psikiater, dan ahli psikosomatik untuk menanggulanginya. Penulis memberi semangat agar kardiolog senantiasa berholistik-ekliktik (memilih yang terbaik), berholistik saja terasa masih kurang, sesuai anjuran dari Prof. Kusumanto Setyonegoro, Bapak Psikiatri Indonesia. Marilah kita berwawasan psikologi, tanpa harus menjadi psikolog, berwawasan psikiatri tanpa harus menjadi psikiater. Bahkan harus “rajin” mengirim klien-sehat jantung (Da Costa’s syndrome) kepada psikolog klinik atau psikiater, dan jangan diperiksa macam-macam yang terlalu canggih karena sesungguhnya ia bukan pasien-sakit jantung.
Proklamasi. Di sini pentingnya membedakan klien-sehat dan pasien-sakit jantung. “Klien-sehat jantung adalah domain utama Kardiologi Sosial” adalah ayat-ayat ‘Proklamasi’[5] Budhi S Purwo tanggal 25 Juni 1993, hampir 20 tahun yang lalu, setelah mendapat koreksi dari alm. Prof. R. Boedi-Darmojo dengan menyisipkan kata “utama”. Tulisan tersebut bertepatan dengan dimuatnya tulisan penulisnya pada kolom depan Essay BIDI, Berita Ikatan Dokter Indonesia  No. 12 Tahun ke XIV dengan judul: Klien dan Rumah Sakit yang Health Oriented. Menanggapi dan menyambut seruan Gerakan Masyarakat Baru agar kita semua Health Oriented sesuai dengan seruan KOnggres NASional ke VII IAKMI (Ikatan Akhli Kesehatan Masyarakat Indonesia) di Bandung 1992. Baru tujuh tahun kemudian muncul Visi Indonesia Sehat 2010, merupakan gambaran masyarakat Indonesia dimana penduduknya hidup di lingkungan sehat, berperilaku sehat, mampu memperoleh pelayanan kesehatan bermutu, serta adil merata dengan derajat kesehatan optimal.
Apakah Kardiologi Sosial sudah mati hanya karena “badan”-nya atau unitnya  telah lama “dikuburkan” di RSJHK dan Dep. Kardiologi FKUI? Tidak, karena ada mekanisme metamorphosis. Kardiologi Kuantum harus dapat menjawab ketika ada pertanyaan apakah manusia (baca jantung) organo-biologis juga lantas “mati” ketika badannya (jasmani kasarnya) di kuburkan? Freud menjawab YA, titik. Terbujurnya mayat di depan mata sekaligus menandakan sudah matinya sang Ego! Carl Gustav Jung dan Soemantri Hardjoprakoso dalam Candra Jiwa Indonesia menjawab TIDAK, tetapi ada kemungkinan lain. Hipotesisnya adalah lolosnya sang Ego melaui TheGate ke Pusat Imateri yang mengandung hidup itu sendiri. Anggap saja wacana ini adalah hipotesis ilmu pengetahuan yang rentang kebenarannya 0-100, dengan confidence interval statistiknya dapat di kompromikan, misalnya 95% CI dengan probabilitas tertentu, mengikuti jejak ilmu statistik. Ilmu theology dapat mengenal kebenaran sebagai ya dan tidak (0-1) berdasarkan WAHYU Ketuhanan.


Istilah. Tentang istilah “kardiolog yang berorientasi psikologi” (Psychology oriented cardiologist), juga ditentang oleh kardiolog muda yang selalu ingin maju terus dan harus berbeda dengan lainnya, mungkin agar kebebasan dan pencerahannya dapat digali dari situ. Dengan halusnya ia menyodorkan buku Quantum Enigma: Physics Encounters Consciousness (2006) penulisnya Bruce Rosenblum dan Fred Kuttner, diterbitkan oleh Oxford University Press. Adalah Sony Hilal Wicaksono, kardiolog muda, Pemimpin Redaksi Tabloid Kardiovaskuler [6] telah menghimbau kardiolog seniornya untuk memberikan pencerahan. Katanya: “Universitas sudah memiliki Fak. Psikologi. Fak. Kedokteran sudah mempunyai Psikiatri. Dep. Penyakit Dalam juga sudah mendalami Psiko Somatik. Biarkan juga Dep. Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Indonesia mempelajari Kardiologi Kuantum untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat kardiovaskuler, klien-sehat dan pasien-sakit jantungnya sendiri.” 
Candra Jiwa Dunia. Pendekatan mana yang akan kita pakai untuk mempelajari psike Jiwa (Dimensi-3, Matra-3) Sindroma Da Costa, yang organo-biologis jantung- nya normal? Candra Jiwa Sigmund Freud yang menempatkan EGO-nya manusia selalu terhimpit oleh ID dan SUPEREGO dan tidak ada jalan keluar lagi dari dimensi-3-nya, muter terus di dalam PSIKE-nya? Hanya ada insting libido (seks) dan insting kematian di dalam ID-nya. Tidak pas, karena Freud .. maaf, beliau atheis, sementara bangsa Indonesia “sangat” religius. Walaupun dunia ilmu pengetahuan selalu ingin bebas-sebebasnya berfikir dan berpendapat. Kalau Candra Jiwanya Alfred Adler bagaimana ya? Memang lebih maju dari Freud, ia memandang manusia harus tunduk kepada masyarakat! Sepandai-pandainya seorang manusia masih lebih pandai masyarakat, di masyarakat ada ilmuwan, penguasa-penguasa dunia, dan para nabi. Ia berpendapat justru “daya dorong” majunya pemikiran manusia karena rasa “rendah dirinya” terhadap masyarakat. Tidak menariknya dengan candra jiwa ini karena ia tidak mendeferensiasikan psikenya secara luas, dalam dan tidak berkomentar tentang “kesadaran kolektif” yang “omnipotensi”. Kurang pas untuk membicarakan Cardiac neurosis.
Tentu saja masih ada pilihan yaitu candra jiwanya Carl Gustav Jung. Ia satu-satunya ilmuwan pertama di dunia yang tidak malu-malu lagi untuk menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang religius! (Sangat percaya kepada Tuhan). Bahkan Aku-nya manusia masih ada celah untuk melepaskan dirinya dari SUPEREGO (bisa super baik tapi juga super jahat) dan Das ES (ID) yang asadar. Tentu saja ia sangat berseberangan dan “dimusuhi” Freud dan pengikutnya (Freudian). Bahkan hipotesisnya kepemimpinan Sang Aku,  hanyalah kepemimpinan yang bersifat sementara, kasihan sekali sang Aku yang sering sombong itu! Ia telah menyebut satu istilah PERSONLICHKEIT (Individuation, Pamudaran) kembalinya sadar pribadi (Das Ich) kepada sadar kolektif (DAS SELBST), merupakan perkembangan akhir dari manusia dan kemanusiaannya, bebas tugasnya atau “mati”-nya (pudar, pamudaran) sang Aku. Masih terasa ada tempat di sini untuk meditasi transendental, sebagai bagian dari psikoterapi.
Hipotesisnya tentang INTUISI, ilham, wahyu adalah bertemunya sadar pribadi (Natuur Prinzip) dengan sadar kolektif (Geist Prinzip) sangat menarik. Makin menarik lagi ketika ia menerangkan tentang struktur jiwa manusia seperti konsep Mandala pada Candi Borobudur, intinya yang terpenting ada di tengahnya (perhatikan Diagram Transeden-1). Anehnya, mahasiswa kedokteran FKUI, PPDS kardiologi dan lain-lainnya yang belajar di RS Jantung Harapan Kita, bahkan psikolog atau psikiater (termasuk kardiolog) yang secara kebetulan berdiskusi, tidak tertarik bahkan terkesan kurang paham secara mendalam tentang jati dirinya manusia secara ilmu psikologi mental dan perilaku, sebagai terapan dari suatu filsafat eksistensialisme. Semoga masih ada kesalahan pengamatan sepintas yang mendasar bagi diri saya, dengan segala hormat mohon dapat dimaafkan. Mungkin eksplorasi dimensi-1 dan -2 [7] lebih menjanjikan secara duniawi (baca finansial), tetapi ilmu pengetahuan filsafat (pheno-menon) selalu menuntut lebih dari itu. Yaitu mencari neumenon (beyond) yang terdalam untuk terus-menerus mencari kebenaran sementara sampai ditemukan kebenaran hakiki.
Candra Jiwa Indonesia (CJI) yang mengaku sebagai faktor persekutuan terbesar (FPB) sekaligus sebagai kelipatan persekutuan terkecil (KPK) atas semua pengetahuan tentang candra jiwa yang ada di Indonesia, menjadi pilihan utama dalam kajian Kardiologi Kuantum karena memang berdiri  sejajar dengan candra jiwa dunia lainnya. “Jabang bayi” CJI sungguh asli Bangsa Indonesia hanya “lahirnya” saja di “rumah  sakit” Rijk Universiteit di Negeri Belanda tanggal 20 Juni 1956. Dokter Soemantri Hardjoprakoso memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Jiwa di Universitas Rijk Universiteit di Leiden, Nederland mendapat predikat cum laude dalam disertasinya yang berjudul Indonesisch Mensbeeld als basis ener Psyco-therapie. Profesor Soemantri Hardjoprakoso lebih mengelaborasi bagian terdalam dari pusat imateri (sebagai pusat HIDUP-nya jantung). Disinilah variabel “hidup” nya jantung menambah wacana bagi Kardiologi Kuantum.

Pusat Hidup Manusia. (baca: jantung dengan SA node-nya yang hidup). Soemantri berbeda dengan ketiga rekannya dari Eropa (Freud, Adler dan Jung), selain menyebut tentang konsep kesadaran juga menyebutkan tentang konsep HIDUP. Merujuk dari cerita dalam film-film Trilogi The Matrix dan Pentalogi Star Wars, penulis mencoba menerangkan isi Pusat Hidup Imateri (D4, lihat Diagram Transenden-1) berdasarkan candra jiwa Indonesia sebagai berikut TreFoil (aslinya Tripurusa) terdiri dari TheSource (aslinya Suksma Kawekas, sumber dan asal mula hidup, sadar kolektif statis), TheForce (aslinya Suksma Sejati, yang menghidupi, sadar kolektif dinamis, utusannya TheSource), dan TheSelf (aslinya Roh Suci, yang dihidupi, sadar pribadi). Egonya manusia (D3) potensial dapat mengembangkan diri (evolusi) dengan introspeksi, introversi kearah sadar pribadi. Kembalinya sadar pribadi ke sadar kolektif (D4) adalah peristiwa pamudaran (personlicheit, individuation menurut Jung). Bagaikan peristiwa kembalinya kuantum sinar (cahaya, nur) kepada sumber dan asalmulanya melalui yang menyinarkan.

Jantung Tentara. Kembali kepada sindroma Da Costa, namanya diambil dari Jacob Mendes Da Costa, seorang dokter ahli bedah yang menemukan sindroma tersebut pertama kali di antara tentara selama Perang Sipil Amerika, yang membawa alat tempur di dadanya. Oleh karena itu, pada awalnya kelainan ini disebut sebagai “jantung tentara” (soldier’s heart) gejala-gejala yang ditemukan pertama kali yaitu suatu kumpulan keluhan jantung yang tidak berhubungan sama sekali dengan kelainan fisiologi. Dalam studinya pada tahun 1871 terhadap 300 tentara, JM Da Costa menambahkan bahwa kondisi tersebut sering muncul setelah panas atau diare. Suatu keluhan jantung dan pembuluh darah itu misalnya sakit dada kiri, berdebar, sesak nafas, keringat dingin, lekas lelah pada kegiatan  rutin sampai stres tetapi jantung dan pembuluh darahnya normal. Ia bahkan tidak  dapat mengikuti kehidupan ketentaraan seperti sebelumnya, walaupun sudah dirawat sebentar di rumah sakit. Apakah faktor penentunya adalah stres pertempuran, kelainan dinding dada, atau sistim syaraf otonomnya, marilah diteliti bersama.
Nah, Divisi Kardiologi Preventif dan Rehabilitasi FKUI/ PJNHK telah menambah wawasan baru primordial preventive dengan Sindroma Da Costa. Mulai saat ini pendekatan Preventif Primordial memiliki beberapa kajian dan wacana yaitu 1) Sindroma Metabolik 2) Pre Diabetik, 3) Kardiomiopati Reversibel Tako Tsubo, dan 4) Sindroma Da Costa (neurosis jantung). Terapinya tentu saja mengubah gaya hidup dan perilaku, psiko terapi, meditasi transenden, dan farmakologi sesuai kebutuhan.
Rasanya benar juga kata Einstein bahwa imajinasi mendahului pentingnya ilmu pengetahuan, lebih jauh lagi ia mengingatkan tentang intuisi sebagai anugerah yang gaib sementara pikiran rasionil hanyalah pembantu yang terpercaya. Semoga Sadar Kolektif (TheForce) memberikan pencerahan untuk kita semua. Salam Kuantum.


Budhi S. Purwo-wiyoto


Kepustakaan
[2]  National Research Council; Committee on Veterans' Compensation for Posttraumatic Stress Disorder (2007). PTSD Compensation and Military Service: Progress and Promise. Washington, D.C: National Academies Press. p. 35. ISBN 0-309-10552-8. Retrieved 2008-05-26. "Being able to attribute soldier’s heart to a physical cause provided an “honorable solution” to all vested parties, as it left the self-respect of the soldier intact and it kept military authorities from having to explain the “psychological breakdowns in previously brave soldiers” or to account for “such troublesome issues as cowardice, low unit morale, poor leadership, or the meaning of the war effort itself” (Van der Kolk et al., as cited in Lasiuk, 2006)."
[3]  Edmund D., MD Pellegrino; Caplan, Arthur L.; Mccartney, James Elvins; Dominic A. Sisti (2004). Health, Disease, and Illness: Concepts in Medicine. Washington, D.C: Georgetown University Press. p. 165. ISBN 1-58901-014-0.
[4]  World Health Organization (1992). Icd-10: The Icd-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders : Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines. Geneva: World Health Organization. p. 168. ISBN 92-4-154422-8.
[5]  Purwowiyoto BS. Kardiologi sosial. Dari rumah-sakit menuju rumah-sehat menyongsong Indonesia Sehat 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kardiologi pada FKUI, tanggal 17 Desember 2003.
[6]  Purwowiyoto BS. Kardiologi Kuantum. Tabloid Profesi Kardiovaskuler 179/Thn.XVII/Januari 2012. ISSN: 0853-8344
[7]  Purwowiyoto BS. Kardiologi Kuantum. Tentang dimensi di alam semesta. Tabloid Profesi Kardiovaskuler 180/Thn.XVII/Februari 2012. ISSN: 0853-8344     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar