pita deadline

pita deadline

Rabu, 02 Mei 2012

Kardiologi Kuantum (6): Kardiomiopati Reversibel Akibat Stres

“Stres berat bagaikan ‘gelombang-badai simpatis’ meskipun bersifat sementara, dapat mengakibatkan kardio-miopati Takotsubo suatu kelainan anatomik apeks jantung pada fase sistolik yang menyerupai balon”- adalah perkiraan Kardiologi Kuantum, pemerhati masalah mental-spiritual dalam bidang kardiovaskular.


Dr. Arief Fadhilah Jumat pagi, 30 Maret 2012 mempresentasikan kasus ini untuk pertama kalinya di depan Konferensi Dep. Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Sangat mungkin juga baru pertama kali kasus ini diungkapkan di Indonesia, tentu saja dengan nama lainnya yang lebih populer yaitu sindroma Takotsubo.  Takotsubo adalah jebakan gurita (octopus) yang sampai kini masih dipakai oleh nelayan Jepang.  Pertama kali dilaporkan dari Jepang oleh  Satoh dan Dote pada tahun 1900 yang mengemukakan bentuk ventrikel kiri pada fase sistolik tersebut mirip dengan bentuk jebakan oktopus.


Presentasi kasus Arief Fadhilah menjadi lebih seru ketika LV apical balooning tersebut ternyata membentuk elevasi segmen ST yang menyerupai infark miokard akut.  Inipun telah dilaporkan oleh Bybeka KA, dkk dalam jurnal Annals of Internal Medicine 2004. Kardiomiopati Takotsubo disebut juga apical ballooning syndrome, kardiomiopati terinduksi stress, sindroma patah hati adalah suatu sindrom yang umumnya ditandai dengan disfungsi sistolik dari segmen apikal miokard dan atau mid ventrikel kiri, yang bersifat sementara, yang menyerupai infark miokard, tetapi tanpa adanya penyakit jantung koroner yang signifikan. Kardiomiopati Takotsubo pertama kali dikemukakan di Jepang. Kardiomiopati tipe ini kemudian dilaporkan pada populasi non-Asia, termasuk Amerika Serikat  dan Eropa.
Istilah patah-hati lebih lazim dipakai sebagai terjemahan dari broken-heart dari pada patah-jantung.  Patah hati yang menyebabkan ‘badai simpatis’ tentu saja meningkatkan debaran jantung dalam waktu yang lama cukup untuk membentuk kelainan bilik kiri yang terdiri dari outflow track yang menyempit ditemani apeks yang menggelembung, seperti tempayan kecil.
Seorang wanita umur 68 tahun datang ke RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dengan keluhan utama angina pektoris yang khas sejak dua hari sebelum dirawat.  Ia juga mengeluh sesak nafas, sesak yang berhubungan dengan aktifitas, posisi tiduran, dan terjadinya diwaktu malam. Tidak ada keluhan mual, keringat dingin, berdebar, atau episoda sakit kepala berat. Sehari sebelum dirawat pasien panas dan batuk dengan dahak yang berwarna kuning. Seminggu sebelumnya pasien diare 3-4 kali sehari, dengan cairan hijau, tidak ada darah, dengan perut merasa tidak enak.
Keluarga pasien menyatakan sejak dua minggu terakhir pasien lebih banyak murung dan bersedih karena memikirkan anaknya yang sedang mengalami gugatan hukum. Keluarganya menambahkan untuk 20 tahun ini pasien sering sesak nafas dan mengi yang tertolong dengan obat-obat asthma, tetapi 2 hari terakhir ini sesak nafasnya tidak berkurang. Yang bersangkutan adalah pasien baru rumah sakit tersebut dengan risiko penyakit penyakit kardiovaskuler hipertensi dan menopause.
Pada pemeriksaan fisik terlihat sakit berat dengan status kesadaran dan komunikasi yang baik. tekanan vena jugularis 5+3 cm H2O, suara jantungnya normal tanpa suara derap kuda maupun bising abnormal.  Suara pernafasannya normal dan tidak memanjang ketika ekspirasi.
Gambaran elektrokardiogram (EKG)-nya menunjukkan irama fibrilasi atrium dan meningkatnya segmen ST pada sadapan I, aVF, V1-V6. Pada pemeriksaan serial EKG di unit gawat darurat tidak ditemukan gambaran evolusi.
Rasio jantung-dada 58% dengan apeks yang menurun, pinggang jantung mendatar, ditemukan infiltrat, gambaran bendungan paru, dan tumpulnya sudut costophrenicus. Laboratotorim menunjukkan sedikit anemik dengan Hb 10,0 mg%, leukositosis (13.010) diikuti meningkatnya tanda-tanda infeksi. Troponin jantungnya sedikit meningkat (0,213) dan enzim trans-aminasenya (CKMB 23) dalam batas normal.
Ditegakkan diagnosis sebagai ADHF karena  sindroma koroner akut, hipertensi jantung dengan kemungkinan aneurisma ventrikel kiri, efusi pleura bilateral, anemia kekurangan zat besi, dan pnemoni bukan karena infeksi nosokomial.  Pada waktu dipindahkan dari Unit Gawat Darurat ke Unit Perawatan Intensif Kardiovaskular terjadi edema paru berat yang cepat teratasi.
Data ekhokardiogram menunjukkan segmen anterior dan anteroseptal yang diskinetik, segmen septum basalnya hiperkinetik, terlihat gambaran apeksnya seperti balon, regurgitasi aorta ringan, dan terdapat efusi perikardium dan pleuralnya minimal.  [EDD 45 ; ESD 37 ; mPAP 30 ; TAPSE 1,98 ; E/A<1; E/e’ 29 ; Concentric LVH (+)]
Pada kasus ini berdasarkan angiografi koroner telah dibuktikan tidak adanya lesi koroner yang signifikan, meskipun provokasi dengan menggunakan asetilkolin ataupun ventrikulografi untuk melihat gambaran ballooning segmen apikal ventrikel kiri tidak dilakukan.
Beberapa postulat dikemukakan sebagai patogenesis antara lain kadar katekolamin yang berlebihan, spasme arteri koroner, dan disfungsi mikrovaskuler. Kadar katekolamin yang berlebihan sebagai badai simpatis dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri melalui spasme mikrovaskuler dan atau efek yang dimediasi katekolamin pada kardiomiosit.
Dinamika abnormal dari katekolamin yang terkait dengan gangguan emosi ini tampaknya memainkan peran penting dalam patogenesis kardiomiopati ini. Kardiomiopati Takotsubo meru-pakan jenis gangguan neurokardiologik yang bermanifestasi sebagai gagal jantung akut yang re-versibel. Gangguan yang tidak menetap ini memiliki prognosis yang baik dan memberikan kesempatan para dokter pada upaya promotif-preventif betapa pentingnya menyadari dan memperhatikan kesehatan mental-spiritual pasien, keluarga dan masyarakat sekelilingnya. (Sumber: ada pada Redaksi)

Budhi S Purwo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar