pita deadline

pita deadline

Selasa, 03 April 2012

ASCVTS 20th Annual Meeting, Bali

RABU, 8 Maret 2012, saya berkesempatan mengikuti perfusion symposium, pre konggres dalam The Asian Society for Cardiovascular & Thoracic Surgery di Bali.
Dalam perfusion symposium tersebut, yang menarik adalah sesi ECMO (extracorporeal membrane oxygenation), dimana terdapat empat pembicara asing yang berkompeten dibidangnya.
C. Soto (Australia) dengan manajemen selama ECMO, Chiu Kit Yi (Singapura) membawakan masalah umum selama ECMO, M. Bennett (Australia) dengan perkembangan dan tantangan ECMO pediatrik dan laporan kasus ECMO pediatrik dengan pendekatan trans torakal kanulasi venous atrial (VA) oleh Vijay (Malaysia). Dengan moderator Pudyo Susmono dan Heri Widodo, masing-masing pembicara menyampaikan topiknya.
C.Soto menerangkan mengenai kemampuan menggunakan ECMO sangatlah penting pada pasien yang memiliki potensi outcome yang baik jika menggunakan alat ini.
Diperlukan suatu tim yang terdiri dari perfusionist, ahli anestesi, ahli jantung, ahli bedah jantung maupun perawat yang terdidik dalam menggunakan ECMO untuk dapat memilih jenis ECMO apa yang akan digunakan, baik veno-vennous maupun veno arterial ECMO.
Selain itu, dengan adanya tim medis ECMO, monitoring pasien akan berjalan lancar dan efisien. Sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitas. C.Soto juga menerangkan tehnik untuk melihat fungsi membran, penggunaan antikoagulan, optimalisasi kanulasi dan penyapihan ECMO.
Chiu Kit Yi, perfusionist asal Singapura, membicarakan masalah yang sering terjadi selama ECMO. Dapat berupa masalah mekanis maupun non mekanis.
Perdarahan adalah masalah non mekanis tersering yang terjadi selama ECMO. Perdarahan ini biasanya terjadi pada tempat kanulasi ataupun tempat pembedahan, serta dapat menimbulkan trombositopenia dan diperburuk dengan heparinisasi.
Anemia dan hipovolemia merupakan masalah yang berhubungan dengan perdarahan. Masalah non mekanis tersering lainnya adalah hemolisis, low flow, venous line chattering, gangguan ginjal ataupun emboli udara.
Masalah mekanis biasanya berhubungan dengan lamanya penggunaan ECMO dan peralatannya. Termasuk didalamnya gagalnya alat oksigenator, pompa yang rusak serta unit pemanas ataupun pendingin ECMO yang rusak.
Rusaknya alat oksigenator dan pompa merupakan masalah mekanis tersering yang didapatkan selama penggunaan ECMO. Kemungkinan yang mungkin terjadi pada kerusakan alat oksigenator adalah terbentuknya sumbatan serta kebocoran plasma atau darah.
Adapun kemungkinan terjadinya kerusakan pompa adalah keretakan dan sumbatan pada pompa yang ditandai dengan adanya suara yang tidak biasanya terdengar pada pompa tersebut.
Pembicara ke tiga, M. Bennett, memberikan pengetahuan mengenai perkembangan dan tantangan ECMO pediatrik. Sejak 1976, ketika Bartlett mempresentasikan pertama kali mengenai ECMO pada pasien neonatus, perkembangan ECMO sekarang ini makin maju.
Dengan terbentuknya organisasi ekstrakorporeal (ELSO) yang membuat panduan klinis mengenai ECMO pada senter-senter ECMO, telah memberi angka harapan hidup sebesar 64% pada lebih dari 40.000 pasien neonatus dan pediatrik.
Walaupun ECMO merupakan alat pendukung yang lebih umum digunakan, ketersediaaan program ECMO pada suatu senter kesehatan merupakan bidang khusus yang harus memiliki prinsip-prinsip penanganan dan pendidikan dari senter yang lebih berpengalaman.
Telah adanya panduan klinis baik dari ELSO maupun dari Royal Adelaide Hospital (sebagai senter ECMO pediatrik terbesar di Australia) mengenai ECMO pada ICU telah memberikan suatu panduan bagi senter lainnya yang akan mengembangkan program ECMO.
Sementara pembicar terakhir, Vijay, memaparkan laporan kasus mengenai penggunaan kanulasi veno atrial ECMO pada dua pasien pediatrik dengan kondisi jantung yang berat. Ke dua pasien tersebut menggunakan pompa sentrifugal Rotaflow dan oksigenator Quadrox-iD dengan heparin. Kondisi paska pemasangan ECMO adalah stabil dengan fungsi jantung yang membaik.
Ke empat pembicara sudah memaparkan masing-masing topiknya, kemudian lanjut ke sesi tanya jawab, karena topik ECMO ini mungkin kurang banyak kasus di Indonesia, jadi tidak ada pertanyaan dari peserta.
Akan tetapi, moderator menanyakan apakah ECMO emergensi yang dilakukan di Australia dengan pasien yang dikirim dari negara bagian lain dapat dilakukan. C. Soto menjelaskan bagaimana proses transfer pasien yang akan dilakukan ECMO emergensi dari negara bagian Australia, yaitu dengan proses transfer rutin seperti akan mengirimkan pasien, akan tetapi tim medis ECMO akan berangkat dengan peralatan yang sesuai dengan kondisi tersebut. Mereka bahkan sering melakukan hal tersebut dengan angka keberhasilan yang cukup tinggi.
Akhir kata, mungkin ECMO di Indonesia dapat berkembang seperti halnya di negara lain, dengan mengikuti panduan klinis dari senter ECMO yang telah berpengalaman.
SL Purwo

Trombosis pada Stent Jangka Sangat Lama Generasi Terbaru EES Dibandingkan Generasi Pertama DES

Stent berbalut everolimus dihubungkan dengan risiko rendah untuk terjadinya trombosis pada jangka yang sangat lama dibandingkan generasi awal DES.

TROMBOSIS pada stent (ST) merupakan  komplikasi yang jarang tetapi memiliki risiko buruk pada implantasi stent, dimana dapat mengakibatkan kematian atau infark miokard pada 90% kasus.
ST awal (0-30 hari) dan ST lama (31-360 hari) terjadi pada frekuensi yang sama diantara pasien yang diterapi dengan stent biasa (bare metal) maupun generasi per-tama Stent Berbalut Obat (DES).
Sementara ST sangat lama (VLST) merupakan ST yang muncul lebih dari satu tahun dengan entitas yang berbeda dari penggunaan generasi pertama DES, sirolimus (SES) maupun paclitaxel (PES).
Dengan risiko tahunan terjadinya VLST pada stent tersebut berkisar 0.5% sampai 0.6% selama 5 tahun.
Generasi terbaru DES telah dikembangkan untuk meningkatkan profil keamanan dengan menggunakan biopolimer yang lebih bersahabat, mengurangi dosis obat yang terkandung didalamnya yang mampu beradaptasi dan mengurangi ketebalan plak.
Stent Berbalut Everolimus (EES) menunjukkan keamanan dan efikasi dibandingkan PES dalam beberapa RCT. Kebalikannya, EES dibandingkan dengan SES dalam follow up 1 tahun menunjukkan hasil yang sama dalam hal keamanan dan efikasinya.
Untuk mengetahui VLST yang terjadi diantara ke tiga stent tersebut dilakukanlah studi kohort oleh Magro et al. dengan follow up selama 4 tahun.
Menggunakan 12.339 pasien yang dilakukan PCI dengan pemasangan DES (3819 SES, 4308 PES, 4212 EES) diantara 1 November 2006 sampai 31 Maret 2009   pada dua senter akademik rujukan di Belanda dan Swiss.
Selama follow up empat tahun, didapatkan tingkat insiden ST lebih rendah pada EES (1.4 per 100 pasien-tahun) dibandingkan SES (2.9; HR 0.41; 95% CI 0.27-0.62; p < 0.0001) dan PES (4.4; HR 0.33; 95% CI 0.23-0.48; p < 0.0001).
Tingkat insiden per 100 pasien-tahun dari ST awal, lama, dan sangat lama berkisar 0.6, 0.1 dan 0.6 diantara kelompok EES; 1.0, 0.3 dan 1.6 pada kelompok SES serta kelompok terakhir dengan 1.3, 0.7 dan 2.4.
Terdapat risiko kematian akibat kardiak dan infark miokard yang lebih rendah pada EES dibandingkan PES (HR 0.65; 95% CI 0.56-0.75; p < 0.0001) dihubungkan secara langsung dengan risiko rendah ST terkait kejadian lain (EES dengan SES; HR 0.46; 95% CI 0.26-0.81;EES dengan PES; HR 0.36; 95% CI 0.23-0.57).
Mekanisme yang mendasari risiko rendah untuk terjadinya VLST pada EES masih berupa spekulasi, tetapi mungkin berhubungan dengan tipisnya stent tersebut yang akan mengurangi terjadinya injuri arteri, meningkatkan reendotelisasi dan mungkin mempunyai derajat yang rendah untuk terjadinya disrupsi aliran.
Mungkin juga zat terkandung di permukaan stent, fluoropolimer, mengurangi trombogenisitas dan reaksi inflamasi. Yang lain mungkin dari dosis obat dan pelepasan kinetic juga berperan. (Circulation 2012; 125: 1110-21)
                                          
SL Purwo

Nilai Prognostik EKG (Rotasi Clockwise dan Counterclockwise) terhadap Mortalitas CV di Jepang

Rotasi clockwise secara signifikan positif dan counterclockwise secara signifikan negatif berhubungan dengan mortalitas akibat CVD pada laki-laki dan perempuan.

SEMENJAK pertama kali EKG ditemukan oleh Einthoven dan keakuratan pelaporan hasil EKG sebagai alat diagnostik tahun 1985, perkembangannya pun makin pesat seperti dalam hal aritmia, angina pektoris ataupun infark miokard.
Publikasi beberapa studi mengenai nilai prognostik berawal di tahun 1960, ketika LVH yang direkam dari EKG menunjukkan peningkatan mortalitas akibat CVD pada pasien di rumah sakit sama halnya dengan populasi umum.
Perubahan EKG lainnya yang menunjukkan secara signifikan memiliki nilai prognostik adalah abnormalitas gelombang Q, ST-T dengan atau tanpa gelombang R kiri yang tinggi, durasi QRS yang panjang dan AF. Walaupun demikian, rotasi clockwise dan counterclockwise belumlah diteliti sebagai nilai prognostik.
Sehingga dilakukanlah studi kohort oleh Nakamura et al. untuk mengetahui nilai prognostik rotasi clockwise dan counterclockwise pada mortalitas CVD di Jepang.
Menggunakan 9.067 pasien (44% laki-laki; rerata usia 51 tahun) dari tahun 1980-2004 berdasarkan NIPPON DATA80 yang di follow up selama 24 tahun.
Selama follow up 24 tahun, didapatkan mortalitas sebesar 2.581 dengan 887 mortalitas akibat CVD, 179 akibat CHD, 173 akibat gagal jantung dan 411 akibat stroke.
Rotasi clockwise secara signifikan positif berhubungan dengan gagal jantung pada pasien laki-laki dan perempuan (HR 1.79; 95% CI 1.13-2.83; p = 0.013), CVD pada pasien laki-laki dan perempuan (HR 1.49; 95% CI 1.12-1.98; p = 0.007 pada laki-laki; HR 1.28; 95% CI 1.02-1.59; p = 0.03 pada keduanya).
Serta mortalitas total pada pasien laki-laki dan keduanya (HR 1.19; 95% CI 1.00-1.49; p = 0.0496 pada laki-laki; HR 1.15; 95% CI 1.00-1.32; p = 0.045 pada keduanya).
Rotasi counterclockwise secara signifikan negatif berhubungan dengan stroke pada pasien laki-laki dan perempuan (HR 0.77;95% CI 0.62-0.96; p = 0.017), CVD pada pasien laki-laki dan perempuan (HR 0.74; 95% CI 0.59-0.94; p = 0.011 pada laki-laki; HR 0.81; 95% CI 0.70-0.94; p = 0.006 pada keduanya) dan mortalitas total pada pasien perempuan (HR 0.87; 95% CI 0.77-0.98; p = 0.023).
Hal ini dapat terjadi mungkin dikarenakan prevalensi spesifik usia pada rotasi clockwise dan counterclockwise mungkin saja berhubungan, dimana rotasi clockwise lebih sering terjadi pada usia tua sedang counterclockwise tidak.
Rotasi clockwise jarang didapatkan pada kelompok BMI sedang, akan tetapi rotasi counterclockwise lebih banyak ditemukan.
Gelombang Q ringan, deviasi aksis, depresi ST, inversi gelombang T dan AF lebih sering terdapat pada rotasi clockwise dibandingkan pasien normal, sedangkan rotasi counterclockwise dibandingkan dengan pasien normal akan lebih banyak ditemukan hal tersebut. (Circulation 2012; 125: 1226-1233)

SL Purwo

Meta-analisis Prediabetes untuk Pencegahan PKV

IGT, gangguan toleransi glukosa dan IFG, gangguan glukosa puasa telah lama dianggap status prediabetes bagi respondennya. Terapi untuk memperlambat terjadinya diabetes secara potensial mengurangi angka kejadian penyakit kardiovaskular (Cardio-Vascular Disease=CVD). Menyoroti hal ini memerlukan klarifikasi apakah dengan memberikan intervensi (seperti diet, olahraga dan terapi farmakologis) dapat mengubah seluruh penyebab kematian atau mortalitas CVD pada subjek-subjek yang terlibat?
Prediabetes memasukkan IGT dan IFG, IGT didefinisikan sebagai pasien dengan kadar gula darah puasa kurang dari 7,0 mmol/l (126 mg/dl) dan 2-jam glukosa plasma dengan 75 g per oral glukosa dengan toleransi tesnya antara 7,8 dan 11,0 mmol/l (140 mg/dl dan 199 mg/dl), dan IFG didefinisikan apabila kadar plasma glukosanya antara 6,1 – 6,9 mmol/l (110 <126 mg/dl). Ini dimasukkan dalam status tengah regulasi-glukosa-abnormal. Kira-kira 7% orang dewasa terkena IGT atau IFG dan prevalensinya lebih besar dari diabetes tipe 2. Oleh karena itu IGT dan IFG adalah faktor risiko diabetes dan CVD. Kesemuanya itu dihubungkan dengan meningkatnya angka kematian terutama akibat CVD apabila dibandingkan dengan populasi yang memiliki toleransi glukosa normal yang telah disesuaikan umur dan jenis kelaminnya.
Pencegahan diabetes memiliki potensi pencegahan terhadap CVD dan intervensi pre-diabetes dengan perubahan gaya hidup serta obat-obatan mencegah berkembangnya penyakit menjadi diabetes. Walaupun demikian kontrol ketat gula darah penderita diabetes tipe 2 tidak menurunkan angka komplikasi CVD tetapi jelas menurunkan angka komplikasi mikrovaskuler.
Upaya menghambat perjalanan penyakit pada tahap awal ketika sudah terjadi gangguan toleransi glukosa  tetapi belum terjadi diabetes, kejadian makrovaskuler secara potensial dapat diturunkan.
Meta-analisis dilakukan terhadap penelitian prospektif, dengan random terkontrol yang telah dilaporkan pada literatur kedokteran dipakai sebagai data dasar. Penelitian diikut sertakan apabila mereka melaporkan paling sedikit angka seluruh penyebab kematiannya yang diteliti sedikitnya 100 pasien dan paling sedikit di ikuti selama setahun. Intervensi dibagi dalam farmakologi dan non-farmakologi.
Sepuluh RCT yang melibatkan 23.152 pasien yang memenuhi kriteria tersebut diatas. Penelitian dilakukan rata-rata sepanjang 3,75 tahun. Diabetes dapat ditunda atau terprevensi berdasarkan intervensi: kontrol (angka risiko 0,83; 95%CI 0,80-0,86). Pendekatan tanpa-obat (n = 3495) lebih superior dibandingkan dengan obat (n = 20,872) pada prevensi diabetes (0,52; 0,46-0,58 vs 0,70; 0,58-0,85; P< 0,05). Tidak ada perbedaan risiko pada seluruh penyebab angka kematian pada kelompok intervensi lawan kelompok kontrol (0,96; 0,84-1.10) dan tidak ada perbedaan pada angka kematian PJK (1,04; 0,61-1,78). Terjadi kecenderungan yang tidak bermakna terhadap berkurangnya angka kematian infark miokard baik fatal maupun non-fatal (0,59; 0,23-1,50). Stroke fatal maupun non-fatal nyaris meyakinkan berkurang (0,76; 0,58-0,99) pada intervensi maupun kontrol.
Studi-studi yang dievaluasi dengan meta analisis ini kurang kekuatannya untuk menilai angka kematian umum maupun kejadian kardiovaskular, pada umumnya menggunakan populasi dengan risiko kardiovaskularnya yang rendah yaitu prediabetes ditambah pendeknya waktu yang pengamatan. Namun ketika diamati dengan meta-analisis, interval keyakinannya di sekitar titik estimasi menjadi luas.
Walaupun sukses dalam prevensi diabetes, tetapi tidak berhasil mempengaruhi hasil yang positif terhadap makrovaskuler, dapat diterangkan karena sebab-sebab tersebut diatas yaitu sedikitnya jumlah kasus, pendeknya intervensi dan pengamatannya untuk menilai angka-angka mortalitas yang diharapkan. Kemungkinan lain adalah kehadiran dari faktor risiko yang non-glikemik termasuk hipertensi, dislipidemia, hiperkogulabilitas, dan obesitas memiliki dampak yang lebih besar dari pada kontrol glikemik yang diberikan.
Berdasarkan analisis terhadap prediabetes yang dihubungkan dengan penelitian dengan pasien yang nyata-nyata menderita diabetes tipe 2, peranan penurunan kadar gula darah untuk preventif terhadap PKV memang masih belum jelas. Penelitian UKPDS memperlihatkan reduksi yang tidak bermakna pada angka kejadian makrovaskular padahal sudah terjadi penurunan HbA1C pada diabetes tipe 2. Analisis-meta pada penelitian ini hasilnya sama-sama menemukan kecenderungan tidak bermaknanya penurunan infark miokard dan stroke pada prediabetes. Hasil sebaliknya didapatkan penelitian ACCORD menemukan justru kontrol glukosa darah lebih ketat menghasilkan peningkatan angka kematian. Lebih banyak studi diperlukan untuk klarifikasi masalah ini.
Disimpulkan, bahwa suksesnya intervensi dalam menghambat diabetes tidak menghasilkan penurunan seluruh angka kematian, kardiovaskuler, maupun infark miokard, dengan kemungkinan ada perkecualian pada angka kematian akibat stroke.
(Hopper I, Billah B, Skiba M, Krum H. Prevention of diabetes and reduction in major cardiovascular events in studies of subjects with prediabetes: meta-analysis of randomised controlled clinical trials. Eur J Cardiovasc Prev Rehabil 2011; 18(6): 813-823)
Budhi Setianto

Pengukuran Serial Troponin T Kardiak Menggunakan Pemeriksaan yang Sensitif pada Pasien Gagal Jantung Kronis

“Perubahan yang kecil pada kadar hs-cTnT sepanjang waktu pemeriksaan merupakan prediktor kejadian kardiovaskuler di masa datang pasien gagal jantung kronis”.

KADAR troponin T yang sangat kecil di sirkulasi dapat terdeteksi pada populasi umum dengan pemeriksaan terbaru yang sangat sensitif dan dihubungkan dengan hasil akhir kardiovaskuler (CV).
Selain infark miokard akut, peningkatan kadar troponin juga terjadi pada  beberapa keadaan penyakit kronis diantaranya, penyakit arteri koroner (CAD), DMT2, ataupun penyakit ginjal kronik.
Troponin beredar di sirkulasi dengan kadar yang sangat kecil pada gagal jantung (HF) kronis stabil dan memprediksikan hasil akhir yang tidak baik.
Mekanisme beredarnya kadar troponin yang kecil ini tidaklah diketahui secara pasti dan tidak hanya mencerminkan adanya kerusakan miosit yang masih berlangsung tetapi juga mungkin dihubungkan dengan penyebab nonkardiak  seperti penyakit paru ataupun insufisiensi ginjal kronik dimana kejadian tersebut jarang terjadi sebagai komorbid pada HF.
Pemeriksaan kadar troponin T kardiak sensitivitas tinggi (hs-cTnT) merupakan prediktor kuat terhadap hasil akhir yang buruk.
Beberapa studi memperlihatkan perubahan kadar hs-cTnT sepanjang waktu dapat memberikan informasi prognostik tambahan dibandingkan pemeriksaan tunggal.
Untuk menentukan hubungan antara perubahan sepanjang waktu hs-cTnT dan hasil akhir pada pasien HF studi Val-HeFT dan GISSI-HF dilakukanlah studi oleh Masson et al.
Studi ini menganalisis 5284 pasien HF dari 2 studi randomisasi independen Val-HeFT (n = 4053) dan GISSI-HF (n = 1231).
hs-cTnT diperiksa randomisasi dan setelah 3 bulan (GISSI-HF) atau 4 bulan follow-up (Val-HeFT).
Hubungan antara perubahan hs-cTnT sepanjang waktu dan berbagai hasil akhir dilakukan perhitungan model multivariabel.
Kedua studi memperlihatkan peningkatan kadar hs-cTnT sepanjang waktu yang dihubungkan dengan usia, DMT2, perburukan fungsi ginjal (penurunan eGFR) serta pada peningkatan kadar NT-proBNP.
Peningkatan kadar hs-cTnT dihubungkan dengan mortalitas oleh semua sebab (IR 8.19 [7.51-8.88] dan 6.79 [5.98-7.61] per 100 orang per tahun pada Val-HeFT dan GISSI-HF, dengan HR [95%CI] 1.59 [1.39-1.82] dan 1.88 [1.50-2.35]) setelah penyesuaian dengan faktor risiko konvensional dan nilai dasar hs-cTnT serta NT-proBNP.
Perubahan kadar hs-cTnT memperlihatkan perbaikan nilai prognostic terhadap nilai dasar hanya untuk hasil akhirnya saja, sehingga dapat dikatakan hal tersebut sebagai prediktor kejadian CV di masa datang pada pasien HF kronis. (Circulation 2012; 125: 280-288)
SL Purwo

Fokus Hanya pada Plak Rapuh Saja Tidak Cukup untuk Memprediksi Kejadian Koroner Akut

SEBAGIAN besar plak koroner yang pecah tidak menyebabkan kejadian koroner akut, sehingga upaya untuk memprediksi dan mencegah kejadian koroner akut perlu mengintegrasikan berbagai faktor penyebab, selain identifikasi plak yang rapuh, demikian para peneliti berpendapat dalam review di jurnal Circulation tanggal 6 Maret 2012.
“Suatu kejadian koroner akut merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai faktor yang tampaknya termasuk komponen dari kesempatan, menghambat kemampuan kita untuk menilai resiko kejadian koroner seperti itu terjadi,” demikian Dr Armin Arbab-Zadeh (Johns Hopkins University, Baltimore, MD) dan rekan-rekannya berpendapat. Keputusan Dr Arbab-Zadeh, Dr Masataka Nakano (CV Path Institute, Gaithersburg, MD), Dr  Renu  Virmani  (CV Path Institute), dan Dr Valentin Fuster (Mount Sinai School of Medicine, New York, NY) untuk berkolaborasi dalam review ini ”datang  karena pemikiran bahwa terdapat  banyak  bukti  bahwa plak rapuh tidak seberbahaya seperti yang diperkirakan,” ujar Arbab-Zadeh.
”Sepertinya masih terdapat paradigma yang berlaku bahwa kejadian koroner akut terjadi akibat pecahnya plak dan kemudian terjadilah sebuah event. Seperti itulah mekanisme yang dijelaskan dalam buku pelajaran. Hal tersebut mengganggu saya selama beberapa waktu ini, karena terdapat  banyak bukti bahwa hubungan ini lebih kompleks daripada yang diperkirakan.”
Sementara kejadian koroner akut biasanya disebabkan oleh erosi atau ruptur dari plak aterosklerosis, umumnya sebagian besar plak yang pecah menyembuh dan berkembang tanpa menyebabkan gejala, dan memprediksi plak mana yang pecah dan akan menimbulkan gejala adalah sulit, penulis menjelaskan. Karena itu, “mengintegrasikan karakteristik arteri koroner dan proses trombosis menjadi model yang komprehensif tampaknya merupakan metode yang paling menjanjikan untuk penilaian faktor resiko sindrom koroner akut pada pasien,” menurut Arbab-Zadeh dkk.
Arbab-Zadeh mengutip Providing Regional Observations to Study Predictors of Events in the Coronary Tree (PROSPECT) studi sebagai bukti kuat bahwa terjadinya ruptur plak sebagian besar tidak menimbulkan gejala. Dalam studi 697 pasien, virtual histologi intravascular ultrasound (IVUS) menemukan 595 fibroatheroma dengan inti plak yang rapuh (vulnerable thin-cap) pada 313 pasien, tetapi hanya 26 plak yang terbukti memiliki kejadian sindrom koroner akut, dan sebagian besar berkaitan dengan kejadian rehospitalisasi untuk angina tidak stabil atau progresif. Lebih dari 3000 lesi non culprit yang teridentifikasi oleh IVUS sebagai baseline pada 673 pasien dengan sindrom koroner akut, tetapi hanya enam dari mereka yang kemudian timbul infark miokard.
“Anda mungkin hanya menggonggong pohon yang salah, karena jika plak ini pecah dan tidak menyebabkan event pada sebagian besar kasus, pentingnya plak rapuh ini berkurang nilainya dari sudut pandang klinis,” kata Arbab-Zadeh. ”Ada begitu banyak penekanan pada identifikasi plak rapuh untuk mencegah terjadinya event tetapi bahkan jika Anda telah mengidentifikasi plak rapuh, Anda mungkin tidak perlu mencegah terjadinya event, karena sebagian besar, tidak akan terjadi apa–apa, plak yang ruptur ini akan menyembuh dan hanya menyebabkan perkembangan stenosis.”
Dia juga menekankan bahwa karakterisasi plak koroner pada satu waktu tidak dapat memberikan gambaran yang akurat mengenai resiko pasien, karena plak berubah seiring waktu dan dapat menjadi lebih atau kurang rentan untuk pecah dalam periode yang singkat dalam beberapa bulan.

Pemetaan faktor konstelasi yang berperan terhadap terjadinya kejadian koroner akut
“Hanya dalam keadaan yang sangat  spesifik pecahnya plak menyebabkan timbulnya sindrom koroner akut, dan tantangannya adalah untuk memahami proses kompleks dari situasi tersebut,” kata Arbab -Zadeh. Arbab-Zadeh dkk membuat daftar 36 faktor yang berkontribusi terhadap risiko terjadinya sindrom koroner akut yang terbagi dalam enam kategori umum:
* Plak karakteristik, termasuk lokasi lesi, disfungsi endotel, dan komposisi plak.
* Dinamika aliran darah, termasuk tegangan pada permukaan plak (shear stress), hipertensi, dan viskositas darah.
* Faktor intrinsik hemostasis seperti fungsi trombosit dan volume.
* Metabolik dan kondisi peradangan seperti infeksi, penyakit ginjal, diabetes, atau obesitas.
* Ketidakseimbangan neurohormonal termasuk stres atau depresi.
* Faktor-faktor lingkungan seperti obat, diet, merokok, atau gaya hidup.

Memahami bahwa Sindrom koroner akut paling sering disebabkan oleh plak yang pecah (rupture) akan tetapi umumnya plak yang pecah (rupture) tidak menyebabkan sindrom koroner akut “pasti harus  mengubah cara kita melihat pasien yang   beresiko,” kata Arbab-Zadeh. Selain faktor resiko pasien seperti gaya hidup, hipertensi, merokok dan lainnya, fokus klinis utama kita sekarang harus pada identifikasi beban plak total, agresivitas pertumbuhan plak , dan lokasi dari plak, karena hubungan antara resiko terjadinya sindrom koroner akut dan ketiga karakteristik aterosklerosis ini sudah banyak dibuktikan, demikian kata Arbab-Zadeh. “Penelitian harus mengalihkan fokus dari karakteristik plak saja dan mulai menggabungkan faktor-faktor yang kita ketahui memberikan kontribusi terhadap kejadian sindrom koroner akut, dan menemukan cara untuk mengintegrasikan informasi ini.”
Pasien dengan aterosklerosis koroner harus berusaha untuk mencegah plak terus tumbuh dan mengurangi resiko terjadinya plak yang pecah dengan bekerja sama dengan dokter mereka untuk mengelola tingkat lipid dan mengontrol diabetes serta faktor-faktor resiko lain yang mereka miliki.
Dr Steven Nissen dari Cleveland Clinic,Ohio, berpendapat bahwa selama bertahun-tahun ini, berbagai macam teknik diagnostik yang telah dirancang untuk mendeteksi plak rapuh, termasuk diantaranya termografi, virtual histology, dan optical coherence tomography (OCT), tidak membawa hasil sesuai yang diharapkan oleh para pengembangnya, hal ini dijelaskan oleh Arbab-Zadeh dkk. Nissen menyatakan kepada heartwire bahwa dia setuju dengan Ar-bab-Zadeh dkk bahwa konsep ‘plak rapuh’ terlalu sederhana jika dikaitkan dengan kejadian koroner akut, Karena kejadian koroner akut berhubungan dengan berbagai faktor resiko, yang hanya salah satunya menyangkut morfologi plak.
Upaya untuk memahami dan mencegah kejadian koroner akut memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme kompleks yang terlibat dalam perubahan koroner stabil menjadi tidak stabil.
Arbab-Zadeh didanai oleh hibah pengembangan karir dari National Institutes of Health. (www.theheart.org/article/1368567.do)

Referensi:
Arbab-Zadeh A, Nakano M, Virmani R, Fuster V. Acute coronary events. Circulation 2012; 125:1147-1156. 22392862

Kabul Priyantoro

Viability dengan Cardiac MR sebagai Jawaban STICH Trial

THE Surgical Treatment for Ischemic Heart Failure (STICH) trial, merupakan studi oleh Bonow dkk, yang memicu perdebatan tentang manfaat penilaian viability pada pasien sebelum menjalani revaskularisasi. Dalam studi tersebut, sesuai judul studi yang menggunakan pendekatan bedah, revaskularisasi pilihannya adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Kesimpulan sub studi viability STICH, yang dipublikasikan April tahun 2011 yang lalu di New England Journal of Medicine (NEJM), adalah bahwa penilaian viability dengan nuklir (SPECT) dan dobutamine stress echo atau kombinasi keduanya, yang berdasarkan hasilnya kemudian dibagi menjadi 2 grup: grup yang viable dan yang non viable, kemudian grup yang viable dibagi lagi menjadi 2 grup, salah satu grup menjalani CABG dan terapi medikamentosa optimal, sementara grup lainnya terapi medikamentosa optimal saja, mengungkapkan risiko kematian yang tidak berbeda bermakna (31,2% dan 35,4% berurutan, p=0,53). Kesimpulan ini seakan bertentangan dengan pemahaman makna viability   itu sendiri yaitu kemungkinan untuk pulih pasca revaskularisasi.
Selama ini telah diketahui bahwa kesintasan jangka panjang pada pasien dengan penyakit jantung koroner (CAD) dan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri (LV) yang rendah sangat buruk, sehingga tujuan utama manajemen pada kelompok pasien ini adalah menentukan pasien mana yang akan mendapatkan manfaat dari revaskularisasi. Pasien yang mendapatkan manfaat dari revaskularisasi adalah pasien yang masih memiliki miokard yang viable, yaitu masih ada kemungkinan pulih bila telah mendapat suplai darah lagi, sehingga akan menunjukkan keluaran yang baik pasca tindakan revaskularisasi. STICH trial membuktikan walaupun dari hasil nuklir dan dobutamine stress echo hasilnya viable, revaskularisasi tidak memberikan manfaat tambahan di atas terapi medikamentosa saja selama observasi 5 tahun.
Namun bila kita perhatikan empat keterbatasan studi STICH diungkap dalam  artikel tersebut yang salah satunya menyebutkan bahwa modalitas yang digunakan adalah SPECT (nuklir) dan dobutamine stress echo, sementara modalitas delayed-enhanced cardiac magnetic resonance (DE-CMR) atau dikenal dengan transmurality Late Gadolinium Enhancement (LGE) tidak digunakan dalam penelitian tersebut.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa transmurality LGE mampu memprediksi pemulihan disfungsi ventrikel kiri (LV) pasca revaskularisasi dan perbaikan fraksi EF. Baru-baru ini pada terbitan Februari 2012, JACC mempublikasikan suatu studi prospektif yang dimulai sejak tahun 2009 oleh Gerber dkk yang mengevaluasi kesintasan dari 144 pasien (130 diantaranya pria), berumur 65 + 11 tahun, dengan CAD dan disfungsi LV (EF 24 + 7%) yang diperiksa menggunakan DE-CMR, pasien dikelompokkan viable bila transmurality LGE <50%. Delapan puluh enam pasien menjalani revaskularisasi komplit (79 CABG, 7 PCI), sementara sisanya 58 pasien hanya mendapat terapi medikamentosa. Dilakukan pengamatan selama 3 tahun, didapatkan 49 pasien meninggal. Kesintasan selama tiga tahun pada pasien yang hanya mendapatkan terapi medikamentosa pada disfungsi miokard yang masih viable, lebih buruk dibanding yang non viable, dengan perbedaan bermakna secara statisitik (48% vs 77% survival, p = 0.02), namun pada grup pasien yang menjalani revaskularisasi, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara pasien viable dengan yang non viable (88% vs 71%, p =NS). Risiko terjadinya kematian tetap lebih tinggi secara bermakna pada pasien viable yang hanya mendapat terapi medikamentosa dibandingkan yang dilakukan revaskularisasi (Hazard Ratio : 2.5 [95%CI: 1.1 to 6.1], p = 0.02). Studi ini menunjukkan bahwa revaskularisasi pada pasien dengan miokard yang viable dapat memperbaiki keluaran, dibandingkan hanya mendapatkan terapi medikamentosa.
Kesimpulan dari temuan kedua studi tersebut adalah bahwa penilaian viability dengan nuklir dan dobutamine stress echo tidak membuktikan memberi manfaat klinis untuk pemilihan pasien CABG, sehingga penilaian viability perlu memanfaatkan modalitas DE-CMR yaitu transmurality LGE yang terbukti menunjukkan perbedaan kesintasan pasien viable yang dilakukan revaskularisasi dengan yang tidak. Dengan demikian STICH trial tidak mengubah pemahaman dasar bahwa membiarkan pasien dengan miokard yang viable tanpa revaskularisasi meningkatkan risiko kematian pasien tersebut. Untuk menjadi catatan bahwa kedua penelitian tersebut tidak membicarakan tentang ischemic burden atau beban iskemik di luar scar yang juga menjadi salah satu prediktor risiko kejadian kardiovaskular yang telah mapan sejak publikasi Hachamovitch dkk di jurnal Circulation pada tahun 2003. (Reff. Redaksi) (Circulation 2003; 107: 2900) 


Gambar 1. STICH trial menunjukkan pada pasien viable, CABG+medikamentosa sama dengan medikamentosa saja.

Gambar 2. Gerber et al membuktikan bahwa pada pasien viable, revaskularisasi+medikamentosa lebih baik daripada medikamentosa saja. 


Referensi:
1. Bonow RO et al. Myocardial viability in ischemic left ventricular dysfunction. N Engl J Med 2011;364:1617-25.
2. Gerber BL et al. Prognostic value of myocardial viability by delayed-enhanced magnetic resonance in patients with coronary artery disease and low ejection fraction. J Am Coll Cardiol 2012;59:825-35.
3. Hachamovitch R et al. Comparison of the short-term survival benefit associated with revascularization compared with medical therapy in patients with no prior coronary artery disease undergoing stress myocardial perfusion single photon emission computed tomography. Circulation 2003; 107:2900.

Novi Anggriani

Penghambat Renin-Angiotensin Bermanfaat pada Gagal Jantung dengan Penyakit Ginjal

SINDROM kardiorenal adalah kasus yang sering menyulitkan perawatan jangka panjang pasien gagal jantung kronik. Seringkali kita teralihkan perhatian dari mengobati gagal jantung menjadi berusaha mengobati perburukan ginjal, padahal ada kemungkinan bahwa perburukan fungsi ginjal tersebut diakibatkan oleh penurunan perfusi glomerulus akibat penurunan curah jantung yang terjadi pada pasien gagal jantung, sehingga teralihkannya perhatian kita, membuat tanpa disadari semakin memperburuk fungsi ginjal tersebut akibat tidak teratasinya penurunan perfusi glomerulus.
Suatu penelitian baru mengemukakan bahwa manfaat dari sistem penghambat renin-angiotensin pada gagal jantung sistolik dapat digunakan secara luas termasuk pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease – CKD). Padahal sebagaimana kita ketahui penghambat renin-angiotensin pada penyakit ginjal berisiko meningkatkan angka serum kreatinin dan kadar kalium dalam darah. Terbukti dalam penelitian tersebut, pasien usia lanjut dengan gagal jantung sistolik dan CKD yang mendapatkan terapi penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) atau penyekat reseptor angiotensin (ARB) saat dipulangkan setelah perawatan, memiliki penurunan angka kematian 14% selama pengamatan 8 tahun lebih.
Dr. Ali Ahmed dari Universitas Alabama di Birmingham menyatakan bahwa manfaat penghambat ACE dan ARB pada pasien gagal jantung sistolik sudah jelas. Namun, harus diperhatikan keamanan penggunaannya dan manfaatnya pada pasien gagal jantung berusia lanjut dan pasien gagal jantung dengan CKD, dan bahwa sebagian besar pasien gagal jantung adalah pasien usia lanjut yang juga menderita CKD.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa penghambat ACE dan ARB dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan pada pasien dengan gagal jantung sistolik dengan CKD ringan-sedang.
Dari American Journal of Medicine diketahui bahwa penelitian tersebut menyertakan 1.665 pasien dengan ejection fraction (EF) <45% dan estimated glomerular filtration rate (eGFR) <60 mL/min. Sebanyak 1046 (63%) pasien diberikan terapi penghambat ACE (n=866) atau ARB (n=180) saat dipulangkan, dan 17 pasien menerima kedua obat tersebut.
Peneliti menggunakan propensity score matching untuk mengumpulkan kohort dari 444 pasang pasien yang mendapatkan dan tidak mendapatkan terapi ini, yang memiliki 56 karakteristik dasar yang seimbang. Dari 888 pasien tersebut, 591 pasien menderita CKD stadium 3B atau lebih.
Selama pemantauan 8 tahun lebih, kematian terjadi sebesar 75% dan 79% masing-masing pada pasien dengan CKD yang mendapatkan terapi dan tidak mendapatkan terapi (hazard ratio 0,86; p=0,045). Penurunan yang serupa juga didapatkan pada angka seluruh penyebab kematian pada sub kelompok pasien dengan eGFR <45 mL/min (HR 0,83; p=0,046).
Efek proteksi lebih jelas terlihat pada pasien-pasien yang menerima terapi tersebut pada dosis targetnya atau lebih.
Dr. Ahmed menyatakan ada kemungkinan bahwa efek obat-obatan tersebut pada pasien dengan CKD tidak seefektif pada pasien tanpa CKD. Diantara 171 pasang pasien tanpa CKD, penghambat renin-angiotensin berkaitan dengan hampir 30% penurunan angka kematian karena semua hal (HR 0,72; p=0,015) dan angka hospitalisasi gagal jantung (HR 0,71; p =0,023).

Gambar 1. Kurva Kaplan – Meier untuk segala penyebab kematian pada propensity-matched cohort dari pasien usia lanjut dengan gagal jantung sistolik dengan CKD yang menerima dan tidak menerima penghambat ACE atau ARB saat dipulangkan setelah perawatan. CI = confidence interval.

Dr. Robert A. Phillips dari Universitas Massachusetts di Worcester yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan “Dokter spesialis dan dokter umum seringkali khawatir dalam memberikan penghambat renin-angiotensin seperti penghambat ACE atau ARB, ketika terdapat penurunan GFR, tetapi sebenarnya pasien-pasien tersebutlah yang mendapatkan manfaatnya. Hal ini  dapat dilihat pada penelitian African American mengenai penyakit ginjal dan hipertensi” – (Arch Intern Med. 2009; 169: 1587-1594) – “dan pada penelitian tersebut hanya didapatkan sedikit kejadian hiperkalemia.”
Dr. Ahmed dan rekan-rekan mengemukakan beberapa faktor yang membedakan penelitian mereka dengan penelitian-penelitian sebelumnya, antara lain besar sampel, lama waktu observasi, penggunaan metodologi yang lebih akurat, penggunaan penghambat ACE dan ARB, dan penggunaan   terapi kontemporer untuk gagal jantung   sistolik.
Namun menurut Dr. Phillips, penelitian tersebut bukanlah suatu penelitian randomisasi sehingga bisa terjadi bias. Selain itu mereka tidak mengikuti intermediate end points sehingga tidak diketahui insiden hiperkalemia atau efek samping lainnya. Tetapi dalam hal angka kematian, terapi yang diberikan tampaknya memang memberi manfaat pada pasien gagal jantung dengan penurunan EF dan eGFR yang cukup rendah. Kita tetap harus berhati-hati dalam memantau pasien-pasien yang diberikan terapi penghambat renin-angiotensin.
Dr. Ahmed menyatakan bahwa dari seluruh pasien gagal jantung, obat-obatan ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat alergi atau riwayat efek samping dengan penggunaan sebelumnya, dan harus digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan tekanan darah sistolik yang rendah, tingkat kalium darah yang tinggi, dan gagal ginjal.
Pelajaran yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah ada bukti bahwa pada pasien dengan sindrom kardiorenal yang memiliki kemungkinan besar bahwa penurunan fungsi ginjalnya diakibatkan oleh penurunan perfusi glomerulus, tidak perlu takut untuk tetap memberikan penghambat sistim renin-angiotensin, dengan tetap memantau dinamika kadar kreatinin selama pengobatan, karena jika benar, akan bermanfaat menurunkan risiko kematian pasien. (http://bit.ly/yRpJYA)
Rahmalia Gusdina

Senin, 02 April 2012

Kardiologi Kuantum (Brain-Mind-Heart)

“There are more things in heaven and earth, Horatio, than are dreamt of in your philosophy” (Shakespeare, Hamlet)

KARDIOLOGI Kuantum dapat dianggap sebagai jembatan pengetahuan untuk mempelajari Body (fisik), Mind (mental) dan Soul (spiritual, pusat imateri), yang memandang mind memiliki sifat gelap dan terang. Gelap adalah sifat dari “selubung” fisiknya dan terang (sadar) adalah sifat yang berasal dari “pusat” imaterinya. Gelap adalah bersifat asadar dan terang berarti sadar karena refleksi dari sadar kolektif dari dalam pusat imateri (soul, spiritual, ketuhanan).
Apakah kognisi itu? rupanya diambil dari bahasa Latin 'cognitio', yang kira-kira diartikan sebagai suatu pengertian proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengertian, hubungan sosial dan penemuan. Menurut Lionel Opie dalam bukunya Living longer, living better. Exploring the heart-mind connection, suatu hadiah tak terduga dari Dr. Sunarya Soerianata SpJP, 'intervensionist' senior kepada Kardiologi Kuantum agar bersifat membumi dan memiliki 'dataran permainan' yang sama dengan buku tersebut. Buku tersebut dipublikasikan pertama kali oleh penulisnya tahun 2011. Lionel H. Opie adalah saintis (jantung) terkemuka Afrika Selatan, anggota sekelompok kecil ilmuwan-komunikator berkelas dunia. Buku-bukunya merupakan acuan standar di dunia ilmu pengetahuan.

Bagan Transenden 1. Pengetahuan (cognition) adalah suatu kualitas yang meliputi memori. Pengetahuan memerlukan fungsi dari otak dan mental/psike. Pencantuman garis-garis pemisah antar dimensi, [keterangan], makro dan mikrokosmos, dan pancaindra adalah tambahan penulis agar dapat dibandingkan dengan Kardiologi Kuantum. (Sumber: Lionel H. Opie. Living longer, living better. Exploring the heart-mind connection. Noida: Saurabh Printers Pvt. Ltd. Reprinted 2012. h. 138.). Bagan aslinya ditulis bersama Joseph Raimondo di Chapter 7. h. 137.

Pada Bagan Transenden 1 jelas terlihat bahwa 'Brain' adalah bagian dari soma, jasmani kasar, termasuk dalam body. Apabila makrokosmos adalah Dimensi-1, maka brain berada dalam Dimensi-2 (fisik), mind dan cognition berada pada Dimensi-3 (mental). Opie sama sekali tidak menyentuh Dimensi-4 (spiritual): soul, pusat imateri yang merupakan pusat dari mikrokosmos.
Kardiologi Kuantum membayangkan dan membandingkan kata jantung yang bersamaan artinya dengan heart (Inggris) dan qalb (Arab). Dalam bahasa Indonesia pemahaman makna kata 'jantung' terasa unik. Ketika berubah orientasi ke dalam dada, bersifat transendental, imanen dan esoteris, maka kata jantung dipahami sebagai hati atau kalbu, misalnya hatiku berdebar, padahal jantungnya yang berdetak. Atau sembah kalbu (transendental meditation), yang mengatur nafas seraya mengucap nama-Nya akan mengatur detak jantung secara teratur tenang. Padahal sebagai bahasa Arab (qalb) dan bahasa Inggris (heart) tetap sebagai jantung, tidak berubah makna walaupun esoteris. Pemaknaan dalam bahasa Indonesia terasa semakin unik, ketika ada dua istilah anatomik yang menjadi satu ungkapan jantung hati-ku. Inilah kekayaan makna bahasa Indonesia yang perlu mendapat perhatian kita bersama.

Bagan Transenden 2. Intuisi adalah 'The sacred gift' (Einstein) dari Pusat Imateri (D4). Baik Opie, Descartes maupun Einstein tidak menyebut hipotesis Dimensi-4 (spiritual, soul atau tentang ketuhanan). Kardiologi Kuantum secara imajinasi membagi kosmos menjadi makro dan mikro-kosmos dengan 4 (empat) dimensi / matra-nya untuk menjelaskan semua fenomena alam.

Pada Bagan Transenden 2 jelas terlihat bahwa 'Jantung' dan brain adalah di dalam soma, jasmani kasar, termasuk di dalam body. Apabila makrokosmos adalah Dimensi-1, maka jantung dan brain berada dalam Dimensi-2 (mikrokosmos), sementara itu 'hati' diartikan sebagai mind dan cognition berada pada Dimensi-3. 'Hati' di sini lebih berarti perasaan, yang menurut Candra Jiwa Indonesia merupakan suasana yang terjadi akibat berinteraksinya angan-angan dan nafsu-nafsu. Kalau Opie sama sekali tidak menyentuh Dimensi-4, justru Kardiologi Kuantum membenarkan adanya Dimensi-4 sebagai pusat imateri, spiritual, soul, yang merupakan pusat (terdalam) dari mikrokosmos. Dalam hal inilah Kardiologi Kuantum sebagai jembatan pengetahuan antara Dimensi-2 (Body) dan Dimensi-4 (Soul).
Apakah hipotesis Kardiologi Kuantum dapat diterima, persoalannya lain lagi karena dalam penelitian yang bersifat kualitatif tentang mental, jiwa dapat dilakukan melalui introspeksi, uniknya dalam penelitian semacam ini antara peneliti dan yang dite-liti tidak-ada-jarak. Biasanya penelitian ada jarak antara peneliti dan objek penelitiannya, misalnya pemeriksaan rekaman EKG pasien. Kardiologi Kuantum secara holistik-ekliktik (memilih yang terbaik) tentu saja menerima 'pesan-pesan kuantum' fisikawan kuantum dunia seperti Max Planck, Albert Einstein, Niels Bohr, Erwin Schrödinger dan John Bell.
Yang sering disebut intuisi dalam sehari-hari perlu diperhatikan bahwa intuisi itu berkah, tidak disadari kapan datangnya. Setiap orang senantiasa bermimpi, berpikir, tetapi intuisi mencari orangnya. Intuisi adalah bertemunya antara prinsip alam dan prinsip ketuhanan (Natur Prinzip dan Geist Prinzip) menurut Carl Gustav Jung. Bertemunya Sadar Pribadi dan Sadar Kolektif menurut Candra Jiwa Indonesia.
Manakala kita menerima keberadaan Dimensi-4 (spiritual) di dalam mikrokosmos manusia sebagai suatu hipotesis sesungguhnya terbuka kesempatan luas untuk memberikan pencerahan perilaku dan empati kepada klien-sehat jantung, pasien-sakit, maupun masyarakat lainnya. Tidak perlu sungkan-sungkan lagi menunjukkan perilaku-perilaku unggulan baik untuk kepentingan pergaulan di masyarakat maupun bekal kembalinya sang Aku ke dalam pusat imaterinya sendiri seperti yang sering disampaikan melalui religi-religi yang ada atau melalui jalur spiritual dan kebudayaan.
Setiap manusia (mikrokosmos) cara memandang, merespons dan beradaptasi dengan makrokosmos memiliki spontanitas dan orisinalitas-nya sendiri sebagai dua ciri khas dari setiap manusia. Meletakkan jalannya sendiri tepat pada jalan orang lain, akan menghasilkan keterikatan kepada tradisi dan prasangka-prasangka justru mengabaikan spontanitas dan orisinalitas-nya sendiri. Mungkin saja bahwa manusia yang satu diperjalanan hidupnya dapat menangkap dengan jelas dan dapat memahami pengalaman-pengalaman orang lain, akan tetapi kedua jalan itu tetap khas bagi pribadi masing-masing.
Dr. Herbert Benson (lahir 1935), adalah kardiolog Amerika lulusan Universitas Wesleyan dan Fakultas Kedokteran Harvard. Selain sebagai Associate Professor di Harvard, beliau adalah founder dari The Mind/Body Medical Institute di R.S.U. Massachusetts di Boston dan mantan direktur dari Benson-Henry Institute (BHI). Publikasi ilmiahnya sebagai penulis utama maupun ko-penulis lebih dari 175 dan telah menulis 11 buku, serta lebih dari 4 juta bukunya dicetak dalam berbagai bahasa.
Tokoh kardiolog ini pionir dalam kedokteran 'fisik/mental' (mind/body), adalah dokter Barat pertama yang membawa spiritualitas dan penyembuhan ke dalam dunia kedokteran. Beliau adalah pionir riset fisik-mental fokus pada stres dan respon relaksasi di dunia kedokteran. Dalam risetnya, 'fisik dan mental berada dalam satu sistim', meditasi berperanan penting dalam mengurangi respon stres. Ia melanjutkan risetnya juga sebagai pionir di sini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan riset 'fisikmental'.
Coba perhatikan, apakah kita juga mampu membedakan satu atau dua kata jantung dan hati, jantung-hati, jantung-'hati', jantunghati, serta jantung'hati'? Kardiologi Kuantum seyogyanya bisa membedakan itu di dalam 'hati' karena ia tidak bosan menyatakan dirinya sebagai transcendence to the depth of the heart and beyond.
Salam Kuantum
Budhi S. Purwowiyoto

It is About Leadership!


DALAM tabloid Kardiovaskuler awal tahun 2012 kita baca tulisan Ketua Umum PERKI dr. Anna Ulfah Rahajoe  tentang Leadership.  Dua tokoh penggagas dan pendiri PERKI pada tahun 1956, telah memperjuangkan misi nasionalnya yang terungkap dalam kegiatan organisasi tersebut. Kini usia PERKI  sudah mencapai 56 tahun, sudah cukup matang sebagai organisasi. Pendidikan Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) yang dimulai sejak 1968 juga telah melaju dengan berbagai upaya dan perjuangan. Dalam masa 44 tahun telah dihasilkan 547 SpJP (30 orang telah tiada). Kini sudah ada 12  Pusat Pendidikan SpJP, berkat kerja keras Kolegium Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah (IJPD). Namun kita harus senantiasa ingat, bahwa tuntutan bukan saja mengejar kuantitas 1.000 SpJP pada tahun 2020, tetapi juga mutu SpJP Indonesia yang minimal setara regional Asean. Semua ini bisa dicapai, kalau ada Leadership yang mumpuni. Kita sambut baik tahapan akreditasi pusat-pusat pendidikan SpJP, yang memacu upaya peningkatan mutu pendidikan SpJP agar mampu bersaing di era globalisasi. Upaya PERKI dan Kolegium IJPD menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang kardiovaskular, merupakan sumbangsih kepada negara demi terciptanya kesehatan masyarakat yang prima, khususnya dalam bidang kesehatan Kardiovaskular.
Mengapa Leadership itu penting dan apa sebenarnya Leadership itu?
Leadership dalam suatu organisasi profesi yang mempunyai misi nasional seperti PERKI, disamping membangun kemampuan profesional serta kesejahteraan anggotanya, yang juga penting adalah membangun integritas anggota!
Leadership bukan sekedar mengelola suatu organisasi, tetapi ada hal-hal yang perlu diperhatikan.
Essensi Leadership adalah, bahwa seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas. Dikatakan, tidak bisa seorang pemimpin hanya meniup trompet yang tak jelas nada dan arahnya. (Theodore M. Hesburgh)
Dan khususnya dalam abad millenium ini dikatakan : Kita melihat jauh memasuki abad berikut, Pemimpin itu adalah mereka yang mampu mendorong dan menguatkan orang  lain untuk berkarya. (Bill Gates)
PERKI lahir dari suatu pikiran yang maju di masanya, sekarang para pimpinan PERKI dituntut mempunyai pikiran yang lebih maju lagi, sesuai perkembangan zaman yang begitu cepat. Marilah kita simak apa yang telah dicapai PERKI dalam mengemban misi nasionalnya, sekaligus juga  dari segi  pengembangan kemampuan dan jejaring profesional anggotanya.
Kalau pada KOPERKI - I tahun 1974  PERKI memantapkan misi dan program internalnya,  maka tahun 1975 PERKI menggagas dan memprakarsai berdirinya organisasi Profesi Kedokteran ASEAN pertama, yaitu: Asean Federation of Cardiology. Inisiatif ini timbul sesudah ASEAN dideklarasikan pada tahun 1967 di Bangkok.
Karena berbagai kesulitan terutama finansial, barulah sebelas tahun kemudian,  pada 1986 The 1st ASEAN Conference of Cardiology dapat diselenggarakan. Peristiwa ini berhasil membawa nama harum PERKI ke forum ilmiah International Kardiovaskular, PERKI mulai aktif berinteraksi dengan profesi kardiovaskular mancanegara. Dan sejak itu berkembang terus, makin luas dan beragam kerjasama terlaksana, berkat kepemimpinan PERKI selanjutnya, diperkuat dengan adanya tugas belajar anggota PERKI dari instansi kerja masing-masing. Kini, setiap ASMIHA kita melihat kerja-sama dengan jejaring nasional dan internasional, seperti misalnya ditahun 2012 ini, dengan : World Heart Federation, European Society of Cardiology, Asian Pacific Society of Cardiology, Asean Federation Cardiology, Macedonian Society of Cardiology, Japanese Circulation Society, Philipine Heart Association, Australia and New Zealand Society of Cardiology. 
Kemitraan dengan Perhimpunan Profesi berkembang pula dalam bentuk organisasi seminat: InaSH (Indonesian Association of Hypertension) sejak tahun 2006, ANVIN (Perhimpunan Vaskular Indonesia) sejak 2004, PERKANI (Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia) sejak 2007 dan beberapa lagi. PERKI berperan penting dalam pengembangan kemitraan tersebut, sebagai upaya mendukung misi nasional peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, maupun meningkatkan kualitas dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Bahkan organisasi-organisasi seminat tersebut telah mendapat kepercayaan internasional untuk menjadi penyelenggara :  The 53rd Annual World Congress International College of Angiology International Congress  of College Angiology tahun 2010 di Bali, dan Asean Scientific Meeting of Pediatric Cardiology bersama ASMIHA XX tahun 2011. Tentu kita juga harus segera mempersiapkan dengan sebaik-baiknya : International Congress on Angiology tahun 2013, Asia Pacific Congress on Heart Failure tahun 2014, dan Asia Pacific Congress on Hypertension tahun 2015. Pengembangan jejaring adalah sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi, serta menggairahkan perkembangan ilmu itu sendiri. Hendaknya anggota PERKI siap dengan berbagai karya ilmiah berbobot, yang layak dipresentasikan dalam forum-forum ini.
Kita menyaksikan pula bahwa Ketua PP PERKI tahun lalu memprakarsai pengembangkan Upaya Kemitraan untuk program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) atau lazim disebut  NCD (Non-Communicable Diseases), suatu strategi program Internasional dan Nasional yang amat penting ke depan. PERKI telah tampil sebagai motor dari aliansi kerjasama Pemerintah –Profesi Kedokteran– Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memerangi PTM di Indonesia. Perlu dicatat pula kehadiran Ketua PP PERKI dalam UN (PBB) Summit 2011 di New York, yang merupakan High-level Meeting negara-negara anggota PBB.  Eksekusinya telah menghasilkan kesepakatan baru, yaitu bahwa NCD termasuk target MDG tahun 2015, suatu milestone yang patut dicatat. Ini menandai dimulainya perhatian yang lebih besar baik dari pemerintah maupun kalangan penyandang kepentingan internasional terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan PTM, khususnya penyakit kardiovaskular, bidang yang kita tekuni. Lalu, sudah siapkah PERKI untuk itu?
Terealisasinya PERKI HOUSE tahun 2008 adalah suatu lompatan cerdas. Maknanya seperti DALAS HEART HOUSE, sebagai tempat pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh American Heart Association. Berbagai jenis pelatihan diselenggarakan disana, seperti ACLS, BCLS, kursus EKG dan lain-lain. PERKI kini sudah melatih ACLS sekitar 30.000 dokter di seluruh Indonesia, serta mengembangkan kursus Bantuan Hidup Dasar untuk masyarakat awam bersama Yayasan Jantung Indonesia.
Menyemangati dan membina kaderisasi. Konsolidasi Majalah Kardiologi dan Tabloid Kardiovaskuler juga merupakan upaya yang patut dicermati kemajuannya. Tampak bahwa pengembangan kader-kader muda sebagai pengemban misi PERKI selanjutnya, merupakan langkah yang bijak dalam leadership PERKI.
Namun ada hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu bahwa leadership yang telah diperlihatkan oleh Pengurus Pusat juga perlu diikuti leadership di cabang dan komisariat. Mempercayakan tugas pengemban misi kepada generasi yang lebih muda, perlu dilakukan oleh berbagai lini. Sangat disayangkan bahwa ada beberapa daerah yang tidak menunjukkan leadership seperti itu, enggan lengser dari kedudukannya, barangkali  takut pamornya akan turun. Perasaan seperti itu adalah keliru. Justru bila yang muda diberi kesempatan dan bimbingan, sang pemimpin akan lebih terhormat, dan organisasi akan tumbuh lebih subur. Bila mereka merasa belum siap adalah tugas sang pemimpin untuk membantu menyiapkan mereka dalam leadership.
Di sana-sini di masyarakat, kita melihat bahwa obsesi menduduki pimpinan adalah suatu keinginan  untuk pamornya. Padahal…….., kunci keberhasilan kepemimpinan adalah pengaruh yang diberikan, bukan otoritas.
Yang penting pula menjadi perhatian kita, adalah membangun integritas anggota PERKI. Dalam integritas berarti pula tidak menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan UANG. Hal ini khususnya dalam memberikan kesempatan pendidikan Spesialis yang sekarang sudah terdesentralisasi. Tentu dalam berbagai jabatan, kewenangan ini juga harus mendapat perhatian.
Jagalah harga diri dan harga korps PERKI. Patuhilah integritas dan etika PERKI, perkumpulan yang kita hormati dan banggakan dalam kehidupan profesi kita sehari-hari. Dia dilahirkan dari suatu dorongan idealisme dan kebangsaan, dia harus berkembang pula dengan suatu naluri perjuangan yang baik dan terhormat.
Leadership and learning are indispensable to each other. (John F. Kennedy)
Dirgahayu kader-kader dan anggota PERKI! Dirgahayu Tabloid Profesi Kardiovaskuler!
Lily I. Rilantono

“Love and Passion – from Asia to the World”

dr. Takashi Akasaka PhD (Jepang) dan Dr. Anna UlfahRahajoe SpJP(K) (Indonesia) 
bertindak sebagai moderator.

Judul diatas adalah tema dari ”The 76th Annual Scientific Meeting Japanese Circulation Society (JCS)” yang diselenggarakan 16-18 Maret 2012 lalu di Fukuoka, Jepang. Untuk negeri Sakura yang penduduknya seperempat Indonesia, ada sekitar 20.000 orang anggota JCS, terdiri dari dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dan Dokter Spesialis Bedah Jantung. Acara ilmiah ini disebut-sebut terbesar dari acara serupa yang pernah diselenggarakan.
Ada 5 agenda penting yang ditampilkan, yaitu: 1) 76thAnnual Scientific Meeting, 2) 16th Asian-Pacific Congress on Doppler and Echocardiography, 3) the International Circulation Symposium 2012 in Commemoration of the 50th Anniversary of the Hisayama Study: “Cardiovascular Epidemiology in the East and the West”, 4) the Asian Joint Case-conference, dan 5) the Memorial Lecture of Centenarian Dr. Shigeaki Hinohara berjudul “A message to my younger peers – What I have learned over a lifetime.”  Yang tak kalah menarik adalah Mahimoto Memorial Lecture tahunan, kali ini disampaikan oleh dr Akira Suzuki yang pernah memperoleh Nobel Prize pada tahun 2010.
Bobot ilmiah JCS annual meeting ini memang sangat tinggi, selain banyak pembicara tenar dunia sekaliber Prof. Eugene Braunwald dan Prof. Harvey Feigenbaum, tampil juga Presiden ACC, AHA dan ESC. Tentu semua ini dapat terlaksana karena dukungan finansial yang sangat kuat. President JCS sendiri dr. Matsunori Matsuzaki, PhD terpaksa harus menyampaikan pidatonya dengan duduk di kursi roda, ia baru sembuh dari pendarahan otak akibat pecahnya aneurysma pembuluh darah otak yang hampir merenggut nyawanya.
Hampir 4.000 abstrak yang masuk, sekitar 100 diantaranya dari luar Jepang. Ini membuktikan bahwa Spesialis dalam bidang ilmu kedokteran kardiovaskular Jepang maju serempak. Berbagai penelitian dasar mewarnai khasanah sesi ilmiah, menandai keunggulan laboratorium penelitian mereka.
Untuk acara Asian Joint Case-conference, PP PERKI mengirim dr. Donni Firman, SpJP(K) yang menampilkan kasus ”Intervention in Unprotected and Calcified Left Main Disease” dan dr. Iwan Dakota, SpJP(K) tampil dengan kasus-kasus ”Thoracic Aortic Dissection Type B Treated with Separated Stent Graft System.” Keduanya tampil meyakinkan dengan kasus masing-masing yang spektakuler; dua pembicara lainnya dari Jepang. Acara dimoderatori oleh dr. Takashi Akasaka, PhD dan President Indonesian Heart Association. Total ada 10 negara Asia yang diundang tampil dalam sesi ini, masing-masing diberi waktu 1 jam dan selalu tampil dengan 2 pembicara dari Jepang, semua dibiayai oleh JCS.
Acara kelima yang sudah ditunggu-tunggu JCS sejak tiga tahun lalu dengan berharap-harap cemas, yakni kuliah dari Dr. Shigeaki Hinohara. Pada usianya yang  ke 100 tahun ini, dia ternyata masih aktif menjadi staf di St. Luke’s International Hospital, Tokyo. Ia tegar dan berbicara lantang, bahkan memimpin acara “kampai - minum sake bersama” pada Faculty Dinner. Tentu ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi JCS.
Semoga cerita ini memacu semangat para anggota PERKI untuk tampil dalam 77th Annual Scientific Meeting JCS 2013 di Yokohama nanti.
Ketua PP PERKI
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SPJP(K)