pita deadline

pita deadline

Selasa, 20 Maret 2012

Manfaat EECP dalam Tatalaksana Pasien dengan PJK dan Gagal Jantung

PILAR utama tatalaksana pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) meliputi modifikasi gaya hidup, obat-obatan yang optimal, dan pada kasus tertentu dapat dilakukan tindakan intervensi baik bedah maupun non-bedah. Akan tetapi, ternyata didapatkan bahwa sebagian pasien masih mengalami keluhan angina walaupun telah mendapat berbagai tatalaksana tersebut, sedangkan sebagian lainnya tidak bisa mendapatkan berbagai terapi di atas dengan berbagai sebab. Untuk membantu populasi pasien tersebut, dikembangkan berbagai modalitas terapi baru seperti neurostimulation (transcutaneous electrical nerve stimulation and spinal cord stimulation), enhanced external counterpulsation (EECP) therapy, laser revascularization techniques, terapi genetik dan ESMR. Pada Tabloid Kardiovaskular edisi sebelumnya telah dibahas seluk beluk terapi ESMR.
Terapi EECP terdiri dari kompresi ektremitas bawah oleh manset selama fase diastolik yang diikuti dengan dekompresi selama sistolik. Mekanisme ini menghasilkan efek hemodinamik serupa dengan IABP (intraaortic balloon pump) ditambah dengan efek meningkatkan aliran balik vena (venous return). Kompresi menyebabkan aliran retrograde pada arteri sehingga mengalirkan darah kaya oksigen ke pembuluh darah koroner dan pada saat yang bersamaan meningkatkan aliran balik vena. Pada fase sistolik, semua manset secara simultan mengempis sehingga menurunkan beban kerja jantung. Teknik EECP ini sebenarnya telah mulai dikembangkan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu oleh para peneliti di Universitas Harvard.
Mekanisme bagaimana EECP dapat memperbaiki gejala PJK masih terus diteliti hingga saat ini. Pada awalnya, diperkirakan EECP dapat memicu pertumbuhan pembuluh darah kolateral dengan meningkatkan produksi nitric oxide (NO) dan menurunkan kadar endotelin-1, seperti yang dilaporkan oleh Akhtar dkk dan Masuda dkk. Pada studi-studi yang lebih baru dilaporkan bahwa EECP dapat meningkatkan stabilitas endotel koroner, suatu efek yang serupa dengan olahraga atletik. Arora dkk dan Chen dkk melaporkan peningkatan level vascular endothelial growth factor (VEGF) setelah terapi dengan EECP. VEGF berperan dalam proses angiogenesis pada miokard yang iskemik. Penelitian lain menunjukkan bahwa EECP dapat meningkatkan uptake oksigen (VO2) dan menurunkan demand oksigen jantung.
Dari sisi klinis, terapi PJK dengan EECP dilaporkan dapat menurunkan keluhan angina dan frekuensi penggunaan nitrat, meningkatkan kapasitas fungsional, memperpanjang waktu timbulnya depresi segmen ST saat latihan dan memperbaiki defek perfusi miokard. Penelitian yang dilakukan oleh Lawson dkk melaporkan bahwa EECP juga bermanfaat bagi pasien PJK yang memiliki disfungsi ventrikel kiri yang tampak dengan perbaikan kelas angina, peningkatan volume sekuncup (stroke volume) serta cardiac index serta penurunan resistensi vaskuler sistemik. Hasil yang positif juga didapatkan pada terapi pasien gagal jantung dengan EECP seperti yang dilaporkan oleh studi PEECH (Prospective Evaluation of EECP in Heart Failure).
Perlu diingat bahwa walaupun telah dilaporkan memiliki banyak manfaat, terapi EECP juga memiliki efek samping dan tidak dapat diaplikasikan pada semua pasien. EECP dikontraindikasikan pada beberapa kondisi seperti koagulopati, beberapa jenis aritmia, gagal jantung akut, insufisiensi aorta sedang-berat, penyakit arteri perifer berat, hipertensi berat, aneurisma aorta, penyakit vena seperti DVT atau emboli paru dan pada wanita hamil. Efek samping yang mungkin dijumpai di antaranya adalah nyeri pada tungkai bawah, abrasi kulit, ekimosis, hematom, parestesi dan perburukan gagal jantung. (JACC; 2007:1523–31)

Hipo- dan Hipernatremia serta Mortalitas Pasien CKD dengan atau Tanpa CHF

“Baik tinggi maupun rendahnya kadar natrium dihubungkan secara independen dengan tingginya mortalitas pada pasien non dialisa CKD, tanpa memperhitungkan adanya CHF”.

HIPONATREMIA merupakan salah satu gangguan elektrolit terbanyak yang ditemukan pada pasien rawat inap. Hiponatremia dihubungkan dengan berbagai keluaran klinis yang tidak diharapkan seperti peningkatan mortalitas, lamanya perawatan, gangguan keseimbangan dan risiko jatuh, rabdomiolisis dan patah tulang, serta juga dihubungkan dengan peningkatan biaya.
Pasien CKD mungkin lebih sering terkena disnatremia yang diakibatkan ketidakmampuan mempertahankan homeostasis oleh sebab berkurangnya fungsi ginjal. CHF sering kali ditemukan pada pasien-pasien CKD, akan tetapi hubungan antara konsentrasi natrium dengan mortalitas pada pasien tersebut belum jelas. Oleh karena itu dilakukanlah studi cohort Lu et al., dengan menggunakan 655.493 veteran AS tanpa dialisa CKD (95.961[15%] veteran dengan CHF) diobservasi selama 5,5 tahun. Hubungan antar variabel dianalisa dengan regresi Cox, juga untuk mengurangi adanya variabel perancu. Selama median follow-up 5,5 tahun, 193.956 pasien meninggal (tingkat mortalitas 62,5/1000 pasien pertahun; 95% CI 62,2 – 62,8).
Hubungan antara tingkat natrium dengan mortalitas terlihat seperti kurva U, dengan mortalitas terendah terdapat pada tingkat natrium 140 ,Eq/L dan dengan tingkat terendah serta tertinggi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan mortalitas. Pasien dengan tingkat natrium < 130, 130 sampai 135,9 dan 145,1 sampai 150 serta >= 150 mEq/L dibandingkan dengan tingkat 136 sampai 145 mEq/L memiliki HR 1,93 (95%CI 1,83-2,03), 1,28(1,26-1,30), 1,33(1,28-1,38) (p < 0,001).
Hipo dan hipernatremia dihubungkan dengan peningkatan mortalitas seluruh sebab pada pasien non dialisa CKD. Hubungan ini secara independen berkaitan dengan kondisi-kondisi komorbid dan tingkat keparahan penyakit ginjal. Tingkat natrium yang abnormal dapat digunakan sebagai prediktor hasil keluaran pada populasi pasien dan target terapi. (Circulation 2012; 125: 677-684)
SL Purwo

Penyakit Jantung Koroner Diturunkan oleh Ayah ke Anak Laki-lakinya Melalui Kromosom Y

METODE baru analisis genetik telah membuktikan bahwa salah satu varian kromosom Y (laki-laki) berhubungan dengan kenaikan risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) bermakna (50%). Temuan baru ini menjelaskan mengapa pada beberapa laki-laki mengalami PJK 10 tahun lebih cepat dari perempuan, menurut Dr Fadi J Charchar (University of Ballarat, Australia) dan koleganya dalam artikel mereka yang dipublikasikan online tanggal 8 Februari 2012 di the Lancet.
Dan yang utama, kaitan ini independen terhadap faktor risiko tradisional dan sosioekonomi. Sepertinya dimediasi melalui sistim imun, menurut peneliti kedua Lisa D S Bloomer (University of Leicester, UK). “Temuan terpenting adalah kemungkinan penjelasan perbedaan PJK antara laki dan perempuan, dan peran kromosom Y selain diferensiasi jenis kelamin; yaitu dalam menurunkan penyakit.”
Dr Virginia M Miller (Mayo Clinic Rochester, MN) mengatakan bahwa penelitian tersebut memberi insight baru bagi varian genetik dan pendekatan baru yang potensial untuk memahami PJK yang diturunkan pada laki-laki.
Dr Sekar Kathiresan (Massachussetts General Hospital, Boston) –tidak terlibat dalam penelitian ini—mengomentari bahwa studi ini mempertanyakan hal yang tidak pernah dievaluasi dalam studi skala besar genomewide association studies (GWAS) untuk PJK dan menimbulkan hipotesis yang menarik. Akan tetapi untuk dapat dikatakan bonafide masih perlu konfirmasi; hasil ini sangat menarik tapi perlu lebih banyak kerja untuk mencapai taraf meyakinkan.
Para peneliti menjelaskan bahwa tidak banyak gen dalam kromosom Y—yang diturunkan dari bapak ke anak laki—dan bahwa peran mendasar kromosom adalah untuk memberi karakter laki-laki. Walaupun beberapa polimorfisme telah dihubungkan dengan tekanan darah dan kadar kolesterol.
Bloomer menjawab GWAS tidak dapat dijadikan acuan untuk studi ini karena dalam studi ini, kromosom Y dianalisis menggunakan analisis haplogrup yang membutuhkan pengetahuan spesialistik yang tidak dipahami secara luas dan belum mapan dan lebih sedikit yang mampu melakukannya. Tim peneliti menggunakan material dari 3000 pria kulit putih berkebangsaan Inggris yang berpartisipasi dalam dua studi besar: the cross-sectional British Heart Foundation (BHF) Family Heart Study dan prospektif West of Scotland Coronary Prevention Study (WOSCOPS). Dari 9 haplogrup (grup dari haplotipe yang merupakan kombinasi allele di loci terdekat), mereka mengidentifikasi dua yang bertanggungjawab terhadap 90% variasi kromosom Y pada pria Inggris. Carrier dari salah satu grup, yaitu Haplogrup I, memiliki 50% lebih tinggi risiko PJK age-adjusted dibandingkan tipe kromosom Y lainnya. Lebih spesifik lagi, dalam studi BHF, odds ratio 1,75 (p=0,004); dalam WOSCOPS 1,45 (p=0,012); dalam dalam analisis kedua populasi adalah 1,56 (p=0,0002). Sementara hubungannya independen terhadap faktor risiko tradisional, pria dengan haplogrup I mengalami deregulasi sistim imun, mempengaruhi autoimun dan inflamasi hampir setara dibandingkan tipe kromosom Y lainnya. Demikian penjelasan Bloomer.
Data ini menunjukkan bahwa predisposisi PJK pada pria mungkin setidaknya sebagian ditentukan oleh jalur keturunan kromosom Y dan bahwa efek ini dalam risiko PJK dimediasi melalui respons imun. Usaha selanjutnya di masa yang akan datang yang diperlukan adalah mengidentifikasi varian yang mendasari peningkatan kerentanan terhadap PJK pada carrier haplogrup I dan untuk menguraikan interaksi antara kromosom Y, sistim imun dan penyakit kardiovaskuler. Demikian kesimpulan peneliti.
Miller setuju bahwa hasil penelitian ini memancing banyak pertanyaan dan membuka peluang untuk penelitan di masa depan.” (www.theheart.org/article/1353409.do)
Sony HW

Cardiac MRI Mengalahkan Nuklir dalam CE-MARC Crossover Trial

PENCITRAAN Cardiac Magnetic Resonance (CMR) terbukti lebih akurat dibandingkan dengan single photon-emission computed tomography (SPECT) yang biasa kita kenal dengan pemeriksaan nuklir kardiak, dalam studi CE-MARC yang melibatkan 752 pasien, suatu studi CMR terbesar yang ada saat ini.
“Temuan CE-MARC mendukung penggunaan CMR untuk diagnosis dan manajemen penyakit jantung koroner (PJK) stabil, mengingat peningkatan kekhawatiran akan kemungkinan munculnya kanker akibat efek stokastik radiasi pada prosedur medis,” demikian argumen peneliti Dr. John P Greenwood (Leeds General Infirmary, UK) dan koleganya dalam sebuah artikel yang dipublikasi Lancet, 22 Desember 2011.
Studi CE-MARC mengikutsertakan 742 pasien dengan diduga angina menjalani CMR, SPECT, dan angiografi koroner invasif dengan X-ray (kateterisasi). Separuh pasien tersebut menjalani SPECT, sisanya menjalani CMR, sebelum kedua grup tersebut menjalani angiografi invasif. Total 628 subyek melengkapi ketiga tes dengan hasil pencitraan yang dapat dinilai. Tidak seperti studi-studi CMR sebelumnya, pemeriksaan CMR dalam CE-MARC trial ini multiparametrik, terdiri atas rest dan stress adenosine perfusion, cine imaging, late gadolinium enhancement (LGE) dan angiografi koroner (MRA koroner). Sedangkan pemeriksaan SPECT terdiri atas gated stress dan rest adenosine dengan Technetium (Tc-99m) Tetrofosmin, sama dengan pemeriksaan nuklir yang biasa dilakukan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Kateterisasi koroner, yang dijadikan referensi standar untuk studi ini, mengkonfirmasi coronary artery disease (CAD) yang signifikan pada 39% subyek, yang merupakan angka yang representatif untuk populasi pasien rawat jalan, menurut peneliti. Sensitivity dan Negative Predictive Value CMR lebih baik dibanding SPECT secara bermakna (p < 0,0001 untuk keduanya), namun Specificity dan Positive Predictive Value tidak berbeda bermakna (p = 0,916 dan p = 0,061, berturut-turut). CMR menawarkan penilaian akurat untuk single-vessel dan multivessel CAD, tanpa memandang nilai cut-off yang digunakan untuk membedakan severity dari CAD yang signifikan (>= 50% atau 70%).
Semua pasien dijadwalkan untuk menjalani CMR, SPECT dan angiografi saat rekruitmen untuk menghindari selection bias. Perintah untuk pemeriksaan dirandomisasi, dan semua pemeriksaan dilakukan dan diinterpretasi berdasarkan protokol detail oleh dua penilai independen yang paling sedikit telah menjalani pengalaman 10 tahun dalam modalitasnya.

Keunggulan CMR
CMR saat ini telah masuk dalam Guidelines internasional sebagai modalitas untuk deteksi PJK, namun belum banyak dievaluasi sebagaimana SPECT, menurut Greenwood et al. SPECT memiliki keterbatasan seperti paparan radiasi, resolusi spasial yang rendah dan potensi artefak atenuasi, sementara kekurangan CMR adalah tidak dapat digunakan pada pasien yang memiliki implan metal, pasien yang klaustrofobik atau pasien yang terlalu besar hingga tidak bisa masuk ke lorong MR.
Walaupun SPECT dapat memberikan informasi tentang iskemia, infark dan fungsi ventrikel, namun tidak dapat memberi informasi detail tentang anatomi koroner. Untuk perbandingan yang lebih apple-to-apple, peneliti membandingkan SPECT dengan CMR tanpa MRA koroner, namun hasilnya tidak menurunkan akurasi multiparametrik CMR secara keseluruhan.
Studi ini adalah yang pertama dan terbesar di antara seluruh studi CMR yang ada, tapi hasilnya didukung dengan hasil meta-analisis dari 26 studi stress perfusion CMR, dengan hasil sensitivity 89%, juga didukung studi prospektif pada 136 pasien perempuan dengan hasil sensitivity 84%. Peneliti juga mengatakan bahwa CE-MARC ini merupakan studi terbesar yang membandingkan SPECT dengan hasil angiografi koroner pada populasi pasien studi ini, namun akurasi SPECT dalam CE-MARC tidak mencapai angka yang mapan dari studi SPECT sebelumnya: sensitivity antara 63% dan 93% dan spesificity antara 10% dan 90% dibandingkan dengan angiografi koroner dengan kateterisasi.
Mengomentari studi CE-MARC, Dr. Robert Bonow (Northwestern University, Chicago, IL) menyatakan bahwa masa depan CMR bergantung pada ketersediaan alat, cost-effectiveness, dan kemampuan memperbaiki outcome pasien dengan menggunakannya sebagai stratifikasi risiko untuk strategi penatalaksanaan. “Diagnosis CAD saja tidak cukup untuk menentukan kebutuhan untuk revaskularisasi,” tulis Bonow. Untuk menunjukkan nilai, kemajuan dalam pencitraan harus disertai dengan perbaikan kualitas hidup pasien atau pengurangan pemeriksaan maupun prosedur selanjutnya.” Bonow menunggu studi perbandingan efektivitas seperti studi RESCUE dan PROMISE, untuk menunjukkan apakah CMR memberikan peningkatan inkremental dalam nilai klinis dibandingkan SPECT dan ekokardiografi.
Studi ini kemudian dikomentari oleh Dr Matthew Budoff (Los Angeles Biomedical Research Institute, CA) yang menekankan bahwa CE-MARC mengeksklusi lebih dari 80% pasien yang pada awalnya dipertimbangkan untuk diteliti, “meninggalkan sejumlah pasien yang mengagumkan untuk sebuah studi, namun menggambarkan betapa selektifnya CMR saat ini.” Budoff juga mengatakan bahwa walau eksklusi MRA koroner membuat positive predictive value keseluruhan CMR secara statistik superior dibanding SPECT dengan mengurangi hasil CMR yang false-positif, “ini mengakhiri usaha mendapat data angiografi dari CMR—ini hanya memperburuk data diagnostik—dan hal tersebut membuat MRA koroner kurang menarik untuk klinisi, karena mereka mengharapkan kemampuan CMR untuk melihat anatomi secara simultan dengan perfusi, yang merupakan argumen awal untuk melakukan CMR di atas SPECT.
“Sehingga saat ini, studi ini menawarkan dokter untuk menerima tes lebih banyak di atas tes prognostik yang lebih baik (SPECT). Data prognostik sudah lebih mapan pada SPECT, sehingga kebanyakan dokter akan lebih memilih SPECT dengan mengorbankan sedikit kekuatan diagnostik. Juga lebih mudah melakukan SPECT daripada CMR.”
Salah satu peneliti, Dr John Younger (Royal Brisbane & Women’s Hospital, Herston, Australia), menjawab komentar Budoff dengan mengungkapkan bahwa “Sebagian besar pasien dieksklusi karena mereka tidak eligible akibat alasan misalnya pasca CABG. Sebagian besar lainnya tidak mau meneruskan ke pemeriksaan angiogram setelah mendapatkan apa pun hasil dari pemeriksaan non invasif. Tidak ada kaitannya dengan selektivitas CMR pada populasi ini.”
CE-MARC sebenarnya adalah studi non selektif terbesar untuk SPECT, di mana pasien menjalani angiografi koroner tanpa memandang hasil SPECT,” ujar Younger. “Hal ini menghindari bias yang hanya melakukan angiogram koroner pada pasien dengan hasil SPECT yang positif atau equivokal, sehingga studi ini menghasilkan angka sensitivity dan specificity yang lebih sesuai kenyataan.”
CMR setidaknya sebaik SPECT untuk menentukan prognosis, bahkan mungkin lebih baik, pelajaran yang diambil di sini adalah bahwa CMR akan melampaui performa SPECT dalam diagnosis CAD dengan waktu yang lebih pendek, tanpa radiasi.”(www.theheart.org/article/1333199. do)
Sony HW

Efek Kardioprotektif Insulin: Manfaat Terapi Intensif Insulin pada Pasien Bedah Jantung

KETERTARIKAN pada efek insulin pada jantung, muncul ketika diketahui manfaat penatalaksanaan hiperglikemi pasien infark miokard, yang mana hiperglikemi dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas, CHF ataupun syok kardiogenik.
Temuan riset stres hiperglikemia pada pasien kritis juga dihubungkan dengan pengaruh insulin terhadap keluaran (outcome) klinis setelah bedah jantung. Pada pasien non diabetes, stres hiperglikemia sering kali terjadi sebagai respon metabolik terhadap penyakit kritis, misalnya trauma pasca bedah. Hiperglikemia pada penyakit kritis ditangani dengan insulin eksogen sebagai terapi standarnya.
Walaupun masih terdapat perdebatan di antara para ahli tentang target gula darah optimal untuk pasien kritis. Secara konvensional, insulin terapi bertujuan mempertahankan tingkat gula darah di bawah ambang batas renal, biasanya 220 mg/dL. Beberapa ahli menyatakan kontrol gula darah ketat (TGC) dengan terapi intensif insulin (IIT) untuk menormalkan tingkat gula darah dalam kisaran euglikemik, biasanya antara 80 – 110 mg/dL.
Studi-studi spesifik mengenai TGC/IIT pada kondisi bdah jantung sangatlah jarang dan berbeda pada tiap tingkat metodologinya. Walaupun demikian, hasil meta-analisis dari 7 RCT menunjukkan TGC selama atau setelah bedah jantung menurunkan mortalitas di ICU (OR 0,52; 95% CI 0,3-0,9), AF post bedah (0,76; 0,58-0,99), penggunaan epicardial pacing (0,28; 0,15-0,54) dan lamanya perawatan di ICU (-0,57; -0,6 sampai -0,55).
Insulin merupakan hormon pleiotropik dengan berbagai efek pada metabolisme, sistem saraf pusat, sistem imun dan sistem kardiovaskuler. Insulin memberikan sinyal melalui jalur PI3K (phosphatidyl-inositol 3-kinase), E3 ubikuitin–protein ligase CBL (Cbl) atau jalur Cbl terkait protein dan jalur mitogen teraktivasi protein kinase.
Tahun 1962, Sodi-Pallares et al memperkenalkan infus glukosa-insulin-kalium (GIK) untuk terapi infark miokard akut. Sejak itu, efek GIK pada jantung dipelajari secara luas, dimana insulin dipercaya sebagai komponen utama pada koktail GIK, sementara glukosa dan kalium ditambahkan untuk menyesuaikan efek sekunder perubahan glikemik dan hipokalemia yang disebabkan oleh ambilan sel secara simultan dari kalium dengan glukosa.
Hiperglikemia dapat menyebabkan toksisitas glukosa dengan cara meningkatkan stres oksidatif dan AGEs (advanced glycation end products) yang memebahayakan bagi jantung. Hiperglikemia merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung iskemik dan prognosis buruk setelah infark miokard akut. Hiperglikemia mungkin memiliki efek protrombotik yang akan meningkatkan inflamasi, pembentukan radikal bebas dan oksidatif stres. Dimana stress oksidatif akan merusak DNA mitokondria yang menimbulkan disfungsi mitokondria pada penyakit jantung dan sindroma metabolik.
Insulin dapat meningkatkan kontraktilitas jantung pada preparat jantung paru yang terpisah dan meningkatkan tekanan darah pada model hewan hidup. Mekanisme untuk meningkatkan kontraktilitas masih belum dapat dipahami. Hal tersebut mungkin didasarkan pada efek inotropik positif insulin yang dimediasi oleh peningkatan konsentrassi kalsium intraseluler. Selain itu, insulin menginduksi inisiasi fosforilasi heat shock protein 27. Protein tersebut dihubungkan dengan aktin mikrofilamen pada kardiomiosit orang dewasa dan mungkin berperan dalam mempertahankan struktur dan fungsi sel. Insulin dapat mencegah kerusakan oksidatif dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas peroksinitrit (ONOO-) melalui jalur PI3K-Akt setelah iskemia miokard dan reperfusi pada tikus. Juga dapat memperbaiki aktivitas glutathione peroxidase yang akan menurunkan proses toksik peroksidae lipid dan meningkatkan ekspresi eNOS. Efek anti apoptosis insulin didaaptkan dari sinyal insulin melalui jalur kinase pada saat reperfusi injuri. Efek sentralnya adalah mitokondria dan heksokinase. Translokasi dan pengikatan heksokinase intraseluler di membran mitokondria diduga berperanan pada kejadian anti apoptosis. Insulin menghambat sinyal IL-6 melalui jalur protein kinase teraktivasi mitogen, juga menghambat kinase terminal N c-Jun (JNK), dimana akan mempunyai efek penurunan TNF-alpha melalui jalur mTOR.
Pada kasus reperfusi iskemia miokard, insulin menekan TNF-alpha melalui PI3K-Akt teraktivasi eNOS dan produksi NO yang mana akan menurunkan apoptosis di kardiomiosit. Vasodilatasi koroner yang diperantai insulin dihubungkan dengan produksi NO, dimana menfasilitasi NO oleh peningkatan regulasi ekspresi eNOS melalui jalur PI3K-Akt. Aktivasi eNOS dan peningkatan produksi NO memliki efek vasodilatasi sama hanya dengan efeknya terhadap anti apoptosis dan inotropik positif.
Kesimpulannya insulin memiliki efek kardioprotektif melalui mekanisme idependen dan dependen glukosa, seperti perubahan toksisitas glukosa, inotropik positif, modulasi stres oksidatif inflamasi dan apoptosis, serta regulasi aliran darah. Efek-efek ini mungkin berguna secara klinis pada IIT pasien bedah jantung. (Circulation 2012; 125: 721-8)
SL Purwo

Kunjungan Pendiri World Interactive Network Focused On Critical UltraSound

Kunjungan Past President dan Educational Global Direktur Winfocus (World Interractive Network Focus on Critical Ultrasound) Prof. Luca Neri ke Departemen Kardiologi dan Vaskular Medicine FKUI di RSJHK tanggal 21 Februari 2012.

WORLD Interactive Network Focused on Critical Ultrasound adalah suatu organisasi yang bertujuan mensosialisasikan penggunaan ultrasound sebagai alat diagnostik ujung tombak menggantikan stetoskop untuk mendeteksi kegawat-daruratan dan perawatan kritis. Organisasi ini terdiri atas anggota dokter spesialis lintas profesi sedunia. Pendiri organisasi tersebut mengunjungi RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita atas undangan tim lintas profesi perintis pembukaan cabang organisasi ini di Indonesia, yang dari Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, diwakili oleh dr. Rita Zahara SpJP, anggota PERKI, staf di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Kunjungan Prof. Luca Neri tersebut bertujuan untuk merintis pembukaan cabang, sehingga memperluas penyebaran penggunaan ultrasound untuk deteksi dini kegawat-daruratan di Indonesia untuk seluruh dokter spesialis yang merawat pasien gawat darurat dan kritis, termasuk spesialisas Jantung dan Pembuluh Darah.
Dalam kunjungan tersebut Prof. Luca Neri memberi kuliah dan diskusi sekitar lebih kurang satu jam di depan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI dan dilanjutkan dengan visitasi ICCU, ICU dan Emergency. Tujuannya adalah untuk melihat kemungkinan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat penyebaran ilmu intergrative ultrasound di Emergency dan Critical Care yang terorganisir dan terhubung langsung dengan Internasional Winfocus yang berpusat di Milan, Italia.
Dalam kuliah Beliau menyebutkan bahwa ultrasound merupakan alat diagnostik yang sangat memungkinkan dipakai untuk saat ini, sangat relevan dan sangat sensitive untuk menentukan masakah pada pasien Critical Care dan Emergency sehingga kita dapat mendiagnosis dengan cepat dan tindakan yang cepat dan tepat. Disaat perkembangan zaman dimana dokter dituntut untuk melakukan tindakan mendiagnosis pasien dengan cepat dan tingginya tuntutan hukum apabila dokter salah mendiagnosis, melakukan tindakan terhadap pasien Ultrasound merupakan pilihan yang paling tepat dan akurat. Seorang Dokter yang mempunyai keahlian dalam emergency and critical care ultrasound menghemat biaya perawatan, mendiagnosis lebih cepat dengan keakuratan yang lebih baik dibanding dengan stetoskop, x-ray dan dalam beberapa hal dapat menyingkirkan beberapa masalah dengan sensisivitas yang sama dengan CT-scan. Beliau juga menyebutkan bahwa dengan ultrasonografi seorang dokter dapat memandu suatu tindakan sehingga komplikasi yang terjadi pada pasien bisa minimal, contohnya pada torakosintesis, perikardiosentesis, akses vaskuler dan sebagainya. Di ruang gawat darurat Ultrasound menjadi suatu andalan untuk mendiagnosa dengan cepat gagal nafas pada pasien, post trauma,disability, evaluasi Airway, pendarahan intra abdomen, dan lain-lain. Seorang pasien yang datang ke instalasi gawat darurat dengan syok atau sesak nafas, kita harus dapat menentukan penyebab sesak nafas tersebut dengan cepat dan akurat tanpa menunggu x-ray, karena menunggu x-ray berarti kita kehilangan waktu dalam mendiagnosis pasien sedini mungkin, apalagi jika harus mengirim pasien tersebut untuk cityscan.
Penentuan penyebab syok atau sesak nafas tersebut bisa disebabkan oleh masalah :
a. Airway (Obstruksi, atelektasis, trachea displacement).
b. Breathing (Efusi Pleura, konsolidasi alveolar, sindrom interstisial, pneumotorak, gangguan diafragma).
c. Circulation (status cairan, performa jantung, infark miokard, acute heart failure, emboli pulmonal, efusi pericard, tamponade, aneurisma aorta abdominal & torakal, dan lain-lain).
d. Disability (midline shift, cervical fracture dan lain-lain)

Semua masalah tersebut harus disimpulkan dalam waktu yang singkat untuk mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga kita dapat melakukan tindakan yang cepat pula.
Winfocus mengembangkan pelatihan di seluruh dunia dalam bentuk workshop 1-2 hari sehingga setiap dokter yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat dan Perawatan Kritis dapat melakukan intergrative emergency and critical care ultrasound sehingga pasien dapat tertangani dengan tepat dan cepat.
Bentuk lain pengembangan dari konsep Winfocus adalah diberi nama Ultrasound Primary Management yang terdiri dari : Ultrasound Trauma Life Support, Ultrasound Advance Cardiac Life Support, dan Ultrasound Triage & Ultrasound EMS/HEMS.
Juga konsep Head To-Toe berupa secondary management & monitoring: Head, Thorax, Abdomen, Limbs.
Prof. Luca Neri mengajak seluruh dokter di Indonesia termasuk dokter kardiologis sebagai salah satu dokter yang dianggap mahir dalam ultrasound (echocardiography) untuk bersama-sama dengan organisasi dunia seperti Winfocus mengembangkan bidang ini di Indonesia.
“Indonesian is the 4th largest populated country in the world we are proud and honour to haveyou part of winfocus global family and dream.
Together we could empower a lot of the quality, accessibility and sustainability of millions of patients both in the OR and ICU setting, as in the remote riral and island areas of great country.
That’s realy the power of being a team, one drean one word.
Dr. Rita Zahara

KARDIOLOGI KUANTUM (Mempelajari "NIAT" Stop Merokok dengan "3" Sentra Vitalitas Manusia)

Kardiologi kuantum adalah paradigma (baru) holistik-ekliktik (fisik-mental- spiritual) kardiovaskuler menggunakan fisika kuantum dan candra jiwa Indonesia untuk pencerahan perilaku dan empati klien-sehat, pasien-sakit, dan anggota masyarakat lainnya. (Jakarta, 14 Februari, 2012) Budhi S Purwo

Salam Kuantum,
Kardiologi kuantum sangat prihatin dengan perilaku merokok bangsa ini. Upaya menekan produksi rokok selalu kandas oleh kekuatan bisnis dengan lobby-nya. Menariknya, baris-baris dalam kalimat undang-undang tentang rokok di tingkat DPR saja dapat hilang begitu saja. Kementrian Kesehatan juga belum mampu mengajukan undang-undang stop merokok ke DPR. Organisasi non pemerintah tidak henti-hentinya menghimbau bahkan setuju bila harga rokok dan cukainya dinaikkan semahal-mahalnya alias bisnis rokok tidak jalan, pasti gagal! Peraturan-peraturan pemerintah akhir-akhir ini tentang pembatasan kadar nikotin dan keharusan menggunakan filter bagi rokok kretek, pasti mendapat acungan jempol dari NGO dan kardiologi kuantum.
Telaah di masyarakat dalam artian dunia keseharian di dalam makrokosmos mempertanyakan: “Apa benar petani akan merugi?” pendapatan petani tembakau (dan cengkih) sudah bisa diukur dan diatur oleh perusahaan rokok. Begitu panenan tembakau sampai pada 4-5 lapis daun terakhir, harga diturunkan sampai 50%, misalnya Rp50.000,- per kilogramnya (seharusnya Rp100.000). Empat-lima lapis daun terakhir tersebut lebih bersih, tebal, berat dan kadar nikotinnya paling tinggi. Lapis daun dibawah itu yang nyaris tak berharga, dinaikkan pelan-pelan harganya untuk memberi semangat petani. Tentu saja pabrik tidak mau membeli tembakau yang disimpan lama, lebih dari seminggu di gudang petani padahal tembakau tidak pernah membusuk. Pemerintah daerah juga mendapat bagian dari pembelian pabrik terhadap tembakau petaninya, berarti harus juga melindungi pengusaha dengan peraturan-peraturannya. Kecuali bila petani tembakau dapat bersatu dipimpin oleh petani cerdas pasti mampu melawan kartel tersebut, tetapi, kata pengamat, kelompok tersebut juga belum terdeteksi keberadaannya di seluruh dunia.
Kardiologi kuantum harus memperhatikan apa-apa yang belum diperhatikan oleh pendekatan kardiologi dan kedokteran vaskuler pada umumnya. Sesuatu itu dimulai dari niat, begitu guru agama mengajarkannya. Pengetahuan ini dipakai beberapa kardiolog untuk memberi semangat kepada siapa saja yang ingin berhenti merokok. Hasilnya masih perlu diteliti. Setidaknya 2,5% angka keberhasilan stop merokok tanpa motifasi apapun dari petugas kesehatan.
Di manakah “niat stop merokok” itu berada? tentu di dalam pikiran (cipta) kita yang memiliki variable ke-sadar-an yang nyaris tak terbatas. Kata-kata niat tersebut di alam fikir perokok tentu saja mendapat tentangan dari banyak varibel “anti”, “netral” dan dibantu “pro” stop merokok. Proses diskusi pro, netral dan kontra stop merokok didalam angan-angan inilah yang dinamakan proses penalaran sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang disebut pengertian.
Kardiologi kuantum harus memberi pencerahan kepada para kardiolog agar memperhatikan 4 Sentra Vitalitas dalam mikrokosmos manusia (baca: klien dan atau pasien). Angan-angan (rational mind) sebagai Sentra Vitalitas Pertama di dalam mikrokosmos (manusia) oleh Albert Einstein (fisikawan kuantum) dianggap hanya sebagai pembantunya yang terpercaya .. the rational mind is a faithful servant. We have created a society that honours the servant...
Sentra Vitalitas Ketiga, di dalam psike manusia adalah drive, pasion atau nafsu-nafsu. Walaupun jangkauan matra-nya (dimensi) tidak seluas yang pertama tetapi memiliki arah, polaritas yang unik: (1) egosentrifugal (sosial dan suprasosial: baik dan superbaik, satwam), meminjam istilah dalam bahasa Arab disebut Mutmainah. (2) Nafsu Egosentripetal (buruk dan netral; lauwamah, tamas) bertanggung jawab atas semua sifat-sifat negatif dari manusia. Dampaknya pada perilaku adalah semua perilaku tidak sehat misalnya merokok, kebanyakan makan, stres, dan kemalasan bergerak badan. Baik dan buruknya aktifitas manusia ditentukan oleh kedua nafsu tersebut. (bedakan dengan Id-nya Freud yang hanya mengandung nafsu kematian dan nafsu seks belaka. Karena matranya asadar sering disebut instink). Nafsu lainnya adalah (3) amarah (kemauan, semangat) dan (4) sufiah (keinginan, kesenangan). Drive kemauan dan kesenangan tidak menentukan tujuan kemana aktifitas dilakukan.
Pertemuan, pergumulan, peperangan antara angan-angan dan nafsu-nafsu menimbulkan suasana (ekstase) di dalam psike manusia, inilah Sentra Vitalitas Kedua: Perasaan. Perasaan manusia hanya mengenal 2 (dua) variabel: Positif dan negatif yaitu senang-sedih, menerima-menolak, percaya-tidak percaya.
Pertanyaan apakah pernyataan “..yang penting niat anda berhenti merokok!..” dapat di diskusikan lagi? Agar supaya Sang Niat tersebut selalu eksis di dalam alam kesadarannya klien dan pasien kita, bagaimana caranya? Secara fungsionil, EGO-lah yang mewakili pasien untuk berniat. Kenyataan, ego seringkali kalah bahkan selalu kalah. Buktinya semua klinik stop merokok, berhenti merokok yang diselenggarakan oleh Yayasan Jantung Indonesia, R.S. Jantung Harapan Kita, dan R.S. Persahabatan belum seperti yang diharapkan, mati segan hiduppun tak mau. Bahkan Fak. Psikologi dan Dep. Psikiatri di Indonesia belum terlihat kemampuannya menyembuhkan para pecandu rokok, padahal merokok merupakan jembatan menuju penggunaan narkoba di kalangan anak-anak muda. Mohon maaf sebesar-besarnya sekiranya pengamatan ini salah. Kita lupakan dulu adanya zat adiktif di dalam asap rokok, karena ini masalah organo biologis, semoga dapat di atasi dengan pendekatan farmakologi.
Kardiologi kuantum memandang niat tersebut harus diperkuat dengan sentuhan integritas kemanusiaannya, maksudnya diintegrasikan dengan seluruh potensi vitalitas yang sudah dimiliki dan diingatkan kembali oleh para kardiolog. Apakah sudah cukup dan hanya itu saja tiga-sentra vitalitas manusia? Jawabannya “YA” untuk Sigmund Freud dan Alfred Adler, tetapi “TIDAK” untuk Albert Einstein, Carl Gustav Jung, apalagi Soemantri Hardjoprakoso di dalam Candra Jiwa Indonesia. Diperlukan pengetahuan tentang Sentra Vitalitas ke 4, diluar psike manusia?!
Budhi Setianto

The 6th Scientific Meeting on Hypertension InaSH

PRESS RELEASE
Dari kiri ke kanan: Prof. DR. Dr. Suhardjono SpPD-KGH-K.Ger, Dr. Nani Hersunarti SpJP(K), Dr. Arieska Ann Soenarta SpJP(K), Dr. Yuda Turana SpS. dan Dr. A. Sari S. Mumpuni SpJP(K).

PRESS release dari Perhimpunan Hipertensi Indonesia (PERHI) atau The Indonesian Society orf Hypertension (Ina SH) yang uniknya didukung oleh tiga organisasi kedokteran nasional yang bergerak dalam bidang Otak, Jantung dan Ginjal rupanya telah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah tahunan serupa dengan berbagai tema. Tema yang ke 6 tahun ini (2012) adalah “Sindroma Hipertensi: Tantangan Untuk Meningkatkan Kesehatan Otak, Jantung dan Ginjal”. Topik ini menunjukkan keyakinan bahwa hipertensi merupakan salah satu pencetus terjadinya penyakit jantung (serangan jantung), penyakit ginjal (gagal ginjal) dan stroke (serangan otak).
Ancaman global dari NCD (non-communicable disease) atau PTM (penyakit tidak menular) sebagai penyebab kematian, terutama untuk negara yang sedang berkembang. Karena kenaikan yang sangat cepat dari penyandang diabetes, obesitas dan hipertensi, penyakit yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mulai mempromosikan NCD sebagai target utama intervensi kesehatan masyarakat agar menjadi prioritas utama dalam perencanaan pengembangan dan kebijakan kesehatan di tiap negara. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia (berdasarkan pengukuran tekanan darah) sangat tinggi, yaitu 31,7% dari total penduduk dewasa (lebih dari 55 juta orang).
Hipertensi ditemui pada 65,8% pasien yang datang ke poliklinik RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Sebagian besar belum terkontrol, hanya 39,3 % dari pasien hipertensi mencapai tekanan darah sesuai target, meskipun 66% di antaranya telah minum obat teratur. Di Rumah Sakit dr Saiful Anwar Malang hanya 20,8% pasien mencapai target tekanan darah, meskipun 58,1% pasien telah teratur minum obat. Hipertensi yang tidak terkontrol berkontribusi terhadap setengah dari kejadian penyakit jantung koroner. Sekitar 50% dari pasien hipertensi meninggal karena penyakit jantung koroner atau gagal jantung.
Pertemuan Ilmiah Tahunan Hipertensi ke-6 ini, yang dihadiri oleh lebih kurang 1.700 orang dokter, sejumlah pakar dari International Society of Hypertension (ISH) dan Asian Pacific Society of Hypertension (APSH) juga memberikan presentasinya. Kedua organisasi internasional ini sangat menaruh perhatian terhadap Indonesia, karena keaktifan Indonesia dalam upaya mencegah dan menanggulangi hipertensi. Bahkan The 1st Asian Pacific Conference on Hypertension pada tahun 1999 diselenggarakan di Indonesia, dan kelak The 11th Asian Pacific Conference on Hypertension pada 2015 juga akan diselenggarakan lagi di Indonesia.
Saat ini diperkirakan terdapat 76% kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis, dalam arti penderitanya tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi. Sementara itu dari sekitar 31,7% penderita hipertensi, hanya sekitar 0,4% kasus yang patuh meminum obat hipertensi secara teratur. Tingginya prevalensi hipertensi diduga terkait erat dengan gaya hidup, tingkat stress atau pola makan, terutama konsumsi garam, Konsumsi garam di masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi yaitu mencapai 15 gram sehari (melebihi batas yang dianjurkan, yaitu 6 gram atau sekitar 1 sendok the per hari). Selain itu Riskesdas 2007 juga menunjukkan bahwa 23,7% penduduk usia 10 tahun keatas merokok setiap hari dengan rata-rata 12 batang per hari; 48,2% penduduk kurang beraktifitas fisik; dan 93,6% penduduk kurang makan buah dan sayur, Ketiga perilaku tersebut juga merupakan faktor risiko bagi hipertensi.
Oleh sebab itu, para dokter (IDI) dan PERHI (InaSH) mengharapkan peran aktif organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk media massa, untuk turut menyosialisasikan masalah hipertensi sebagai faktor-faktor risiko serangan jantung, stroke dan gagal ginjal serta cara-cara mencegah dan mengendalikannya.
Budhi Setianto

Perempuan Harus Peduli Kepada Kaumnya

Sebagian anggota paguyuban IWOC dari seluruh wilayah Indonesia berkumpul di Restoran Pinang Bistro Mega Kuningan, 25 Februari 2012, menjelang acara InaSH.

PADA suatu hari mantan Presiden Malaysian Heart Association Dr. Robayah mengadakan pertemuan di Kuala Lumpur, untuk membicarakan masalah penyakit jantung pada perempuan. Tiga Presiden Heart Association (Filipina, Thailand dan Indonesia) yang kesemuanya perempuan, ditambah satu orang spesialis jantung perempuan dari Singapura diminta mempresentasikan kondisi penyakit jantung dan faktor risiko terkait di negara masing-masing.
Tentu presentasi ini menjadi unik, Singapura yang berpenduduk kurang dari 5 juta tampil dengan data-data yang lengkap, dan upaya prevensi yang telah menjangkau seluruh penduduk. Meskipun jumlah penduduknya kecil, tetapi mereka telah berhasil memecahkan record dunia, mendemontrasikan Resusitasi Jantung Paru oleh ribuan orang awam pada satu sesi! Indonesia yang penduduknya paling besar, tentu tidak mau kalah, tampil dengan data favorit “Riset Kesehatan Dasar 2007” Kementerian Kesehatan RI.
Kenapa masalah penyakit kardiovaskular menjadi perhatian para ahli jantung perempuan, khususnya di Negara ASEAN?
WHO melaporkan pada tahun 2005 sekitar 2,6 juta penduduk sepuluh negara ASEAN meninggal akibat penyakit tidak menular, dan setengahnya kaum perempuan. Jumlah tersebut merupakan 61,5% dari total kematian. Diproyeksikan pada tahun 2030 nanti jumlah kematian ini akan mencapai 4,2 juta.
Dalam laporan tahun 2011, WHO mendapatkan data kematian tahun 2004 dan 2008 sebagaimana terlihat pada tabel 1. Apakah penurunan kematian akibat penyakit tidak menular yang terjadi di empat negara ASEAN (kecuali Thailand) merupakan keberhasilan upaya prevensi dan pengobatan, ataukah karena koleksi data yang kurang akurat, sulit dijawab, karena memang tidak semua kematian dilaporkan dan diotopsi.

Perempuan di negara ASEAN seringkali mengabaikan kesehatan dirinya, kesehatan suami dan anak-anaknya lebih mereka prioritaskan. Pengobatan alternatif lebih mereka sukai, dibanding pengobatan modern yang dianggap menakutkan. Mereka enggan memeriksakan diri, dan sangat bergantung pada dorongan suami atau anak-anaknya untuk pergi ke rumah sakit. Sialnya, keluhan penyakit jantung iskemik pada perempuan sering tidak spesifik, sehingga mungkin terabaikan oleh para klinisi. Umumnya, penyakit jantung iskemik pada wanita timbul pada usia yang lebih tua daripada kaum lelaki. Ini semua mengakibatkan angka kematian yang lebih tinggi pada kaum perempuan ketika terjadi serangan jantung.

Gambar 1. Kematian akibat Penyakit Tidak Menular pada Perempuan per 100,000 (2008). Sumber: World Health Statistics Reports 2011 and 2010 assessed at www.who.int/whosis on 20th December, 2011

WHO juga melaporkan bahwa, penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus merupakan penyebab kematian utama pada perempuan ASEAN, melebihi penyakit kanker (gambar 1).
Kemajuan sosial ekonomi dan urbanisasi di suatu negara yang tidakdibarengi dengan upaya prevensi dan promosi penyakit kardiovaskular, memang sangat berpotensi terhadap peningkatan penyakit kardiovaskular. Salah satu contoh adalah kenaikan prevalesi berat badan berlebih dan obese serta tekanan darah tinggi (gambar 2).
Gambar 2. Perubahan Prevalensi Faktor Risiko Kardiovaskular di Indonesia
(1995-2010). Sumber: World Health Statistics Reports 2011 and 2010 assessed at www.who.int/whosis on 20th December, 2011

Meskipun angka perokok aktif pada perempuan ASEAN lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, tetapi mereka seringkali menjadi perokok pasif, baik di rumah maupun di lingkungan luar rumah. Kaum perempuan juga lebih jarang melakukan kegiatan olah raga, mereka disibukkan dengan mengurus anak dan memasak makanan untuk keluarga.
Untuk menggugah kepedulian para dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah perempuan (kini jumlahnya sekitar 85 orang) terhadap kaumnya, maka mereka bergabung dalam paguyuban Indonesian Women Cardiologist (IWoC). Mudah-mudahan paguyuban ini benar-benar menjadi motor penggerak upaya pencegahan penyakit kardiovaskular di wilayah kerja masing-masing.

Dr. Anna UlfahRahajoe, SpJP(K)