pita deadline

pita deadline

Rabu, 16 November 2011

Kalsifikasi Koroner dan Osteoporosis, Apa Kaitannya?

AHLI Patologi sudah lama mengenal kalsifikasi arterial, namun baru belakangan ini terjadi peningkatan perhatian terhadap kalsifikasi plak aterosklerosis, karena : 1) mudah dideteksi secara non-invasif (dengan alat Multislice CT); 2) berkaitan erat dengan besarnya plak aterosklerosis; 3) merupakan parameter surrogate untuk aterosklerosis, sehingga dapat digunakan sebagai deteksi dini preklinik dari penyakit kardiovaskular; dan 4) berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular (Doherty et al. 2004).
Konsekuensi klinis dari kalsifikasi koroner adalah berkaitan erat dengan berat plak aterosklerotik (Rumberger et al. 1995), peningkatan risiko infark miokard dan instabilitas plak (Fitzgerald et al. 1992), serta kalsifikasi koroner sendiri diduga berperan pada inisiasi atau laju penyakit kardiovaskular. (Giachelli et al. 2001)
Kalsifikasi vaskular dulu dianggap sebagai suatu proses degeneratif pasif dan tak terelakkan yang mengakibatkan deposisi mineral pada dinding vaskular terjadi pada tahap lanjut aterosklerosis. Namun, studi-studi terbaru mengidentifikasi kalsifikasi vaskular pada tahap dini aterosklerosis dan timbulnya berkaitan dengan kejadian kardiovaskular. Derajat kalsifikasi berhubungan dengan inflamasi vaskular lokal serta progresifitas aterosklerosis. Pada dekade terakhir, telah banyak dikemukakan kaskade signal molekuler yang sangat teregulasi & kompleks yang mengendalikan kalsifikasi vaskular. (Mazzini and Schulze 2006; Belovici and Pandele 2008)
Osteoporosis beserta fraktur tulang yang diakibatkannya merupakan masalah kesehatan umum utama dan semakin menonjol. Patogenesis osteoporosis sangat kompleks pada berbagai fase dari pertumbuhan, pemeliharaan dan pengurangan tulang, serta faktor-faktor non skeletal seperti insiden jatuh dan risiko patah tulang. (Samelson and Hannan 2006)
Telah lama diamati adanya fenomena paradoks antara osteoporosis dan kalsifikasi vaskular, pada pasien osteoporosis, terjadi pengeroposan atau berkurangnya jaringan tulang pada saat yang bersamaan dengan pembentukan tulang di dinding pembuluh darah. (Demer 2002)
Selama ini, osteoporosis dan penyakit kardiovaskular dianggap sebagai dua proses penuaan non-modifiable yang berbeda dan tak berhubungan satu dengan yang lain, namun kemudian ditemukan banyak bukti bahwa kedua fenomena ini saling berkaitan secara biologis. Selama pembentukan kalsifikasi vaskular, transisi sel otot polos vaskular menjadi fenotipe osteoblast-like mempromosi pelepasan struktur vesikular dan mineralisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya berhubungan dengan metabolisme mineral, seperti fosfor, kalsium atau hormon paratiroid, yang mempengaruhi super saturasi struktur dan eksepresi faktor osteogenik. (Cannata-Andia et al.; Whitney et al. 2004)
Timbul pertanyaan, apakah kalsifikasi vascular mempengaruhi metabolism tulang, dan terdapat crosstalk antara kedua jaringan tersebut. Bukti baru menunjukkan, beberapa inhibitor dari jalurWnt, seperti secreted frizzled Proteins 2 & 4 dan Dickkopf related protein-1 (DKK-1), menghubungkan kalsifikasi vaskular dan osteoporosis. (Cannata-Andiaet al.2011)
Pertanyaan lebih lanjut, apakah laju perkapuran vaskular dapat dibatasi ataupun dicegah, dan apakah hal ini berpengaruh pada klinis pasien.

Referensi:
Belovici, M. I., and G. I. Pandele. 2008. [Arterial media calcification in patients with type 2 diabetes mellitus]. Rev Med Chir Soc Med Nat Iasi 112 (1): 21-34.
Biggs, W. S. 2008. Calcium supplementation: Data were misrepresented. BMJ 336 (7641): 404.
Bolland, M. J., P. A. Barber, R. N. Doughty, B. Mason, A. Horne, R. Ames, G. D. Gamble, A. Grey, and I. R. Reid. 2008. Vascular events in healthy older women receiving calcium supplementation: randomised controlled trial. BMJ 336 (7638): 262-266.
Cannata-Andia, J. B., P. Roman-Garcia, and K. Hruska. The connections between vascular calcification and bone health. Nephrol Dial Transplant 26 (11): 3429-3436.
Demer, L. L. 2002. Vascular calcification and osteoporosis: inflammatory responses to oxidized lipids. Int J Epidemiol 31 (4): 737-741.
Doherty, T. M., L. A. Fitzpatrick, D. Inoue, J. H. Qiao, M. C. Fishbein, R. C. Detrano, P. K. Shah, and T. B. Rajavashisth. 2004. Molecular, endocrine, and genetic mechanisms of arterial calcification. Endocr Rev 25 (4): 629-672.
Fitzgerald, P. J., T. A. Ports, and P. G. Yock. 1992. Contribution of localized calcium deposits to dissection after angioplasty. An observational study using intravascular ultrasound. Circulation 86 (1): 64-70.
Flipon, E., S. Liabeuf, P. Fardellone, R. Mentaverri, T. Ryckelynck, F. Grados, S. Kamel, Z. A. Massy, P. Dargent-Molina, and M. Brazier. Is vascular calcification associated with bone mineral density and osteoporotic fractures in ambulatory, elderly women? Osteoporos Int.
Giachelli, C. M., S. Jono, A. Shioi, Y. Nishizawa, K. Mori, and H. Morii. 2001. Vascular calcification and inorganic phosphate. Am J Kidney Dis 38 (4 Suppl 1): S34-37.
Hsia, J., G. Heiss, H. Ren, M. Allison, N. C. Dolan, P. Greenland, S. R. Heckbert, K. C. Johnson, J. E. Manson, S. Sidney, and M. Trevisan. 2007. Calcium/vitamin D supplementation and cardiovascular events. Circulation 115 (7):846-854.
Lappe, J. M., and R. P. Heaney. 2008. Calcium supplementation: Results may not be generalisable. BMJ 336 (7641): 403; author reply 404.
London, G. M. Soft bone - hard arteries: a link? Kidney Blood Press Res 34 (4): 203-208.
Mazzini, M. J., and P. C. Schulze. 2006. Proatherogenic pathways leading to vascular calcification. Eur J Radiol 57 (3): 384-389.
Miller, P. D. Vitamin d, calcium, and cardiovascular mortality: a perspective from a plenary lecture given at the annual meeting of the american association of clinical endocrinologists. Endocr Pract 17 (5): 798-806.
Phan, O., O. Ivanovski, I. G. Nikolov, N. Joki, J. Maizel, L. Louvet, M. Chasseraud, T. Nguyen-Khoa, B. Lacour, T. B. Drueke, and Z. A. Massy. 2008. Effect of oral calcium carbonate on aortic calcification in apolipoprotein E-deficient (apoE-/-) mice with chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 23 (1): 82-90.
Puccetti, L. 2008. Calcium supplementation: Confounders were ignored. BMJ 336 (7641): 403-404; author reply 404.
Ramlackhansingh, J. N. 2008. Calcium supplementation: Some issues on outcomes. BMJ 336 (7641): 403; author reply 404.
Reid, I. R., M. J. Bolland, A. Avenell, and A. Grey. Cardiovascular effects of calcium supplementation. Osteoporos Int 22 (6):1649-1658.
Rumberger, J. A., D. B. Simons, L. A. Fitzpatrick, P. F. Sheedy, and R. S. Schwartz. 1995. Coronary artery calcium area by electron-beam computed tomography and coronary atherosclerotic plaque area. A histopathologic correlative study. Circulation 92 (8): 2157-2162.
Samelson, E. J., and M. T. Hannan. 2006. Epidemiology of osteoporosis. Curr Rheumatol Rep 8 (1): 76-83.
Whitney, C., D. E. Warburton, J. Frohlich, S. Y. Chan, H. McKay, and K. Khan. 2004. Are cardiovascular disease and osteoporosis directly linked? Sports Med 34 (12): 779-807.

Antonia Anna Lukito
RS Siloam Karawaci dan FK UPH

Prediktor Kejadian SKA pada Pemeriksaan CT-Scan

DEWASA ini pemeriksaan CT scan telah menjadi salah satu modalitas diagnostik pada penyakit jantung koroner (PJK). Memang, dibandingkan dengan kateterisasi yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), CT scan menawarkan beberapa keuntungan, salah satunya adalah non invasif. Sedemikian populernya modalitas ini, membuat beberapa rumah sakit menawarkan pemeriksaan calcium score (CCS) sebagai salah satu pemeriksaan penyaring PJK pada paket-paket medical check-up tertentu. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemeriksaan CT scan pembuluh darah koroner yang lengkap terdiri dari dua tahap, yakni pemeriksaan calcium score (tanpa zat kontras) dan angiorafi koroner (dengan zat kontras).
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa CCS berbanding lurus dengan proses aterosklerosis pembuluh darah koroner, semakin tinggi nilainya, yang menandakan deposit kalsium pada dinding pembuluh darah, maka semakin berat juga proses aterosklerosis. Selain itu, dengan CCS dapat ditentukan prognosis pasien tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat petanda lain pada pemeriksaan angiografi koroner yang dapat memperkirakan timbulnya sindroma koroner akut (SKA), yaitu soft plaque (SP) atau low-attenuation plaques (LAP) dan positive vessel remodeling (PR).
Penelitian yang dilakukan Motoyama dkk menunjukkan bahwa temuan LAP dan PR pada pemeriksaan CT angiografi koroner berkaitan erat dengan timbulnya SKA di masa mendatang. Studi ini dilatarbelakangi fakta bahwa karakteristik lesi koroner penyebab SKA (culprit lesion) mencakup LAP dan PR, akan tetapi hingga saat itu belum ada penelitian yang menunjukkan hubungan prospektif antara kedua karakteristik lesi tersebut dengan SKA. Sebanyak 1,059 pasien yang menjalani CT angiografi koroner diikutkan dalam studi ini. Hasil CT scan dianalisis untuk menentukan ada atau tidaknya LAP dan PR yang dikaitkan dengan timbulnya SKA di masa mendatang. Masa observasi berkisar antara 17 hingga 37 bulan.
Dari 45 pasien yang memiliki karakteristik plak dengan LAP dan PR (keduanya), timbul SKA pada 10 pasien (22.2%), jauh lebih tinggi dibanding 1 (3.7%) kejadian SKA pada pasien yang hanya memiliki salah satu karakteristik tersebut. Pada kelompok pasien tanpa LAP maupun PR tapi dengan angiografi abnormal, SKA hanya terjadi pada 0.5% kasus, sedang pada 167 pasien dengan hasil angiografi yang normal, tak satupun yang terkena SKA selama masa observasi. Disimpulkan, pasien dengan karakteristik PR dan LAP pada pemeriksaan CT angiografi koroner merupakan kelompok risiko tinggi terkena SKA di masa mendatang dibanding kelompok tanpa karakteristik tersebut.
Walaupun CT scan telah terbukti memiliki manfaat dan keunggulan tersendiri dalam diagnosis dan tatalaksana PJK, tetap harus dipertimbangkan faktor biaya, efek samping penggunaan zat kontras dan bahaya radiasi setiap akan melakukan pemerikaan tersebut. Perlu diketahui bahwa tingkat radiasi pemeriksaan CT scan koroner lengkap mencapai ratusan kali radiasi pemeriksaan foto toraks. Untuk itu, setiap pemeriksaan hendaknya didasarkan atas petunjuk dokter sesuai indikasi yang ada, termasuk untuk pemeriksaan calcium score.

(J Am Coll Cardiol 2009; 54(1): p.49-57.
Estu

Menyambut 54 Tahun Ulang Tahun Perki

TANGGAL 16 November merupakan hari yang bersejarah bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), karena pada tanggal tersebut 54 tahun yang lalu PERKI dilahirkan. Adalah dr. Gan Tjong Bing, seorang Internist Cardiologist lulusan Belanda yang berfikiran visioner, mendeklarasikan berdirinya PERKI. Ia sendiri menjabat sebagai sekretaris Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang didirikan beberapa jam lebih awal. Dalam pidatonya dengan jujur ia mengatakan bahwa, ilmu kardiologi demikian luasnya, dan tak mungkin dikuasai oleh seorang yang menyandang brevet Internist.
Sejak itulah secara konsisten ia mengembangkan profesi kardiologi. Pada tahun 1966 dibantu oleh dr. Ong Kee Hian, ia menerbitkan buku berjudul: PENJAKIT DJANTUNG. Buku yang diterbitkan oleh Yajasan Kardiologi Indonesia pada 1967 itu, kini melengkapi koleksi The National Library of Australia. Memang, saat itu penyakit jantung reumatik paling menonjol, tapi belajar dari pengalamannya di Europa, diprediksikan prevalensi penyakit jantung koroner akan meningkat cepat di Indonesia. Ia menyadari, dengan penduduk yang begitu besar, Indonesia pasti akan memerlukan banyak ahli jantung dan kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secepatnya. Terobosan harus dibuat untuk mengantisipasi kebutuhan ahli jantung yang siap melayani masyarakat Indonesia yang demografinya tidak sesederhana negeri Belanda.
Perjuangan untuk mengembangkan pendidikan ahli jantung memang bukan hal yang mudah, hambatan demi hambatan harus ia lalui. Profesi yang baru ini pun tak menjanjikan jaminan hidup yang layak bagi dirinya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran kembali ke negeri kincir angin. Meskipun demikian, dr. Gan Tjong Bing telah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Jasanya selalu dikenang oleh lima ratusan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
Perjuangan mengembangkan pelayanan dan profesi kardiologi kemudian diteruskan oleh dr. Sukaman, didukung oleh mitra kerjanya seorang ahli bedah jantung dr. Iwan Santoso. Beberapa ahli jantung muda (dr. Ranti, dr. Luthfi, dr. Tagor, dr. Asikin Hanafiah dan dr. Lily Rilantono) ikut mendampingi perjuangannya di kala itu. Dr. Sukaman adalah penggagas berdirinya Asean Federation of Cardiology, oleh karena itu SUKAMAN LECTURE selalu menghiasi acara ilmiah organisasi kardiologi negara-negara anggota Asean yang jumlahnya terus bertambah. Perannya dalam mendirikan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita juga sangat dominan. Konsep pelayanan kardiovaskuler holistik yang berwawasan nasional sudah ada dibenaknya, oleh karena itu rumah sakit ini disebut juga Pusat Kesehatan Jantung Nasional (PKJN).
Dr. Sukaman memang seorang pejuang tanpa pamrih. Pembawaannya tenang dan berwibawa, tak banyak bicara, tetapi hangat dalam persahabatan.”Ketika itu aku harus naik kereta api ke Jogya untuk bergabung dengan suami yang sedang berjuang, dia yang mengantarkan aku ke stasiun dengan menggendong Niesye anakku yang masih balita. Kereta begitu penuh, kami harus berdesak-desakan untuk mencapai kursi yang sudah dipesan. Aku menyuruhnya segera turun, karena kereta sudah hampir jalan, namun dengan tenang ia menolak. Don’t worry……, aku bisa turun di Bekasi katanya, ketika kereta mulai berjalan. Sukaman memang seorang sahabat yang setia”, kenang ibu Eri Sudewo istri sahabat dr. Sukaman dalam perjuangan dan kolega yang sama-sama belajar di Swedia.
Kini, apa yang dikatakan oleh dr. Gan Tjong Bing memang terasa sekali kebenarannya. Ilmu dan teknologi di bidang kardiovaskuler maju begitu pesat, penyakitnya pun menjadi top sebagai penyebab kematian. Subspesialisasi kardiovaskuler berkembang, sehingga tak seluruhnya dapat dikuasai secara mendalam oleh seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP). Subspesialisasi ini memerlukan tambahan pendidikan untuk mencapai kepakaran yang sejati. Ada delapan bidang subspesialisasi yang berkembang di Indonesia saat ini: intervensi, aritmia dan elektrofisiologi, klinikal dan perawatan intensif kardiovaskuler, ekokardiografi, pencitraan kardiovaskuler, vaskuler, penyakit jantung bawaan dan rehabilitasi jantung. Masih ada subspesialisasi lain yang sudah berkembang di negara-negara maju namun belum dikembangkan di Indonesia.
Masyarakat mulai merasakan, betapa pentingnya kehadiran seorang SpJP di wilayahnya, mereka semakin memahami bahwa kematian akibat serangan jantung bisa terjadi tiba-tiba di mana saja, tanpa pandang sosial ekonomi dan usia. Kematian mendadak selebriti muda seperti Adji Masaid membuat praktek SpJP mendadak ramai oleh kedatangan kelompok muda usia yang dibayangi ketakutan dan ingin check up jantung.
Pola makan sehat seperti makan buah dan sayur lima kali sehari dan banyak makan makanan berserat, kurang dipahami oleh masyarakat kita. Mereka mengira sayur yang dibubuhi santan kental, juga merupakan sayur yang sehat untuk disantap. Belum lagi makanan cepat saji resepasing, yang tumbuh menjamur di kota-kota besar. Olah raga 30 menit atau jalan kaki 3 km setiap hari, hanya taat diikuti oleh sebagian kecil masyarakat. ”Harus berangkat pagi sekali supaya tak terhambat kemacetan lalu lintas, dan sampai rumah sudah larut malam”, itulah alasan klasik yang sering kita dengar. Kondisi-kondisi seperti ini membuat prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas semakin meningkat.
Obesitas sentral berhubungan erat dengan sindroma metabolik yang ditandai hipertensi, dislipidemia dan diabetes mellitus, kelainan-kelainan yang sangat berperan dalam proses atherosklerosis. Sayangnya, tak banyak kolega yang menyediakan alat pengukur berat badan, tinggi badan dan lingkar perut di tempat prakteknya. Kawasan Sulawesi Utara – Manado dan sekitarnya adalah daerah dengan prevalensi obesitas sentral tertinggi di Indonesia (lingkar perut >80 cm pada perempuan dan > 90 cm pada laki-laki). Upaya kolega kita memberikan ceramah kesehatan jantung dan pembuluh darah di pemerintah daerah, ibu-ibu Dharma Wanita bahkan di gereja-gereja belum cukup. Sekolah-sekolah harus juga dijangkau, karena di sana seringkali obesitas sudah mulai terjadi. Belum lagi kebiasaan merokok yang sulit dicegah pada sebagian besar pria Indonesia, terlebih-lebih dengan maraknya promosi industri rokok yang bermodal besar. Rupa-rupanya setoran cukai rokok yang mencapai 50 triliun rupiah membuat pemerintah enggan untuk menanda tangani konvensi anti tembakau.
Pelatihan khusus untuk petugas penyuluh kesehatan tentang kesehatan kardiovaskuler perlu digalakan, bukan saja di Manado, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Tentu harus ada kerjasama yang baik antara PERKI cabang/komisariat dengan pemerintah daerah dan YJI setempat. Karena strok juga mempunyai latar belakang penyebab yang sama, maka gerakan pencegahan penyakit jantung dan pembuluh darah perlu dilaksanakan bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI) dan Yayasan Strok Indonesia di wilayah masing-masing. Di tingkat pusat, PERKI dan YJI menginisiasi pembentukan Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Non Communicable Disease/NCD), dimana kanker, penyakit paru obstruktif kronik dan diabetes merupakan sasaran utamanya selain penyakit kardiovaskuler. Berbagai organisasi profesi kedokteran dan lembaga swadaya masyarakat terkait bergabung, bersama menyatukan langkah. Upaya pencegahan dan pengendalian NCD memang terkait satu sama lain, kolaborasi diharapkan akan memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Dewasa ini pencegahan dan pengendalian NCD memang bukan prioritas, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Akibatnya, anggaran yang disediakan untuk program ini sangat kecil, karena tidak termasuk dalam target Millenium Development Goals (MDGs), seperti HIV. Padahal para ahli kesehatan masyarakat menyadari, bahwa sekitar dua pertiga kematian dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular. Berbeda dengan negara-negara maju, mereka faham sekali betapa besar kerugian yang diderita oleh negara akibat kenaikan prevalensi penyakit tidak menular. Bukan saja karena ongkos pengobatannya sangat besar, tetapi juga karena kerugian akibat hilangnya produktifitas pasien yang umumnya masih menjadi tulang punggung keluarga. Betapa tidak, seorang pasien yang harus menjalani bedah pintas koroner menghabiskan sekitar 60–80 juta rupiah, pemasangan 1 stent 40 juta, 2 stent 60 juta, 3 stent 80 juta. Hal yang sama dengan pengobatan kanker, kesemuanya memerlukan obat dan peralatan medis import yang mahal harganya. Lalu, pantaskah barang-barang penyambung nyawa itu dianggap sebagai barang mewah yang harus dikenai pajak tinggi?
Prevalesi NCD di negara berkembang terus meningkat, tetapi di negara maju justru turun. Penurunan ini terjadi berkat upaya pencegahan dan pengendalian NCD yang sangat agresif, didukung oleh anggaran yang memadai. WHO meramalkan bahwa 80% kematian akibat NCD akan terjadi di negara-negara berkembang. Tentu kemajuan terapi ikut berperan, intervensi dini pada pasien penyakit jantung koroner dan revaskularisasi cepat ketika terjadi infark miokard akut berhasil mengurangi angka kematian, menurunkan masa rawat pasien dan mengurangi komplikasi yang memerlukan penangan mahal dan kronik. Pengorganisasian jejaring yang kuat, sangat menentukan keberhasilan ini. Kolaborasi antara pelayanan primer, sekunder dan tersier sudah terstruktur; pelayanan pra rumah sakit termasuk paramedik dan sarananya dipersiapkan sungguh-sungguh, sehingga layanan ini berjalan sesuai protokol. Kesemuanya dapat terlaksana karena para dokter SpJP memahami benar, bahwa pada hakekatnya keberadaan mereka adalah untuk menurunkan prevalensi penyakit kardiovaskuler, mengupayakan agar pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat dideteksi dini dan bagi yang mengalami serangan sindroma koroner akut mendapat penanganan awal sebagaimana mestinya. Membagi ilmu dan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada dokter di pelayanan primer adalah suatu keniscayaan.
Kemenangan perjuangan untuk memasukkan NCD ke dalam target MDGs telah dicapai pada tanggal 19-20 September 2011 yang lalu, dalam United Nation summit di New York. Presiden dan utusan berbagai negara anggota PBB secara serentak memberikan dukungan untuk memasukkan NCD ke dalam target post MDGs 2015. Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan, masing-masing beserta stafnya. President Indonesian Heart Association yang juga menjadi Ketua Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular ikut hadir di sana. Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa yang mewakili Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menyatakan: “non-communicable diseases were affecting mostly working-age adults, eroding the most productive generation in the world today, thus reducing the gross domestic product of low to middle-income countries by as much as 5 per cent. “This is one reason why poverty is so wide-spread,” he said. “In our view, prevention is the key to resolving it. Prevention is and will be our priority.” Akhirnya, semua negara serentak menyatakan bahwa, NCD bukan hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kelangsungan perkembangan suatu bangsa. Oleh karena itu, prevensi NCD mutlak diperlukan dan harus mendapat prioritas.
Ada dua kewajiban yang kini harus kita laksanakan bersama. Pertama mensosialisasikan deklarasi yang telah disepakati di UN summit itu, kepada seluruh lapisan masyarakat, para akademisi, organisasi profesi, media massa dan tentu saja pemerintah di berbagai lini. Kedua, mendorong terealisasinya empat hal yang telah disepakati, yaitu: terwujudnya kerangka pemantauan global terhadap keberhasilan pencapaian target global dan indikator nasional NCD serta faktor risikonya - pada akhir tahun 2012; persiapan langkah-langkah kerjasama multisektoral - selesai pada akhir tahun 2012; pemantapan kebijakan multisektoral dan perencanaan nasional pencegahan dan pengobatan NCD serta implementasinya - pada tahun 2013; persiapan membuat laporan tentang komitmen terhadap pelaksanaan deklarasi sebagai dasar evaluasi yang menyeluruh - pada tahun 2014. Banyak hal yang harus kita kerjakan dalam upaya pencegahan NCD, khususnya pencegahan terhadap penyakit kardiovaskuler; ini memerlukan kerja keras kita semua.
Pada tanggal 28 Oktober 2011 DPR mengesahkan Undang-undang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS). Setelah 66 tahun merdeka, akhirnya Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 28 ayat (3) dan 34 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Dengan disahkannya UU BPJS, maka per 1 Januari 2014 nanti setiap warga negara Indonesia mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Kemanapun mereka berobat asalkan itu rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan PT Askes, tidak akan dikenakan biaya. Tentu bagi yang mempunyai penghasilan tetap dan layak, akan dikenakan kewajiban membayar premi seperti halnya pegawai negeri, sedangkan bagi yang tak mampu Pemerintah yang akan menanggungnya. PT Askes sebagai provider jasa asuransi kesehatan pegawai negeri dipercaya menjadi provider asuransi kesehatan nasional. Untuk itu, PT Askes akan berubah bentuk dari perseroan terbatas dibawah BUMN menjadi badan hukum publik yang mengelola dana amanat di bawah BPJS.
PT Askes sadar bahwa beban biaya pelayanan kardiovaskular akan sangat besar dan mendominasi biaya kesehatan. Oleh karena itu, program promosi dan prevensi, deteksi dini dan sistim rujukan pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif kini mereka persiapkan. Khusus untuk bidang kardiovaskuler PERKI membantu sepenuhnya. Film pendek (filler) prevensi penyakit kardiovaskuler dari PT Askes akan segera beredar, dibintangi oleh Prof. Budi Setianto dan artis Veliza.
Lalu, cukup layakkah tarif pelayanan yang akan dibayarkan oleh PT Askes? Center for Casemix Kementerian Kesehatan telah menghasilkan tarif-tarif layanan yang akan diberlakukan sebagai tarif untuk asuransi kesehatan nasional. Tarif dikemas dalam paket-paket yang dikelompokkan sesuai pengelompokan Ina-CBG (Indonesian Case Base Group), ciptaan United Nation University yang ada di Kuala Lumpur. Mencermati rendahnya tarif yang dihasilkan oleh center for Casemix, PERKI meminta penyesuaian (ajustment). Semoga upaya ini berhasil, sehingga pelayanan kardiovaskuler di daerah dapat maju pesat, dan dokter SpJP serta dokter spesialis Bedah Toraks Kardiovaskuler (SpBTKV) lebih bergairah untuk bekerja di daerah.

Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Ketua PP PERKI

Kamis, 10 November 2011

Patogenesis OSA dan CSA pada Pasien dengan HF: Perpindahan Cairan Anggota Gerak Bawah di Malam Hari

“Perpindahan cairan dari kaki yang terjadi malam hari pada penderita laki-laki dengan gagal jantung menyebabkan peningkatan lingkar leher dan penurunan PCO2, dengan hasil akhir terjadinya OSA dan CSA”
OBSTRUCTIVE sleep apnea (OSA) disebabkan oleh obstruksi berulang saluran nafas bagian atas dan central sleep apnea (CSA) terjadi akibat pengurangan intermiten PCO2 yang terjadi pada pusat pernafasan di bawah ambang apnea.
Dibandingkan populasi umum, OSA dan CSA lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan gagal jantung (HF), dimana akan meningkatkan angka mortalitas mereka.
Pasien dengan HF dapat terjadi OSA, CSA maupun keduanya, yang mana dapat beralih dari satu gangguan tidur apnea ke tipe yang lain, begitu juga sebaliknya.
Dapat dilihat bahwa gangguan tidur ini berhubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat dicari kesamaan patogenesisnya.
Dilakukanlah studi oleh Yumino dkk., yang menganalisis perpindahan cairan dari kaki yang terjadi malam hari dapat meningkatkan lingkar leher dengan hasil akhir penyempitan dan peningkatan kolaps faring.
Perpindahan cairan dari kaki ke leher inilah yang meningkatkan obstruksi faring berulang, mungkin saja terjadi pada pasien HF, dikarenakan pada dasarnya pasien tersebut terjadi retensi cairan di kaki, patogenesis ini dapat dimengerti pada kejadian OSA.
CSA terjadi pada pasien HF karena stimulasi iritasi reseptor di paru akibat dari kongesti paru, nilai PCO2 berkebalikan dengan tekanan baji paru. Pada kondisi ini, terjadi peningkatan ventilasi yang menyebabkan PCO2 di bawah ambang apnea.
Studi ini menggunakan 57 pasien HF (EF =< 45%), dihitung perubahan volume cairan pada kaki dan lingkar leher sebelum dan sesudah pemeriksaan polisomnografi, juga dilakukan pengukuran PCO2 transkutan selama tindakan polisomnografi. Pasien dibagi dalam kelompok dominan obstruksi (=> 50% obstruksi apnea dan hipopnea) dan dominan sentral (> 50% kejadian sentral). Pasien dengan OSA mendapatkan CPAP (continuous positive airway pressure), sementara CSA tidak.
Pada kelompok dominan obstruksi terjadi hubungan yang terbalik antara perubahan volume cairan kaki dengan lingkar leher pada malam hari (r = - 0,780, p < 0,001) dan index apnea-hipopnea (r = - 0,881, p < 0,001) tetapi tidak terjadi pada nilai PCO2. Kelompok dominan sentral memperlihatkan penurunan volume cairan kaki malam hari yang dihubungkan secara terbalik dengan index apnea-hipopnea (r = -0,919, p < 0,001) dan perubahan lingkar leher malam hari (r = - 0,569, p < 0,009).
CPAP dapat menurunkan kejadian OSA yang dihubungkan dengan pencegahan terjadinya peningkatan lingkar leher malam hari (p < 0,001).
Temuan studi ini menunjukkan bahwa perpindahan cairan anggota gerak bawah yang terjadi pada malam hari sebagi konsep pathogenesis yang menyatukan kejadia OSA, CSA, ataupun keduanya pada pasien HF.
(Circulation 2010; 121: 1598-1605)
SL Purwo

Don’t worry be happy

JUDUL tulisan ini diambil dari judul publikasi penelitian dari European Heart Journal edisi bulan Mei 2010. Judul lengkapnya adalah: “Don’t worry be happy: positive affect and reduced 10-year incident coronary heart disease: the Canarian Nova Scotia Health Survey.” Penelitian ini membuktikan bahwa afek positif pada pasien, secara independen menurunkan risiko kejadian penyakit jantung koroner dalam 10 tahun dengan Hazard Ratio (HR) 0,78 (CI 0,63-0,96; p=0,02). Yang dijadikan end-point studi ini adalah kejadian iskemik jantung fatal dan non-fatal selama 10 tahun observasi. Metode yang dilakukan adalah mengukur afek responden dengan skala 1 sampai 5 saat diwawancarai perawat yang telah dilatih untuk mewawancarai dengan struktur tipe A. Grup yang dijadikan pembanding dinilai skala depresi, kekerasan dan kecemasan, yang ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Studi ini melibatkan jumlah pasien yang besar yaitu total 1739 dewasa (862 laki-laki dan 877 perempuan) dan diobservasi dalam waktu yang cukup lama.
Hasil penelitian ini mengingatkan kita untuk tetap memperhatikan kondisi mental pasien, kemudian membantu pasien kita selain memotivasi untuk mengatasi stres, namun kita tambahkan lagi dengan pesan untuk selalu berafek positif, don’t worry be happy!
(Eur Heart J 2010 May; 31(9): 1065-1070)
Sony HW

Senin, 07 November 2011

Jalan Tiap Sabtu Pagi Bersama Dokter

GAYA hidup sehat, yaitu olahraga teratur dan kebiasaan makan sehat, sangat penting dalam pencegahan penyakit jantung koroner; namun masih banyak pasien kesulitan konsisten menjalani gaya hidup sehat. Dalam usaha memberi teladan, David Sabgir, MD, FACC, meluncurkan program Walk with a Doc, suatu program komunitas yang membantu pasien memperbaiki kesehatan mereka melalui olahraga dan berbagi pengetahuan. Sebuah artikel di Cardiology Magazine (www.cardiosource.org/cardiologymagazine) menjelaskan sebuah program dimana beberapa orang dokter berkumpul tiap sabtu pagi di taman lokal untuk berjalan bersama pasien dan berdialog dalam menekuni gaya hidup sehat.

Program Walk with a Doc diluncurkan di Colombus, Ohio (Amerika Serikat), Walk with a Doc membantu menutup celah antara perintah dokter dan perubahan gaya hidup bagi pasien. Awalnya kurang dari 5% pasien yang dapat mencapai target olahraga 150 menit per minggu, ungkap Sabgir. Melalui kabar dari mulut ke mulut dan selebaran dari pasiennya, ia mengorganisir jalan bersama pertama kali di taman lokal yang berhasil mengajak 100 orang. Respon setelah itu lebih besar lagi. Dalam 7 tahun terakhir, Walk with a Doc telah menyebar hingga di 35 lokasi sekitar negara bagian, dengan 50 lokasi lagi akan segera meluncur dan 150 lagi menunjukkan ketertarikan yang kuat.

Bagaimana dengan kita?

Apakah kita sudah menjalani atau merencanakan program Jalan pagi bersama pasien kita?

Apakah kita memiliki metode untuk membantu pasien kita konsisten menjalani gaya hidup sehat?

Apa tantangan utama yang dihadapi dalam memastikan pasien kita mendengarkan rekomendasi kita?

Courtney Stuntz -Cardiosource.org forums