pita deadline

pita deadline

Senin, 18 Mei 2009

Reaksi Alergi Akibat Stent Berlapis Obat

Reaksi hipersensitivitas paska implantasi DES perlu mendapat monitor ketat dan tak perlu terburu-buru menghentikan antiplatelet.

Penggunaan stent berlapis obat (drug eluting stent/DES) telah terbukti secara klinis dan angiografi menurunkan angka penyempitan ulang (restenosis) dibanding stent polos (bare metal stent). Dua obat pelapis yang paling banyak dipakai adalah sirolimus (CYPHER, Cordis Corp., Miami Lakes, Florida) yang disetujui FDA sejak Mei 2003 dan paclitaxel (TAXUS, Boston Scientific Corp., Natick, Massachusetts) yang disetujui FDA pada Maret 2004. Efektivitas DES dalam mencegah restenosis itu melejitkan penggunaannya di berbagai negara. Dilaporkan tak kurang dua juta DES telah terpasang di pembuluh-pembuluh koroner pasien-pasien yang berobat di Amerika. Walaupun efektif dalam mencegah restenosis namun pada pada sejumlah pasien DES dapat menimbulkan reaksi alergi. Reaksi alergi ini bila tidak diperhatikan dapat menimbulkan konsekuensi serius.
Jonathan R. Nebekker dan kawan-kawan belum lama ini melaporkan kasus-kasus hipersensitivitas akibat DES di Journal of the American College Cardiology. Data-data diambil dari laporan masuk ke badan obat dan makanan Amerika (FDA), hasil penelusuran berbagai literatur. Terdapat 262 kasus reaksi hipersensifitas yang terkait dengan DES. Dari jumlah tersebut, 17 diantaranya dianggap mungkin (probably) atau pasti akibat implantasi stent. Kepastian reaksi alergi akibat DES terbukti dari hasil otopsi 4 pasien yang memperlihatkan bukti-bukti reaksi eosinophilic pada area stent. Sedangkan 13 kasus diklasifikasikan "probably" setelah ada tanda-tanda alergi. Manifestasi utama alergi itu umumnya di kulit, biasanya diawali dalam kurun 10 hari setelah implantasi stent. Durasi gejala alergi lebih dari 4 minggu pada 11 dari 17 pasien.
"Penyebab reaksi alergi itu adalah polymer DES, jadi bukan obat pelapis maupun bahan stent. Studi-studi sebelumnya telah melaporkan keterkaitan antara polymer dan respon hipersensitivitas", tulis Nebekker dkk.
Dalam kolom editorial mengomentari laporan Nebekker dkk, Babak Azarbal dan Jesse W Currier menyetujui pendapat peneliti bahwa polymer itulah sang penyebab.
Jangan terburu-buru menuding antiplatelet seperti clopidogrel sebagai penyebabnya dan kemudian menghentikan obat tersebut. Penghentian antiplatelet pada keadaan demikian malah dapat berisiko instent trombosis.
(Dr. Yahya AF. Kardiovaskuler 129)

Vaksin Flu Burung : Berpacu dengan Waktu

Walaupun vaksin ini dinyatakan aman namun tingkat imunogenisitasnya masih belum memuaskan.

Wabah raya yang menimpa penduduk di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, hingga kini masih membuat sibuk para ahli di berbagai negara. Berbagai cara telah dilakukan yaitu dengan memutus rantai penyebarannya dengan memusnahkan unggas yang terkena virus Avian Influenzae ini.
Terapi yang pernah dilakukan adalah dengan memberikan obat anti virus neuroamidase inhibitor oseltamivir, tapi belakangan di Vietnam obat inipun seolah tak mampu (resisten) menahan laju progresivitas penyakit.
Akhirnya orang berharap dapat ditemukan vaksin penolaknya. John J Treamor dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan penggunaan vaksin flu burung H5 N1 subvirion inaktivasi. Laporan penelitian mereka dipublikasikan dalam New England Journal Medicine edisi 30 Maret 2006 lalu.
Treamor dan kawan-kawan melaporkan data hasil penelitian klinis random multisenter uji tersamar ganda plasebo terkontrol vaksin subvirion influenza A (H5 N1). Dengan mengikutsertakan 451 orang dewasa sehat berusia 18 hingga 64 tahun dan menerima dua dosis vaksin tanpa adjuvant yang mana masing-masingnya mengandung 90, 45, 15 atau 7,5 mikrogram antigen hemaglutinin atau plasebo.
Vaksin tersebut diproduksi dari isolat manusia (A/Vietnam/1203/2004 H5N1) jenis H5 N1 yang virulen dengan menggunakan sistem penyelamatan plasmid serta adanya gen hemoagglutinin dan neuroamidase. Gen sisa berasal dari avirulent dikembangbiakan pada telur yang diperoleh dari strain influenzae A/PR 834.
Hasilnya vaksin dalam studi yang dilakukan oleh Treamor dan kawan-kawan memberikan penundaan. Walaupun vaksin 1203 dinyatakan aman dengan profil efek samping yang tidak nampak namun tingkat imunogenisitasnya masih belum memuaskan..
Sebenarnya hanya satu kelompok yang berhasil mencapai ambang imunogenisitas titer antibodi 1 : 40 atau lebih besar (secara tipikal dianggap seroprotektif) pada peserta yang menerima dua dosis masing 90 mikrogram selama 28 hari dari total dosis 12 kali vaksin influenza.
"Masalah yang penting adalah apakah vaksin 1203 memberikan perlindungan silang terhadap strain influenza A H5 N1 yang lain", ujar Gregory A Poland dalam editorial penyerta di jurnal itu.

(Drs. Mahdi J, Apt, Kardiovaskuler 128)

Diagnosis PJK pada DM

Tak sedikit pasien DM asimtomatik walaupun tanpa faktor risiko PJK tambahan menderita PJK tersembunyi.

PENANGANAN diabetes mellitus (DM) tidak hanya sekedar menurunkan kadar gula darah namun penting mengenali dampak buruk kelebihan gula darah itu pada berbagai organ termasuk jantung. Evaluasi adanya penyakti jantung koroner (PJK) pada penderita DM tidak semestinya mengandalkan ada tidaknya keluhan (asimtomatik). Keluhan khas iskemia kerap tak segera muncul pada penderita DM.
Tindakan diagnostik PJK pada DM perlu lebih agresif dilakukan sebab bila menunggu adanya keluhan maka kerap telah terlambat karena proses aterosklerosis telah berjalan jauh dan melibatkan ketiga pembuluh koroner. Strategi deteksi PJK subklinis pada DM yang efektif akan mengarahkan pada upaya preventif yang bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Roldano Scognamiglio dan kawan-kawan dari fakultas kedokteran University of Padua, Italia meneliti prevalensi defek perfusi miokard dan PJK pada penderita DM tipe 2 yang myocardial contrast echocardiography (MCE). Pada mereka dengan defek perfusi miokard dilakukan angiografi koroner Hasil studi mereka dimuat Journal of American College Cardiology edisi awal tahun 2006. Untuk mengevaluasi peranan faktor-faktor risiko PJK yang lain maka Scognamiglio dkk membagi subyek yang berjumlah hampir dua ribu itu dalam dua grup. Grup pertama memiliki dua faktor risiko PJK atau lebih sedangkan grup dua memiliki satu atau tanpa faktor risiko. Ternyata prevalensi defek perfusi miokard sama pada kedua grup dan mandiri terhadap faktor risiko PJK (59,4% vs 60%, p=0,96). (Dr. Yahya AF. Kardiovaskuler 127)

Thalidomide Memperbaiki Fungsi Jantung ?

Efek immunomodulasi yang dimiliki thalidomide mungkin juga berperan dalam memperbaiki fungsi ventrikel kiri.

THALIDOMIDE, obat yang memiliki efek anti mual di-larang digunakan untuk ibu hamil karena efek teratogeniknya, kini bermanfaat pada penderita payah jantung. Para peneliti asal Norwegia melalui studi dengan disain tersamar ganda, plasebo-kontrol membuktikan thalidomide menghambat proses remodelling dan memperbaiki fungsi jantung. Lars Gullestad dari Bagian Kardiologi Rikshospitalet dan kawan-kawan meneliti manfaat thalidomide pada 56 pasien payah jantung (NYHA, functional class II-III) dengan fraksi ejeksi < 40% yang telah mendapat obat-obatan standar (diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin, penghambat reseptor angiotensin, penghambat beta) dengan dosis optimal
Mereka dirandom dalam dua grup; grup pertama mendapat thalidomide dengan dosis titrasi hingga 200 mg empat kali sehari; grup kedua mendapat plasebo.
Setelah diikuti selama tiga bulan ternyata kelompok thalidomide memperlihatkan peningkatan fraksi ejeksi disertai penurunan volume diastolik akhir .
Bagaimana mungkin thalidomide dapat bermanfaat bagi jantung? Adakah hal itu karena efek antiinflamasi yang dimilikinya sebagaimana diduga sebelumnya?
"Kami tidak mendapatkan bukti bahwa sitokin pro inflamasi menurun dengan terapi obat ini. Tetapi ada beberapa hal yang memungkinkan thalidomide memperbaiki fungsi jantung", tutur Gullestad dkk. "
"Thalidomide menurunkan laju jantung. Reduksi laju jantung ini secara selektif ini memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan iskemia. Efek ini mungkin yang membuat thalidomide memperbaiki fungsi ventrikel kiri melalui penguatan waktu perfusi diastolik dan menurunkan kebutuhan oksigen miokard", tulis Gullestad dkk.
Selain itu, menurut para peneliti, efek immunomodulasi yang dimiliki thalidomide mungkin juga berperan dalam memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Mereka yang mendapat thalidomide memperlihatkan penurunan bermakna hitung leuksit total dan neutropil.
"Obat ini juga bermanfaat sebagai stabilisator matrik sehingga proses remodelling akan terhambat", jelas Gullestad dkk.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa perbaikan fraksi ejeksi secara nyata lebih terlihat pada penderita payah jantung jenis IDCM (Idiopathic Dilated Cardiomyopathy) ketimbang payah jantung akibat penyakit arteri koroner (PAK). Beberapa kasus drop out selama terapi thalidomide terjadi pada grup payah jantung PAK yang menyiratkan sejumlah perbedaan toksisitas antara IDCM dan PAK.
Manfaat thalidomide pada payah jantung tampaknya masih memerlukan bukti-bukti lebih lanjut. Hasil observasi awal dari studi ini perlu konfirmasi studi prospektif dengan sampel yang lebih besar serta menjadikan morbiditas dan mortalitas sebagai titik akhir penelitian. Studi mendatang juga perlu secara persis mencoba mendefinisikan dosis optimal serta mekanisme kerja thalidomide.
(Dr. Yahya AF. Kardiovaskuler 126)

Terapi Awal Payah Jantung: Penghambat Beta atau Penghambat EKA ?

Pada payah jantung, sistem adrenergik lah yang pertama kali teraktivasi dan kemudian memicu sistem renin angiotensin.

Dua jenis obat andalan payah jantung yang bermanfaat dalam menurunkan mortalitas dan perawatan ulang adalah penghambat beta dan penghambat ensim konversi angiotensin (EKA). Selama ini petunjuk yang ada merekomendasikan agar penghambat EKA dipergunakan lebih dulu baru kemudian penghambat beta. Namun, sikap menomorduakan penghambat beta ini dipertanyakan para peneliti CIBIS III. Mereka ini beranggapan bahwa terapi payah jantung yang diawali dengan penghambat beta dapat ditoleransi, aman dan bahkan berpotensi lebih baik.
"Pada payah jantung, sistem adrenergik lah yang pertamakali teraktivasi dan kemudian memicu sistem renin angiotensin", ungkap Ronnie Willenheimer dan kawan-kawan menjelaskan alasan mereka untuk menomorsatukan penghambat beta pada terapi payah jantung. Mereka kemudian merujuk pada dua penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa terapi payah jantung yang diawali dengan penghambat beta aman dan bermanfaat.
Untuk lebih membuktikan kebenaran hipotesa mereka, Willenheimer dkk melakukan studi yang melibatkan 1.010 penderita payah jantung dengan fraksi ejeksi < 35% dan berusia rata-rata 72 tahun. Studi yang dilakukan di 128 rumah sakit pada 18 negara eropa plus australia dan tunisia ini berjalan dalam rentang waktu antara 1 dan 2,5 tahun.
Seluruh subyek dibagi dua kelompok. Pada fase monoterapi yang berlangsung dalam 6 bulan, kelompok pertama mendapat terapi awal bisoprolol dan kelompok dua mendapat terapi enalapril. Kedua obat tersebut dititrasi hingga mencapai dosis 10 mg baik pada bisoprolol maupun enalapril. Setelah itu kedua kelompok mendapat terapi kombinasi.
Titik akhir primer studi ini adalah kejadian pertama kali mortalitas akibat penyebab apapun atau perawatan ulang lantaran penyebab apasaja.
Terbukti bahwa terapi awal bisoprolol tidak lebih inferior dibanding terapi awal dengan enalapril dalam hal titik akhir tersebut", tandas Willenheimer dkk.
Namun, apakah dengan demikian hasil studi ini dapat diterapkan langsung?
"Nanti dulu, kita harus lebih cermat dalam menilai keadaan pasien sebelum memberikan penghambat beta sebagai terapi awal payah jantung", tutur James C Fang dari divisi kardiovaskular, Brigham and Women’s Hospital, Boston dalam kolom editorialnya.
Fang tak keberatan bila penghambat beta diberikan pada pasien payah jantung yang terkompensasi. Namun, pemberian ini menurutnya harus diawasi ketat karena penghambat beta tidak dapat menyelamatkan gangguan hemodinamik bila terjadi dekompensasi akut. Adapun pada payah jantung yang perlu perawatan, ia lebih cenderung untuk memberikan penghambat sebagai terapi awal.
"Namun, penting untuk diingat bahwa manfaat terbesar pada pasien adalah mereka mendapat kedua jenis terapi tersebut", ungkap Fang menutup editorialnya.
(Dr. Yahya AF. Kardiovaskuler, 125)